Pro – Kontra Sertifikasi Ulama
Dalam
kajian komunikasi politik, ulama merupakan bagian dari opinion leader atau pemuka pendapat, yakni individu yang dapat memberikan
pengaruh kepada khalayak karena memiliki kelebihan berbanding dari individu
lain. Ulama memiliki ilmu agama yang luas dan dalam untuk diajarkan kepada
umat. Ulama juga dekat dengan umat, karena itu, ia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari umat, sehingga sangat dihormati dan mendapat tempat istimewa di
hati umat. Inilah yang menyebabkan ulama disebut juga sebagai pemuka
pendapat. Menurut Valente dan Patchareeya (2004) pemuka pendapat ialah
orang-orang yang mempengaruhi pendapat, sikap, keyakinan, motivasi, dan
perilaku orang lain.
Ulama
dari segi bahasa adalah kata jamak (ja’mu)
bagi alim yang diambil dari kata kerja (fi’l)
bahasa Arab, alima ya’lamu, artinya
tahu atau mengetahui. Alim ialah orang yang tahu, dan ulama ialah orang-orang
yang tahu. Secara terminologi ulama adalah orang yang mampu menghasilkan
ilmunya kepada khasyyah, yakni rasa
takut dan kagum kepada Allah, dan mendorong yang berilmu untuk mengamalkan
ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan umat manusia. Charles Adam
(dalam Rosyidin, 2004) menyebut ulama sebagai orang-orang yang mendalami agama
Islam yang bertugas sebagai pemelihara, penyampai dan penafsir ajaran-ajarannya
dan sangat berperan di dalam kelangsungan sejarah spiritual dan intelektual
komunitas Islam.
Bagi
sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, utamanya di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara, yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang memiliki
pesantren, santri dan basis massa. Sebagian lainnya, memandang ulama sebagai pemimpin
agama Islam dari orang-orang tertentu, yang memiki ilmu agama yang luas, sudah melaksanakan
ibadah haji dan diberi gelar kiyai, pemberi ceramah agama pada saat-saat ritual
keagamaan, memimpin doa untuk keselamatan dalam kegiatan kebudayaan, dan tempat
meminta obat atau doa bagi kesembuhan orang yang sakit. Ulama dipanggil dengan
sebutan “kiyai” atau “ustadz”.
Menurut
Rosyidin (2004), ulama merupakan orang-orang yang ahli atau sarjana keagamaan
Islam, baik dari kalangan yang mempunyai atau tidak mempunyai pesantren atau
basis massa, maupun dari kalangan akademisi. Dalam kenyataannya di masyarakat,
imam masjid di pedesaan yang selama ini menjadi rujukan bagi masyarakat untuk
bertanya tentang masalah agama, juga dipanggil sebagai ulama, walaupun mungkin
dia tidak banyak menguasai masalah agama, bukan alumni pesantren atau bukan
sarjana agama. Jadi, bagi penulis, seorang muslim, termasuk kalangan perempuan,
yang telah memiliki ilmu agama yang sudah memadai, sudah melaksanakan ajaran
Islam dengan beribadah secara tertib, kemudian secara rutin berceramah mengajarkan ajaran
Islam kepada umat dalam berbagai model dakwah, atau telah mewakafkan dirinya
untuk menjadi pelanjut risalah Rasulullah, itulah yang disebut sebagai ulama.
Yayan
Nurbayan (1999) menyebut ada sepuluh karakteristik yang mesti dimiliki seorang
ulama, yakni : mengamalkan ilmunya, bersifat wara’, tidak ambisi terhadap
harta dan kekuasaan, ikhlas dalam beramal dan tidak bersifat dengki, bersikap
amanah dalam menyampaikan ilmu, bersikap istiqamah (lurus), bersikap dinamis, bersikap
terbuka dan demokratis, membimbing umat menuju kesempurnaan, serta jujur dan
berfatwa berdasarkan ilmu. Bersifat wara’,
maksudnya kemampuan seorang ulama untuk selalu menjaga diri dari kemungkinan
terjerumus pada perbuatan-perbuatan tercela. Contoh sederhana, seorang ulama
tidak boleh makan berdiri di pinggir jalan di mana banyak orang lalu-lalang,
sebab hal itu boleh jadi menimbulkan persepsi
negatif bagi orang yang melihatnya.
Sebagai
pemuka pendapat, ulama juga berfungsi sebagai pemimpin informal dalam
masyarakat. Walaupun sifatnya informal,
akan tetapi bagi umat Islam, ulama merupakan pemimpin yang sesungguhnya. Dalam
beberapa aspek kehidupan, ketaatan kepada ulama lebih penting daripada
kepatuhan kepada pemerintah. Sebab umat, memandang bahwa nasihat atau apapun
yang dikatakan oleh ulama adalah merupakan suatu kebenaran karena didasarkan
kepada syariat agama, apabila dilaksanakan, itu adalah bagian dari ibadah
kepada Allah Swt dan sebaliknya bila diabaikan dipandang sebagai suatu
pelanggaran terhadap ajaran agama. Bukan hanya itu, pengabaikan terhadap
nasihat ulama diyakini sebagai bentuk pengingkaran terhadap norma-norma budaya
yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Dalam
satu bulan terakhir ini, ada wacana untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama.
