Wollongong, Tahun Baru tanpa Petasan
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Sudah
seperti menjadi kebiasaan di Indonesia jika menjelang pergantian tahun, akan
selalu dihiasi dengan berbagai kemeriahan dan kemewahan. Para penjual terompet,
kembang api, dan petasan akan berada di mana-mana. Mulai dari desa hingga
perkotaan. Mulai dari supermarket hingga di pinggir jalan raya terus ke
pelosok, penuh dengan penjual barang-barang tersebut. Bahkan penjualan
pernik-pernik tersebut sudah mulai satu minggu sebelum pesta tahun baru.
Tidak
begitu jelas bagi saya, sejak kapan itu ada. Budaya dari mana itu berasal. Ketika
saya masih di Sipirok sampai akhir tahun
1980-an, hal ini masih langka. Namun ketika saya merantau ke Makassar sejak
awal tahun 1990-an, pesta kembang api dalam malam tahun baru sudah ramai. Sekali
saja saya ikut ke Pantai Losari, bersama dengan teman kelasku saat SMA yang
bernama Muhammad Yusuf asal Tanete Bulukumba, jika tidak salah adalah
pergantian tahun 1992 ke tahun 1993. Pantai itu sangat ramai hampir tidak bisa
bergerak. Itu adalah satu-satunya saya ikut keluar malam merayakan pesta tahun
baru. Sejak itu tidak lagi.
Tahun-tahun
berikutnya, dalam rangka tahun baru, selalu saya mengikuti acara-acara
keagamaan, seperti tadarrus, mengaji, dan diskusi refleksi akhir tahun. Baik yang
diadakan organisasi kemahasiswaan, remaja masjid, maupun IRM dan IMM. Saya bersyukur
sama sekali tak pernah ikut membakar petasan, meniup terompet, maupun
menyalakan kembang api. Padahal usia saya masih SMA saat itu, mestinya ikut
pesta hura-hura dengan teman-teman sebaya. Ternyata tidak. Alhamdulillah, saya
merasa ini salah satu adalah nikmat besar yang diberikan Allah Swt. Hal ini berlangsung
hingga sekarang.
Ketika
saya berkeluarga, punya tiga orang anak, saat masih di Samata Gowa. Anak-anak,
tanpa sepengetahuan saya, ikut-ikutan dengan teman-temannya membeli petasan. Saya
sadar mereka masih anak-anak SD. Tahun-tahun pertama masih boleh, dengan jumlah
dan waktu yang terbatas. Hanya boleh dinyalakan sebelum magrib. Ketika selesai
salat magrib, tak boleh lagi. Harus masuk ke rumah, tadarrus dan mendengar
ceramah di masjid. Atau sekali-kali menjenguk neneknya bertahun baru di kampung
halaman, Somba Majene, Sulawesi Barat.
Hingga
sekarang hal ini terus berlangsung. Malam tahun baru tak ada lagi
Saya
tidak tahu persis kenapa hal itu terjadi di Indonesia. Alasan yang paling
sering dikemukakan adalah sebagai bentuk perayaan sekali setahun, menjadi
hiburan bagi warga, dan seterusnya. Maka banyak pihak yang melakukan pesta
tahun baru dengan anggaran yang luar biasa. Seorang teman saya pernah
mengatakan keluarga mereka pernah menghabiskan uang hingga lima juta Rupiah
hanya untuk membeli kembang api dan petasan.
Satu
perusahaan di Makassar pernah diberitakan menyiapkan hingga seratus lima puluh
juta Rupiah untuk menyiapkan kembang api dan petasan. Belum lagi anggaran yang
dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah dan seterusnya. Jika diakumulasi
untuk seluruh Indonesia, bisa mencapai triliyunan Rupiah dibakar dalam satu
malam. Pokoknya pesta malam tahun baru harus meriah dengan hamburan api
menjulang tinggi berwarna-warni menghiasi langit. Soal apakah itu memiliki makna
yang hakiki atau tidak, adalah persoalan lain.
Awalnya
dikatakan bahwa budaya pesta tahun baru berasal dari negara-negara barat. Mungkin
saja ini ada benarnya. Setiap tahun televisi menyiarkan kemeriahan pesta tahun
baru di berbagai negara. Termasuk dari Sydney, Australia. Pemerintah setempat
mengadakan pesta yang demikian ini sebenarnya adalah lebih kepada upaya untuk
menarik wisatawan dari luar negeri agar datang berkunjung ke sini. Kunjungan mereka
mendatangkan penghasilan, menambah devisa negara. Puluhan triliyun didapatkan
dalam satu malam dari pesta tersebut. Mereka menanam modal mengadakan pesta
tahun baru untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Berbeda dengan
budaya kita, menghabiskan uang tanpa keuntungan apapun, kecuali bersenang-senang
dalam semalam.
Tadi
malam saya dalam perjalanan dari Shelharbour sejauh 28 Km ke Kota Wollongong. Biasanya
saya melewati jalan utama bebas hambatan yang lurus dan luas. Tetapi malam
tadi, saya sengaja melewati pemukiman penduduk, berbelok arah ke jalan-jalan
yang lebih sunyi. Sepanjang perjalanan, saya amati kegiatan masyarakat di
pemukiman. Hingga lewat jam sembilan malam, suasana masih sepi. Ketika saya
sampai di rumah, suasana tetap sunyi. Tidak ada petasan, tidak ada terompet,
dan tidak ada kembang api. Tidak ada keramaian apapun. Padahal ini kan, malam
tahun baru. Harusnya ada pesta seluruh masyarakat dan anak-anak. Ternyata mereka
berada di rumah masing-masing, istirahat atau bermain di dalam rumah. Tak ada
satupun anak-anak yang berkeliaran di luar rumah. Sebagian lagi ada yang pesta
di café, bar dan restoran, sama dengan malam-malam sebelumnya.
Biasanya
memang setiap malam pergantian tahun di kota ini, ada pertunjukan di Pantai
Wollongong. Pesta kembang api yang meriah. Awalnya nyonyaku sudah merencanakan
mengajak kami ke sana. Tetapi pihak pemerintah membatalkannya. Ini terkait
dengan musibah kebakaran yang terjadi di berbagai kawasan Australia. Sebagai bentuk
empati kepada petugas pemadam dan relawan yang sedang berjuang melawan api,
mempertarungkan nyawanya demi memadamkan kebakaran hutan dan semak-semak yang
sudah berlangsung hampir tiga bulan.
Hal
ini pun diikuti oleh seluruh warga. Jadi tadi malam, adalah malam yang jika bagi
orang lain identik dengan pesta, di sini, justru sunyi, lengang dan tenang. Sekalipun
tak ada terdengar suara petasan, tak ada bunyi terompet, tak ada kembang api. Warga
patuh terhadap peraturan dan himbauan pemerintah. Masing-masing menikmati malam
dengan tentram dan khusuk.***
Wollongong,
1 Januari 2020 qabla Duhur
0 Comments