Ketika
Orang Batak Jabat Sekretaris Jenderal MUI
Oleh
: Haidir Fitra Siagian
Dalam setiap forum
permusyawaratan organisasi besar di Indonesia, baik yang berafiliasi keagamaan,
sosial-kemasyarakatan maupun politik, senantiasa mendapat perhatian besar dari khalayak.
Perhatian tersebut tercermin dari pemberitaan media massa, baik media cetak
maupun media elektronik. Ditambah lagi dengan banyaknya media sosial dan media
online yang turut memberitakan peristiwa tersebut. Semakin banyak pemberitaan
media, semakin bervariasi informasi yang sampai kepada masyarakat. Tentu hal
ini akan memberi nuansa tersendiri, baik terhadap pelaksanaan musyawarah
organisasi tersebut, maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan orang-orang
yang memiliki kedekatan dengannya.
Demikian pula halnya
dengan Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah
berlangsung akhir bulan Nopember 2020 ini di Jakarta. Terhadap forum tersebut,
media massa memiliki andil yang sangat besar memberikan informasi kepada
masyarakat luas di berbagai belahan dunia. Bahwa forum yang menjadi tempat
berkumpulnya pada ulama di Indonesia, sedang melaksanakan musyawarah. Selain
membahas berbagai program kerja, Munas seperti ini biasanya juga memiliki
pengurus pada periode berikutnya.
Munas MUI tersebut, pun telah
merumuskan sejumlah program kerja dan rekomendasi, serta menetapkan sejumlah
pengurus. Di antara pengurus yang ditetapkan adalah Ketua Umum yakni KH.
Miftahul Akhyar dan Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A., sebagai Sekretaris Jenderal
periode 2020-2025. Kita tentu sangat bersyukur bahwa, forum musyawarah tersebut
telah terselenggara dengan baik. Tidak ada masalah besar yang diberitakan atas
forum tersebut. Tidak ada pemberitaan yang mencolok tentang, misalnya,
perebutan tampuk ketua umum. Berbeda dengan organisasi lain yang sering terjadi
kegaduhan di dalamnya, memperebutkan ketua umum, tidak terkecuali organisasi
yang berasaskan Islam. Inilah yang saya maksudkan sebagai sesuatu yang penting
untuk disyukuri, bahwa Munas MUI berlangsung dengan tertib dan lancar.
MUI adalah organisasi yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan
Indonesia dengan maksud untuk memberikan bimbingan, pembinaan, dan mengayomi
umat Islam di Indonesia. Tentunya tidak hanya dalam bidang keagamaan saja,
namun bisa dikembangkan lagi termasuk pula dalam bidang sosial-kemasyarakatan.
Sejak didirikan tahun 1970-an, MUI lebih dikenal sebagai lembaga yang
membantu pemerintah Indonesia dalam hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat
Islam. Antara lain adalah mengeluarkan
fatwa halal terhadap produk makanan, menentukan sikap terhadap sebuah aliran yang
berhubungan dengan agama Islam, serta hubungan antara umat Islam dengan
lingkungannya.
Hubungan MUI dengan Orang
Batak
Setelah berakhirnya Munas
MUI tersebut di atas dan diumumkannya susunan pengurus periode
lima tahun ke depan, ada yang catatan tersendiri yang dianggap sebagai sesuatu
yang cukup fenomenal bagi sebagian umat Islam keturunan Batak, Sumatra Utara.
Ini terlihat dari beberapa komentar pada media sosial dan perbincangan tidak
formal dalam beberapa forum diskusi. Dimana untuk pertama kalinya, sebuah
organisasi yang menghimpun ulama dan tokoh-tokoh utama umat Islam di negeri
ini, Sekretaris Jenderalnya dijabat oleh orang yang memiliki marga Batak, yakni
“Tambunan”.
