Etika Komunikasi Pak Kolonel
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Setiap manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial dengan ciri utamanya hidup berbudaya, yakni menggunakan akal budi sesuai dengan sistem yang berlaku. Pada saat berkomunikasi, manusia tidak bisa lepas dari nilai-nilai sosial dan budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketika berkomunikasi perlulah memerhatikan nilai-nilai tersebut. Dalam konteks ini, kegiatan berkomunikasi yang memerhatikan nilai-nilai sosial dan budaya itulah yang disebut sebagai etika komunikasi.
Dalam kegiatan berkomunikasi, perlu memerhatikan pemilihan kata, bentuk kalimat, juga ragam bahasa, terutama jika berkaitan dengan aktivitas formal dan yang berhubungan dengan orang-orang yang berada di level atas. Bukan untuk mengerdilkan sikap, tetapi sebagai bentuk pengejawantahan nilai budaya pun penghargaan terhadap sesama. Di samping itu, juga mestilah memahami bahwa setiap berkomunikasi tidak saja bermaksud menyampaikan pesan, tetapi juga, meminjam istilah Adriana (2014), membangun harmoni sosial. Keduanya, penyampaian pesan dan harmoni sosial itu, harus terpenuhi, sehingga ungkapan “yang penting maksud tercapai”, tentu tidak relevan.
Setiap pihak yang ingin berkomunikasi, tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Dalam realitas sosial, tidak semua tujuan komunikasi yang dijalankan antara komunikator dengan komunikan itu, berjalan dengan baik. Bahkan sebaliknya, tidak jarang pada saat baru saja memulai proses komunikasi, sudah kelihatan akan adanya tanda-tanda kegagalan mencapai tujuan.
Sekedar contoh sederhana. Sebagai dosen yang kerap bersentuhan dengan mahasiswa, penulis sering mendapat pesan singkat dari beberapa mahasiswa, yang cenderung tidak memerhatikan nilai-nilai sosial-budaya. “Pak, sy mo konsul esok. Bisa ya?”. Kalimat itu tanpa menyebut identitasnya, tentu saya tidak mungkin menyimpan nomor telepon seluler seluruh mahasiswaku. Tidak menjelaskan konsultasi tentang apa, apakah ini berkaitan dengan skripsi, nilai mata kuliah, atau kegiatan kepanitiaan organisasi kemahasiswaan.
Menggunakan bahasa gaul, yang kadang kala saya sendiri tidak paham maksudnya. Apa arti kata “mo” dalam kalimat itu? Saya berpikir bahwa mahasiswa yang demikian ini menganggap dosennya sebagai bawahannya, atau mahasiswa ini tidak menyadari bahwa dia sebenarnya sedang memerlukan bantuan dari dosennya. Biasanya ketika menerima pesan seperti ini, saya tidak membalasnya, terutama pada saat-saat sedang bekerja untuk hal yang lebih penting. Lalu mereka menganggap sebagai dosen yang pelit dan tidak ramah, meminta saya diganti sebagai pembimbing skripsinya. Dampaknya adalah terjadi kegagalan berkomunikasi.
Kegagalan komunikasi dapat terjadi dengan berbagai faktor penyebab, seperti adanya noise (gangguan) yang dialami saat proses komunikasi sedang berlangsung. Gangguan dalam berkomunikasi juga dapat diakibatkan atas berbagai hal. Salah satunya adalah adanya gangguan psikis atau aspek psikologis, baik kepada komunikator maupun yang dialami oleh seorang komunikan. Misalnya, kondisi mood yang tidak stabil, besar kemungkinan dalam mengungkapkan sebuah pesan terkandung unsur emosional. Secara sederhana, mood adalah suasana hati. Ketika seseorang sedang kehilangan mood dan tidak bersemangat, semua hal yang terjadi adalah menjadi tidak menarik, sehingga dapat mengganggu kinerja seseorang.
