About Me

Dari Tukang Bangunan Hingga Pemegang Kunci Masjid


DARI TUKANG BANGUNAN MASJID HINGGA PEMEGANG KUNCI MASJID
(In memoriam alm. Muhammad Dollar Siagian, Guru SMP Negeri 1 Sipirok)

Oleh : Haidir Fitra Siagian


Sabtu, 12 Maret 2011, dini hari. Alarm HP-ku berbunyi, pukul 04.45 dini hari waktu Malaysia. Bersamaan dengan itu, datanglah telepon dari istriku di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia memberitahu bahwa amangborunya (mertua laki-lakinya) telah dipanggil Allah Swt. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ayahku telah meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Saya mencoba untuk tenang. Lalu sempat salat lail. Mendoakan ayah. Kemudian ada pula telepon dari adikku Afwan Ahwan Siagian, di Makassar juga, memberitahukan hal yang sama.
Setelah pulang subuh dari Surau Asy Syakirin Taman Tenaga, saya menelepon ibu di Sipirok. Dalam pembicaraan dengan ibu, saya menyampaikan beberapa hal: (1) Bahwa kepergian ayah ini adalah kehendak Allah Swt., jadi mama jangan terlalu sedih;(2) Mohon dikebumikan secepat mungkin, tidak perlu menunggu siapapun; (3) Saya tidak bisa datang, tapi mengupayakan adik Afwan yang di Makassar supaya bisa datang.
Saya tidak datang karena sudah saya perkirakan tidak mungkin dapat melihat wajah ayah lagi, karena perjalanan dari Kuala Lumpur ke Medan Sumatra Utara, sekitar empat jam termasuk perjalan ke bandara, boarding, beli tiket, imigrasi, dll, dan belum pasti saat itu ada penerbangan langsung ke Medan. Demikian pula dari Medan ke Sipirok memakan waktu kurang lebih tujuh hingga delapan jam, padahal saya sudah minta penguburan ayah dipercepat (tamabahan: beberapa hari kemudian akhirnya saya datang ke Sipirok untuk menggembirakan ibuku. Pen, 12/03/20).
Tapi saya sangat bersyukur, kenapa bulan lalu, saya sempat terpikir untuk pulang ke Sipirok untuk bertemu ayah dan ibu. Padahal, kami sekeluarga dari Makassar sudah berencana akan ke Sipirok sebelum isteriku berangkat sekolah ke Australia. Saat itu kami berencana ke Sipirok sekitar bulan Juli 2011 ini. Namun Allah menghendaki lain. Memanggil ayah sebelum menantu dan cucuknya datang mengunjunginya.
Sabtu, 12 Maret 2011. Sepanjang hari, dari Kuala Lumpur, saya mencoba menghubungi saudara-saudaraku. Meminta mereka mengikhlaskan ayah, dan meminta supaya ayah secepatnya dimakamkan.
Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Ayah dikebumikan di pemakaman Islam Desa Pangurabaan, sekitar satu kilometer dari rumah kami. Sebelumnya ayah sempat disalatkan di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok, masjid tempat dia masih memegang kunci pintunya (Ralat : yang benar adalah di Masjid Nurul Iman Hutasuhut, masjid yang mana dia ikut sebagai tukang bangunan, gotong royong membangunnya tahun 1970-an. Pen, 12/03/20).
Malam hari di rumah kami, di Hutasuhut, diadakan ta’ziyah yang amat sederhana. Menurut Ibuku, ada tujuh orang pembicara malam itu, ini lebih dalam adat Sipirok disebut sebagai “makkobar”. Sebagaimana lazimnya, semua pembicara menyampaikan kalimat-kalimat yang menyejukkan hati untuk bersabar menghadapi cobaan ini. Dan malam itu juga diadakan serah terima kunci Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok. Selama ini, ayah adalah pemegang kunci masjid. Saya bangga, ayah bisa menjadi pemegang kunci masjid.
Mengenang kembali beberapa tahun sebelumnya. Sekembali dari Duri sejak pertengahan 2007, ayah sudah mulai kembali mengurus masjid. Dia dipercaya memegang kunci masjid. Sama halnya ketika saya di Makassar, selama kurang lebih sepuluh tahun juga saya dipercaya oleh KH. Djamaluddin Amien (alm) sebagai pemegang kunci masjid Pusat Dakwah Muhammadiyah Tamalanrea.
Di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok, ayah biasa menjadi imam, adzan, dan kadang-kadang merangkap jadi muazzin sekaligus sebagai imam. Suatu ketika ayah adzan di masjid, padahal waktu masih menunjukkan kurang dari pukul 11 siang, sementara waktu dhuhur adalah pukul 12 lewat. Datanglah warga yang tinggal dekat masjid menegur ayah, kenapa begitu cepat adzan. Ternyata dari rumah ayah kurang tepat melihat jam. Melihat jam di rumah, dia berpikir sudah jelang dzhuhur, lantas bergegas berangkat ke masjid. Sesampai di masjid tidak lagi melihat jam, langsung mengambil corong dan adzan.
