Maman Sebagai Seniman-Komunikator Politik
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Pendahuluan
Saya
mengucapkan terimakasih pihak panitia, Sekolah Pascasarjana Uhamka, atas
kesempatan yang diberikan untuk ikut berbagi ilmu dalam seminar internasional
dan dikusi buku “MAMONISME Doridungga Hingga BJ. Habibie Dalam Diksi
Bermada Cinta”. Mengingat bahwa
makalah saya yang berjudul : “Implementasi Aktor Komunikasi Politik dalam Membentuk
Opini Publik dalam Masyarakat yang Berkarakter
Insan demi Kemaslahatan Agama, Bangsa dan Negara”, telah saya kirimkan
kepada panitia.
Sehingga
pada kesempatan yang singkat ini, tidak banyak yang ingin saya sampaikan
terkait dengan seminar dan diskusi buku ini, karena para pembahas lain sudah
membicarakannya dari berbagai aspek. Pada kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan
catatan-catatan singkat tentang buku ini. Dalam kesempatan ini saya bagi dalam
beberapa bagian: perkenalan, tentang buku ini, Maman sebagai komunikator
politik, dan penutup.
Perkenalan
Saya
mengenal Bang Maman ini sejak awal tahun 1990-an. Tak lama setelah saya merantau
dari Sipirok Tapanuli Selatan Sumatra Utara, tiba sekitar bulan Juli 1990 di
Makassar atau Ujung Pandang. Saya tinggal di Kantor Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan Jl. G. Lompobattang No. 201. Saat itu, oleh Pak
Kiyai Djamaluddin Amien, Ketua PWM Sulsel, saya diminta membantu abang saya,
Syamsul Bahri Siagian, mengurus kantor dari aspek kebersihan, kerapian,
keamanan dan juga membantu mengurus administrasi perkantoran.
Bang
Maman saat itu adalah pengurus IMM Cabang Ujung Pandang dan seterusnya menjadi
pengurus DPD IMM Sulsel. Mereka berkantor di bagian belakang kantor PWM Sulsel.
Selain berkantor dan melaksanakan kegiatan organisasi, mereka juga menjadikan
kantor IMM sebagai tempat istirahat. Dalam periode inilah kami sering berinteraksi;
makan bersama, salat berjamaah di lantai dua atau ke masjid, dan lain-lain.
Saat itu, saya masih seusia SMA, masih sekolah di SMA Negeri 3 Ujung Pandang.
Beberapa kali saya yang memasak nasi dan membeli lauk di Jalan Kalampeto,
kemudian kami makan bersama. Beberapa nama selain Bang Maman, yang saya ingat
antara lain adalah Kak Mustaqim Muhallim, Mukhaer Pakkanna, Saharuddin, Lukman
Basra (alm), dan Amiruddin Bakri.
Karena
kantor Muhammadiyah sering dijadikan tempat perkaderan IMM, saat itu beliau
sudah berposisi sebagai tim instruktur. Maka saya sering melihat beliau tampil
di depan mahasiswa-mahasiswa yang ikut pengkaderan. Baik membawakan materi
perkaderan maupun bertindak sebagai pemandu kegiatan. Saya pun sering melihat
dan mendengarkan mereka sedang berdiskusi informal di depan ruang kantor,
sambil menunggu Immawati yang sedang memasak di dapur.
Pada
pertengahan tahun 1990-an, Bang Maman ini hijrah ke Jakarta, menjadi pengurus
DPP IMM. Setelah selesai periodenya di IMM, beliau bergabung dengan Lembaga
Seni Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bersama Dedy Mizwar, yang kemudian
kita kenal sebagai pernah menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Dalam beberapa kesempatan, saya membaca bahwa Bang Maman ini sering membaca
puisi, baik dalam acara yang dilakukan oleh Lembaga Seni Budaya maupun
organisasi lain. Dari sini saya mengetahui bahwa Bang Maman ini adalah seorang
seniman, disamping sebagai seorang aktivis dan organisatoris. Beberapa kali
kami masih sempat bertemu, terutama dalam acara-acara Muhammadiyah. Baik yang
diadakan di Makassar seperti Sidang Tanwir tahun 2003, maupun ketika saya ke
Jakarta dan Yogyakarta menghadiri kegiatan Muhammadiyah.
Sekitar
tahun 2012, saya mendapat undangan bahwa Bang Maman akan melaksanakan pernikahan
di Kabupaten Soppeng. Turut bertanda tangan dalam undangan tersebut adalah
Prof. Din Syamsuddin, saat itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Namun saya tidak sempat hadir karena sedang melanjutkan
pendidikan S3 di Malaysia.
Rupanya,
Allah Swt memiliki rencana lain. Setelah beliau menikah, kami bertemu di salah
satu rumah makan di Hentian Kajang, Bangi, Malaysia. Ternyata istrinya juga
sedang melanjutkan pendidikan S3 di tempat saya kuliah, Universiti Kebangsaan
Malaysia, bahkan sedang menyelesaikan penulisan disertasinya. Dalam pertemuan
tersebut, saya menyarankan kepada Bang Maman, agar jangan membiarkan istrinya
hidup sendiri di Malaysia. Harus didampingi terus menerus.
Alhamdulillah,
saran saya beliau dengar dan diskusikan dengan istrinya. Tak lama setelah itu,
Bang Maman sudah terdaftar sebagai mahasiswa S3 di kampus kami. Sambil menemani
istrinya, juga sambil melanjutkan studinya.