Oleh karena itu, dalam berkomunikasi, perlunya menjaga suasana hati yang baik antara komunikator dengan komunikan. Jika suasana hati antara komunikator dengan komunikan dalam senang, santai, gembira, riang, proses komunikasi akan berjalan dengan baik. Demikian sebaliknya. Bahkan orang manajemen menjelaskan, janganlah mengambil keputusan penting dalam kondisi suasana hati sedang bermasalah. Keputusan yang diambil sifatnya akan merugi dalam kondisi suasana hati sedang demikian.
Jika seorang komunikator berada pada posisi pada level atas, atau menjadi atasan dari seorang bawahan, beliau boleh saja melakukan proses komunikasi dengan bawahannya kapan dan dimana saja, dan dalam kondisi bagaimapun. Tetapi jika seorang komunikator itu berada pada level bawah, ketika akan berkomunikasi dengan orang yang berada di atasnya, maka sudah sepatutnya dia mesti menyesuaikan diri dan harus memahami posisinya sebagai bawahan, atau orang yang sedang meminta bantuan.
Seorang komunikator harus memperlihatkan etika komunikasi yang lebih efektif. Pertama, menyadari dirinya sebagai orang yang memerlukan bantuan. Sebagai orang yang membutuhkan, dalam berkomunikasi harus menerapkan kesantunan dalam berkomunikasi. Kedua, memahami kondisi orang lain yang tentu memiliki berbagai dinamika hidup. Terhadap orang yang demikian ini, seorang komunikator harus lebih peka, cermat, dan tidak memandang komunikan dengan posisi hitam-putih.
Dalam era sekarang ini, sendi-sendi kehidupan dalam berkomunikasi sudah mulai bergeser bahkan terasa kerap kali kehilangan etika. Seorang yunior seenaknya saja menjawab pertanyaan atau mengomentari postingan seniornya dengan mengabaikan nilai-nilai kesantunan dan kepantasan. Demikian juga seorang mahasiswa seenaknya saja menelepon dosennya, tanpa memerhatikan waktu dan situasi. Seolah-olah mahasiswa tersebut merupakan atasan langsung dari seorang dosen. Bahkan main perintah dan juga bernada ancaman, sekali-kali terasa ada juga semacam godaan.
Bandingkan dengan etika seorang kolonel yang pernah menelepon saya untuk suatu keperluan, beberapa waktu lalu. Walaupun dia seorang kolonel, pangkat perwira menengah dalam jajaran kemiliteran, sedangkan saya adalah seorang dosen biasa saja, tetap beliau menunjukkan, dalam pandangan saya menyebutnya sebagai “etika tingkat tinggi” dalam berkomunikasi. Terlebih dahulu dia mengirimkan pesan singkat. Menjelaskan identitas dirinya, kesatuannya, dari siapa sumber nomor ponsel saya, dan tujuannya. Terus meminta izin, akan menelepon saya untuk menjelaskan lebih lanjut tentang keperluannya. Setelah semua urusan saya kerjakan dan saya serahkan kepadanya, beliau tak lupa memberikan ucapan penghargaan dan terimakasih.
Sebenarnya saya tidak punya beban dan kepentingan apapun dengan beliau. Dia bukan atasan saya dan pekerjaan saya sama sekali tak terkait dengan instansinya. Akan tetapi, dengan etikanya yang sopan dalam berkomunikasi, saya dapat memenuhi harapannya dalam waktu yang singkat. Mengapa? Saya puas dengan caranya menunjukkan kesantunan berkomunikasi. Karena dengan etikanya berkomunikasi, dapat membangun harmoni sosial diantara kami.***
Samata Gowa, 05 Agustus 2018, jelang ashar
Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Alauddin Makassar
Email : hfitra.siagian@gmail.com
HP : 085242359271
Catatan : sebenarnya tulisan ini sudah dimuat pada harian Radar Sulbar awal Agustus 2018
0 Comments