Saya gembira ayah menjadi pemegang kunci masjid. Jika di Yogyakarta, ada Mbah Marijan sebagai pemegang kunci Gunung Merapi, maka di Sipirok ada ayahku sebagai pemegang kunci masjid. Memegang kunci masjid dapat dimaknai sebagai orang yang gemar beribadah. Tentu, Allah Swt. yang punya kewenangan untuk menilainya. Apapun yang ada di benak ayahku, dia adalah pemegang kunci masjid, dan hanya Allah Swt yang mengetahui dan menilai keikhlasannya selama memegang kunci masjid ini.
Ayahku telah berpulang ke rahmatullah. Ibuku menceritakan kepadaku tentang detik-detik yang menegangkan sebelum ayah meninggal dunia. Beberapa hari sebelumnya, ayah telah membersihkan rumah. Mengepel dan mengelap kaca. Membuang sampah-sampah maupun barang-barang yang tidak penting dari rumah. Sehingga rumah kami kelihatan rapi dan bersih, tetangga juga sempat heran melihat kaca jendela yang begitu bersih.
Hari Jum’at, 11 Maret 2011, ayah masih sempat salat ke masjid, demikian juga shalat ashar. Jelang magrib, ayah mengeluh kurang sehat kepada ibu. Siangnya Kak Siti, sempat menyiapkan mereka makanan. Karena merasa kurang enak badan, maka ayah dan ibu melaksanakan salat Magrib dan Isya berjamaah di rumah. Ba’da salat Isya, ayah mengeluh pegal-pegal. Ayah meminta ibu untuk menelepon abang Syamsul untuk diurut, namun ibu tidak tahu bagaimana caranya menelepon, dia hanya mampu menerima telepon. Maklumlah, ibuku baru beberapa hari membeli HP baru.
Tengah malam ayah terbangun. Dia sempat meminta ibu supaya memutar maju jam dinding supaya cepat subuh. Ibuku, maklum. Dia tahu bahwa kalau berkata demikian, berarti ayah sedang mengerang. Tidak lama setelah itu, ayah masuk ke kamar mandi. Ibu masih sempat mendengar suara siraman dan gemercik air dari kamar mandi. Ayah kembali ke samping ibu untuk tidur. Lalu ibu mendengar suara lain dari ayah, suara yang tidak biasa.
Ibu berkata, “namahua de ho oppui”. Ibu kaget lalu berteriak memanggil tetangga. Tetangga berdatangan dalam waktu sekejap, termasuk Kepala Lingkungan Herry Hutasuhut, yang bersebelahan rumah dengan kami, serta tetangga lainnya. Kurang dari lima belas menit, ayah sempat dibacakan kalimat syahadat. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dari Allah kita datang dan kepada-Nya pula kita akan kembali.
Mendengar berita meninggalnya ayah, saya merasa tidak begitu sedih. Sedih, ya sedih. Tapi tidak sedih-sedih amat. Tidak ada air mata yang keluar. Saya terharu dengan proses kematian ayahku yang cukup tenang. Allah Yang Maha Berkuasa. Saya tidak sedih, karena ayahku adalah pemegang kunci masjid, kunci bagi orang-orang yang akan menghadap Tuhan-Nya. Sebagai pemegang kunci tersebut, tentu juga ayah sudah siap untuk masuk ke jalan-Nya. Insya Allah. Inilah yang ada dalam benak saya sehingga tidak sedih.
Akhirnya saya menangis juga. Kemarin, tengah malam, jelang salat lail, sehari setelah ayah dikebumikan, saya merasa sedih. Saya menangis seorang diri dalam kamar. Saya akhirnya menyadari bahwa ayahku telah benar-benar meninggalkan kami. Insya Allah, atas izin-Nya, kami dapat kembali bersua dengan ayah di tempat yang telah dijanjikan-Nya.
Bagi orang, mungkin ayahku adalah orang yang biasa-biasa saja. Ayah adalah seorang lekaki pendiam. Tak penting tak bicara. Inilah ciri khas ayahku. Kami sangat menghormat ayahku. Dia pantas menjadi teladan; sebagai ayah, sebagai suami, sebagai kakek dari cucunya, dan sebagai guru dari murid-muridnya. Murid-murid yang dia ajar dalam mata pelajaran fisika di SMP Negeri 1 Sipirok selama puluhan tahun. Tidak ada memang yang sempurna, tentu ada perilaku salah yang ayah lakukan, saya memohon kepada semua pihak memaafkannya. Saya sadari bahwa hal ini hanya Allah SWT yang mengetahuinya.
Semoga Allah Swt. memberikan tempat yang layak di sisi-Nya bagi ayahku. Mengampuni segala dosa-dosanya. Menjauhkannya daripada siksa kubur. Menerima segala amal ibadahnya. Saya berharap, kami – para anak-anaknya itu, menjadi anak yang saleh, yang dapat mendoakan ayah. Hanya doa kamilah yang dapat menyelamatkannya, disamping ilmu yang pernah dia ajarkan kepada anak muridnya serta hartanya yang pernah dia sumbangkan untuk kepentingan agama.
Kampus, UKM, Bangi, Selangor Darul Ehsan, Kuala Lumpur, 14 Maret 2011, pk.11.04 am.
Haidir Fitra Siagian, anak keenam dari sepuluh bersaudara! Siti Hajar Siagian, Syamsul Bahri Siagian, Ardol Rifai Siagian, Jufridol Siagian, Fakruddin Siagian (alm), Purnama Berliani Siagian, Syafriani Siagian (almh), Ahmad Ahwan Siagian, Azharul Fajri Siagian.***
Keterangan :

Artikel ini dikutip/diolah kembali dari : http://catatanhaidirfitrasiagian.blogspot.com/…/ketika-ayah…, dengan beberapa perbaikan seperlunya (Wollongong, NSW, Australia, Kamis, 12 Maret 2020 ba’da subuh).

Post a Comment

0 Comments

close