Saya sempat merasa iri kepada beliau, karena meskipun saya duluan
kuliah, berbeda setahun, tetapi beliau yang duluan menyelesaikan program
doktornya.
Tentang Buku ini
Banyak
pendapat dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa menulis itu adalah sangat
penting. Bahkan dalam Islam, perintah membaca (iqra), adalah sekaligus pula perintah
untuk menulis. Sebab untuk membaca perlu ada tulisan. Menulis sangat penting,
bukan hanya sebagai sarana untuk berbagi ilmu pengetahuan, lebih dari itu,
menulis pun menjadi bagian dari sebuah upaya untuk membangun peradaban masa
depan. Tulisan-tulisan saat ini, akan menjadi bukti sejarah dan tolok ukur
peradaban masa kini untuk generasi-generasi berikutnya. Semakin banyak tulisan
yang dihadirkan seseorang, semakin besar upayakan untuk membangun peradaban
yang lebih baik di masa yang akan datang.
Dalam
pengalaman saya membaca dan mereview sebuah buku, ini termasuk buku yang luar
biasa. Jika dilihat dari ketebalan buku ini, mencapai 844 halaman. Untuk
kalangan kita di Indonesia, jumlah halaman seperti ini sangat langka. Saya
mengapresiasi keuletan Bang Maman dalam mengumpulkan tulisan-tulisannya yang
tersebar di berbagai tempat, sehingga disusun menjadi sebuah buku. Sebab banyak
tulisan-tulisan seseorang di berbagai tempat; media massa, media online,
makalah, dan lain-lain, namun tidak sempat dibukukan. Mungkin karena tidak
ditemukan lagi, hilang, dan sebab-sebab lainnya. Bang Maman, ditengah
kesibukannya sebagai seorang seniman, aktivis dan organisatoris, ternyata
sangat tekun mengarsipkan tulisan.
Dengan
terbitnya buku ini, semoga menjadi inspirasi kepada kita semua dalam melakukan
hal yang sama. Menerbitkan tulisan-tulisan menjadi sebuah buku. Saya sendiri
Alhamdulillah, hingga saat ini sudah menerbikan empat judul buku, itu masih sangat
sedikit untuk ukuran seorang akademisi. Sehingga akan terus berusaha untuk
menerbitkan buku-buku lainnya.
Maman sebagai Komunikator
Politik
Dari
buku ini saya memeroleh informasi yang sangat berharga. Bahwa Bang Maman ini
tidak hanya sebagai seorang seniman, aktivis, maupun organisatoris. Namun saya
ingin mengatakan bahwa beliau pun adalah seorang komunikator politik; Seorang
komunikator politik yang handal dan tulus. Di antara ciri seorang komunikator
politik adalah kesediaan dan keberaniannya menyampaikan sesuatu aspirasi, ide,
gagasan, atau kritikan, yang terkait dengan kemaslahatan masyarakat banyak
kepada penguasa negeri melalui berbagai saluran-saluran komunikasi yang
tersedia.
Boleh
dikatakan bahwa beliau turut mengambil peran serta mewakili menyampaikan
kegelisahan-kegelisahan sebagian orang terhadap
situasi yang terjadi di negeri. Tidak banyak orang yang bisa mengemukakan
kegilasahan-kegelisahan tersebut secara murni dan tulus. Beberapa kalimat berikut ini saya kutip yang
menggambarkan pandangan masyarakat banyak terhadap berbagai fenomena yang
terjadi dalam negeri :
“Titik api di sekitar
kami, bukanlah simbol kemarahan Tuhan, tapi simbol keserakahan dan bukti
ketidakpedulian Negara, bukti kepongahan Jakarta terhadap Daerah”
(halaman 219).
“Hak asasi hanya ada
dalam konsep undang-undang dan hanya ada pada alat ucap para penguasa untuk
memuluskan segala daya upaya kelicikannya” (halaman 266).
“Pempimpin bermoral
adalah yang selalu mememperhatikan mereka (rakyat) yang di pimpinnya, dan
selalu takut berbuat bohong serta membohongi dikarenakan dia selalu ingat akan
Tuhannya” (halaman 307).
Ketiga
kalimat yang dikutip di atas, tentu dapat dipahami sebagai bentuk kritikan
kepada pemerintah yang berkuasa. Ketiga kalimat kritikan tersebut, beliau tulis
beberapa tahun lalu, saat itu SBY masih sebagai Presiden RI periode kedua. Saya
sengaja mencari kritikan beliau yang dialamatkan pada pemerintahan masa lalu,
meskipun kritikan kepada pemerintahan saat ini juga tetap ada dimuat dalam buku
tersebut. Kritikan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh seorang komunikator
politik yang merdeka, mandiri dan memiliki empati sosial yang tinggi.
Penutup
Demikian
apa yang dapat saya sampaikan, sebagai bagian dari apresiasi saya kepada Bang
Maman atas bukunya yang sangat baik ini. Billahi Fii Sabililhaq, Fastabiqul
Khaerat.
Wassalam
Wollongong, 09 Januari 2021
Keterangan : Catatan ini disarikan dari presentasi
dalam “Seminar Internasional dan Diskusi Buku : “MAMONISME Doridungga
Hingga BJ. Habibie Dalam Diksi Bermada Cinta”, yang dilaksanakan secara
virtual oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. HAMKA,
Jakarta, 9 Januari 2021.
0 Comments