Bagi saya pribadi
sebenarnya memperoleh jabatan tersebut, dilihat dari satu sisi tidaklah begitu luar biasa. Siapapun orangnya,
dari unsur manapun, dari suku apapun, tidak jadi masalah. Karena bagaimanapun
MUI adalah organisasi sosial keagamaan yang sifatnya sukarela. MUI juga dapat
dikategorikan sebagai organisasi nirlaba, yakni organisasi yang sesungguhnya
tidak berorientasi kepada keuntungan finansial, atau dapat pula disebut sebagai
organisasi non-profit. MUI pun adalah organisasi yang tidak terikat kepada organisasi
lain, yang sama sekali tidak memiliki tendensi politik, kecuali hanya untuk
kemaslahatan umat Islam semata. MUI juga bukan organisasi massa tertentu. Tidak
ada anggota MUI, yang ada adalah pengurusnya saja. Kalaupun harus ada orang yang
disebut sebagai anggota MUI, adalah mereka yang beragama Islam di Indonesia, tanpa
kecuali, tanpa melihat latar belakang politik, suku, keturunan, maupun afiliasi
faham keagamaannya.
Namun mengapa dengan
terpilihnya seorang Batak yang bermarga “Tambunan” sebagai Sekretaris Jenderal,
dianggap sebagai sesuatu yang fenomenal? Sekiranya yang menjabat tersebut adalah
orang Batak yang bermarga “Harahap”, “Lubis”,
“Daulay”, “Siregar”, atau “Nasution”, dalam hal yang ini, tidaklah sangat
istimewa. Sebab untuk yang bermarga tersebut, sudah sangat akrab dengan Islam.
Sudah banyak pejabat publik atau tokoh agama dari orang Batak yang bermarga
tersebut. Sangat berbeda jika yang menjabat tersebut adalah bermarga “Tambunan”,
“Siagian”, atau “Pakpahan”, masih langka. Sehingga hal ini dipandang cukup
istimewa dan fenomenal.
Dalam pandangan saya, ini
tidak lebih dari upaya menunjukkan serta semakin memperjelas citra dan
identitas umat Islam dari kalangan Batak Sumatra Utara. Selama ini, oleh banyak
kalangan di Indonesia, termasuk oleh umat Islam sendiri, memandang bahwa orang
Batak itu sangat identik dengan bukan beragama Islam. Fenomena di atas juga
menerangkan bahwa dengan jabatan sebagai Sekretaris Jenderal organisasi Islam
dari kalangan Batak, memperlihatkan ternyata bahwa orang Batak yang beragama Islam
pun dapat berkiprah dalam organisasi Islam tingkat nasional.
Diidentikkan dengan Bukan
Islam
Memang selama ini dalam
kehidupan sehari-hari, hingga saat ini bagi sebagian masyarakat, bahwa orang
Batak masih dianggap sebagai bukan beragama Islam. Ketika ada orang yang Batak
yang menempelkan marga di belakang namanya, dianggap bukan Islam. Hal ini
memang tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa dalam berbagai lini kehidupan
masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Jika ada orang Batak yang memiliki
jabatan penting dalam bidang
pemerintahan atau perusahaan, tokoh
publik yang pupuler melalui televisi, akademisi, aktivis yang bergerak dalam
bidang hukum dan komunikator politik, anak-anak muda yang merantau ke seluruh
penjuru negeri, terdapat yang bukan
beragama Islam. Inilah antara lain yang menyebabkan pandangan tersebut, sulit
dihilangkan.
Pengalaman yang sering
kami alami sebagai orang Batak yang beragama Islam, dimana beberapa kali
terjadi situasi yang menganggap kami bukan beragama Islam. Atau bahkan jika ada
orang Batak yang mengaku beragama Islam, ada kalanya dianggap sebagai sesuatu
yang patut dipertanyakan kebenarannya. Mantan Menteri Sekretaris Kabinet era
Presiden SBY, Sudi Silalahi, pernah menceritakan pengalamannya. Dimana pada
saat dia akan diangkat sebagai Pangdam V Brawijaya Jawa Timur, pernah ditolak
oleh kalangan ulama. Alasannya dia bukan Islam, dilihat dari marganya “Silalahi”
sebagai orang Batak. Padahal beliau adalah seorang keturunan Batak yang mana
orang tuanya adalah penganut agama Islam yang taat.
Seorang anggota keluarga
saya yang bermarga “Pakpahan” pun pernah mengalami persoalan yang mirip. Sempat
dipertanyakan keislamannya. Padahal nama awalnya sudah dapat menunjukkan
identitas keislaman. Namun masih tetap dipertanyakan. Ketika itu pada awal
tahun 1990-an, beliau diterima sebagai pegawai pada salah satu perusahaan negara
yang berkedudukan di Bandung Jawa Barat. Beberapa saat setelah masuk kantor,
pimpinannya yang beragama Islam, memanggilnya. Menanyakan berbagai hal,
termasuk apakah dia itu benar-benar seorang Muslim atau bukan? Untuk menguatkan
keislamannya, anggota keluarga saya ini, bersedia menjadi khatib Jum’at di masjid
kompleks perusahaan tersebut. Sekedar informasi bahwa, beliau adalah anak dari seorang
ulama dan pernah menjadi pengurus Pimpinan
Daerah Muhammadiyah di Pematang Siantar, Sumatra Utara.