Ini antara lain disebabkan adanya dugaan keterlibatan sejumlah ulama yang
mengajarkan semangat jihad yang didasarkan kepada nash-nash al-Qur’an dan
Hadits, sehingga melahirkan para teroris, terutama dari aktivis pengajian dan
santri pondok pesantren tertentu. Walaupun wacana sertifikasi ini sudah
dibantah, akan tetapi sudah terlanjur menjadi isu publik. Banyak pihak yang
melakukan penentangan terhadap wacana dengan alasan bahwa, ulama diangkat oleh umat, negara tidak boleh
mengkooptasi peran ulama, siapa yang akan mensertifikasi, dan seterusnya.
Usulan sertifikasi ulama juga dipandang sebagai bentuk penghinaan kepada ulama.
Dari satu aspek, alasan penolakan tersebut memang ada benarnya, karena ulama
itu adalah milik umat yang tidak boleh dibatasi kewenangannya, oleh siapapun termasuk oleh negara atau partai
politik sebagaimana pernah terjadi pada masa Orde Baru.
Dalam
kenyataanya di negara ini, cukup banyak perkara-perkara yang bersumber dari
para ulama, bukan untuk menenangkan umat, tapi justru dapat membingungkan.
Misalnya, ada ulama yang memfatwatkan bahwa penganut aliran Syiah itu adalah
sesat, sehingga fatwa ini dijadikan antara lain sebagai legitimasi oleh
kelompok tertentu untuk menyerangkan kelompok Syiah. Tapi ada pula ulama yang
menyesalkan fatwa tersebut, bahkan mengatakan bahwa Syiah itu tidak sesat. Ada
juga ulama yang membolehkan pernikahan tanpa saksi, padahal ini jelas-jelas
tidak ada dasarnya dalam Islam. Di daerah perkotaan, mudah menemukan ulama
terkenal berceramah di masjid-masjid besar, kantor pemerintah dan gedung
perbankan. Sementara pada masjid-masjid terpencil di ujung lorong, ulama
terkenal jarang ditemukan.
Ada
ulama yang menjadi anggota tim sukses calon kepala daerah, mengutip ayat-ayat
suci al-Qur’an dan Hadits untuk menjelaskan keberpihakannya kepada sang
kandidat dan mengajak umat untuk memilihnya. Walau menjadi tim sukses bukanlah
sesuatu perkara yang salah, bahkan pada satu aspek akan boleh memberi manfaat
kepada umat. Akan tetapi jika dalam pelaksanaan kampenye sang ulama tidak jujur
dalam melakukan penilaian, atau bahkan ikut mencari ayat-ayat lain untuk
menyerang lawan politik, tentu hal ini kurang bijaksana, karena dapat
membingungkan umat.
Contoh
lainnya, adalah yang paling penting bagi umat Islam di Indonesia. Dalam
penentuan awal bulan Hijriyah, terutama menentukan awal Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah. Sudah berkali-kali kita dihadapkan terjadinya perbedaan dalam
melaksanakan awal ibadah puasa dan hari raya. Bagi penulis sendiri, perbedaan
itu tidak begitu penting untuk dipermasalahkan, karena masing-masing punya
dalil dan argumentasi yang kuat dalam penentukan sikapnya. Yang menjadi
persoalan adalah ketika ada ulama yang satu mencerca kelompok lain yang berbeda
pendapat dengannya. Padahal perbedaan itu, sering disebut sebagai rahmat. Ada
juga ulama yang berusaha merapat kepada pemerintah, dan sebaliknya ada juga
ulama yang seolah-olah menjadi oposisi bagi pemerintah.
Dalam
hal ini, untuk menghindari adanya kebingungan umat terhadap nasihat-fatwa para ulama terutama persoalan
besar yang berkaitan dengan umat Islam secara keseluruhan, dan untuk menyatukan
sikap umat Islam terhadap satu masalah yang sangat penting, makanya perlu ada
pengaturan indikator ulama yang mana yang boleh mengeluarkan fatwa, kecuali
yang berkaitan dengan masalah khilafiah.
Di Malaysia misalnya, tidak semua ulama boleh mengeluarkan fatwa terhadap suatu
perkara yang dipandang menyangkut kepentingan umat Islam di negeri itu. Hanya
ulama yang memiliki sertifikat atau lisensi dari kerajaan yang boleh
mengeluarkan fatwa-fatwa penting. Mungkin ada yang menganggap lisensi itu tidak
baik, tapi kenyataannya bagi mereka sudah memberi manfaat untuk persatuan dan
kerukunan umat Islam.
Oleh
karena itu, bagi penulis membicarakan tentang sertifikasi terhadap ulama, atau
apapun namanya jika alergi dengan kata “sertifikasi”, bukanlah sesuatu yang
salah. Yang tidak boleh dilakukan terhadap ulama adalah apabila dibatasi
kebebasannya untuk berdakwah, diatur isi ceramah, nasihat atau fatwanya oleh
negara untuk kepentingan kekuasaan semata, dan diintimidasi dalam fungsinya
sebagai penyayom umat. Wallahu’alam.
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN
Alauddin Makassar/Kandidat Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia
Telp/hp : 085242359271
Email : hfitrasiagian@gmail.com
Alamat : Komp. Bakung Balda Sakinah Blok C/1 Borong
Liukkang, Samata Kab. Gowa
0 Comments