About Me

Menikah dalam Sunyi, Demi Cinta Padamu



MENIKAH DALAM SUNYI, DEMI CINTA PADAMU
Oleh : Nurhira Abdul Kadir

Dengan penuh haru, kuterima kabar dari kampung halamanku yang sunyi, nun di pelosok Sulawesi Barat sana bahwa seorang adik kami, adikku sehati meski lain ayah lain ibu, akan menikah dalam waktu dekat ini.

 Adik saya ini, bukanlah seorang yang berpendidikan formal tinggi. Oleh kondisi keuangan keluarga yang serba berkekurangan, pada usia sebelia anak SMP, adik memutuskan berhenti sekolah.

Anak tertua dalam keluarga ditempa oleh kepedihan hidup memutuskan menyimpan rapat cita-citanya ke sudut paling terpencil dalam hatinya. Ia ingin menjadi guru, mengajarkan kebaikan, meningkatkan derajat pengetahuan anak-anak lain yang setidak beruntung dirinya. Tetapi kemudian ia memutuskan berhenti, agar empat orang adiknya yang lain dapat terus bersekolah.

Itu keputusan yang sulit, tentunya. Apalagi untuk anak secerdas dirinya. Dengan kondisi berkekurangan, ia tetap bisa meraih peringkat ketiga di sekolah. Ketika pertama kalinya adik saya yang lainnya, Fatihiyah Abdul Kadir, membawanya berkunjung ke rumah kami beberapa tahun lalu, saya sempat tidak mengajaknya bercakap hal-hal yang sulit sebab kuatir tidak nyambung.

Tetapi, ketika selesai menidurkan keponakanku dan saya memergokinya menekuri salah satu buku dari koleksi perpustakaan rumah kami, saya tertegun. Kupikir, ia hanya membukanya sekedar sambil lalu. Tetapi kemudian beberapa kali ia pulang ke Malunda, nama kampungnya, dengan memohon izin membawa satu dua buku dari rumah. Buku yang tidak biasanya akan menarik seorang, maaf, gadis dari pelosok yang 'hanya' tamat SMP, dari lingkungan yang tidak memungkinkan.

Aku terharu padanya. Pelan pelan mengawasi bahwa ia bukan perempuan biasa. Kecerdasan dan minatnya tidak berhenti oleh waktu dan kesulitan. Kami pernah menawarinya untuk melanjutkan sekolah, permintaan yang membuat pipinya demikian merah. Tetapi entah oleh apa, permintaan itu belum pernah dibicarakannya lagi.

Baru saja kudengar, ia akan menikah.
Di lingkungan mana masyarakat masih saja terus memperlihatkan ketidak pedulian terhadap anjuran petugas kesehatan dan pemerintah untuk mencegah keramaian, adikku yang tak bersekolah tinggi ini sekali lagi menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang perempuan biasa.

Ia memilih merayakan pernikahannya dengan sederhana, di kantor KUA. Tanpa tamu undangan, tanpa keramaian.

Dapat kurasakan betapa sulitnya perjuangannya meyakinkan keluarga bahwa menikah tanpa keramaian di KUA adalah pilihan terbaik.

Di daerah suku Mandar sana, hanya orang MBA (Married by Accident), atau yang di Mandar lazim disebut seda, atau 'terpaksa oleh suatu kekeliruan fatal" yang terpaksa harus memilih menikah tanpa keramaian.

Aku tahu persis, ia akan menghadapi kecaman yang tidak sedikit. Adikku akan dibully oleh mereka yang tak paham. Tentu pula keluarganya akan menanggung risiko terhadap pilihannya.

Tetapi itulah gadis kami, seorang yang sudah sejak awal ditempa oleh berbagai pengorbanan dan keperihan. Jika sekali ini ia harus kembali berkorban demi kebaikan banyak orang, aku tahu, ia dengan berani akan kembali memilihnya.

Adikku mungkin telah mengorbankan cita-citanya untuk menjadi guru. Mengucilkan harapannya hingga ia sendiri tak sanggup lagi mendengar cita-cita itu terucap dari bibirnya sekali lagi. Tetapi sekali ini, aku tahu, ia meraih cita-citanya tanpa ia sadari.

Ia akan menjadi guru untuk banyak orang. Menikah dalam sunyi, karena hatinya penuh cinta pada keselamatan orang lain.

Selamat adikku Phieya, tetaplah menjadi guru!

Nurhira Abdul Kadir, Keiraville, Siang, 25 Maret 2020.

(Foto milik pxhere.com)

Dikutip dari :

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10215539957523357&id=1572158673

Post a Comment

0 Comments

close