Sedangkan saya sendiri pun,
selama merantau di Sulawesi Selatan sejak tahun 1990, sering mengalami hal yang
hampir mirip, meski dengan intensitas yang masih dapat ditoleransi. Di sekolah saat
masih SMA, dilihat dari marga “Siagian”, ada yang menganggap saya adalah bukan
Islam. Sebab selama ini jika ada orang Batak yang masuk sekolah atau pindah ke
sekolah tersebut, biasanya bukan beragama Islam. Bahkan ketika saya akan
menikahi seorang gadis Mandar tahun 2003, pernah pula tersiar kabar yang
sedikit mempertanyakan keislaman saya. Beberapa anggota masyarakat di sekitar Majene,
kampung calon Bapak Mertuaku, sempat meragukan dan menyampaikan pertanyaan ini
kepada keluarga calon istriku.
Tokoh Batak Berkiprah
dalam Organisasi Islam
Sebenarnya dalam
pandangan saya selama ini, sudah cukup orang Batak yang menduduki jabatan
penting pada organisasi keagamaan Islam tingkat
pusat. Misalnya dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Sebutlah di Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah, dua orang ketua umumnya secara berturut-turut pernah dijabat
orang Batak, masing-masing bermarga Daulay dan Simanjuntak, yakni Saleh Partaonan
Daulay dan Dahnil Anjar Simanjutak. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM), pernah dijabat oleh seorang perempuan yang cukup energik,
Siar Anggreita Siagian. Di Jakarta, Ketua Muhammadiyah pernah dijabat oleh seorang
ulama yang bermarga Siregar. Namun untuk pengurus teras Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
sampai saat ini belum pernah ada.
Bahkan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan Islam terbesar di negeri ini, didirikan
oleh orang Batak yang yang sudah menjadi pahlawan nasional yakni Lafran Pane. Pernah
pula ketua umumnya dijabat oleh orang Batak yakni Akbar Tanjung. Pada tingkat lembaga
negara, terdapat pula orang Batak yang
beragama Islam menjabat sebagai Menteri, Panglima TNI, bahkan Ketua MPRS.
Jangan lupa pula bahwa Wakil Presiden RI, pernah dijabat oleh orang Batak
Muslim yakni Adam Malik Batubara, meskipun dalam penulisan administratif, marga
Batubara tersebut tidak selalu dilekatkan dalam namanya. Dua orang menteri
zaman Presiden Soeharto, adalah beragama Islam yakni Hasrul Harahap dan Arifin
Siregar. Satu orang pendakwah di tanah air yang cukup populer sekarang ini pun
adalah orang Batak, yakni Ustadz Abdul Somad Batubara. Dan masih cukup pejabat
lainnya.
Walaubagaimanapun ternyata
dalam pandangan sebagian masyarakat Indonesia, sekali lagi tidak terkecuali di kalangan
umat Islam sendiri, yang memandang bahwa orang Batak sering diidentikkan dengan bukan Muslim. Masih
terpatri dalam benak mereka bahwa orang Batak adalah bukan Islam. Kehadiran Abang
Dr. Amirsyah Tambunan, M.A., sebagai Sekretaris Jenderal Majelis Ulama
Indonesia, diharapkan dapat membantu dan semakin memperjelas identitas
keislaman orang Batak. Selamat bekerja, Bang. Di tangan Abang, terdapat
sebagian amanah besar; membina umat dalam mewujudkan masyarakat utama, adil dan
Makmur, pun menjunjung tinggi akhlakul karimah dalam redha Allah Swt. Amiin.
Wassalam
Keiraville, 30 Nopember
2020
Penulis adalah Dosen
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / pernah menjadi Kepala
Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan / saat ini sedang bermukim
di Australia.
Catatan :
Foto diambil dari Amirsyah Tambunan, Intelektual Muhammadiyah Jadi Sekjen MUI (demokrasi.co.id)
0 Comments