About Me

Covid-19, Tempe dalam Kotak Pos dan Lambang Keindonesiaan


COVID-19, TEMPE DALAM KOTAK POS DAN LAMBANG KEINDONESIAAN
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari negara kita, Indonesia, satu di antara makanan yang paling disukai adalah tempe. Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia. Berbahan utama kacang kedelai yang diolah sedemikian rupa hingga berbentuk lempengan kecil, yang enak dimasak dengan berbagai cara. Bisa digoreng, direndang, digulai, dan seterusnya. Dengan rasanya yang demikian itu, hampir semua rakyat Indonesia dimana pun berada, akan merindukan nikmatnya makanan tradisional yang sudah turun-temurun ini.
Harganya cukup murah dan merakyat. Meskipun bukan barang mewah, tetapi tempe sudah cukup melekat bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Mulai dari restoran yang paling mewah hingga kedai kaki lima di pinggi jalan, dapat menjadikan tempe sebagai menu makanan. Dalam berbagai acara resmi, baik berskala nasional maupun internasional, tidak jarang tempe menjadi daftar menu untuk peserta.
Meski awalnya mulai muncul dan berkembang di Pulau Jawa, sekarang tempe sudah menjadi makanan favorit mulai dari Sabang sampai ke Pelitakan Polewali sampai ke Merauke. Mulai dari Sangir Taulaud hingga Takabonerate Selayar terus sampai ke Pulau Rote. Menjadikan tempe sebagai makanan yang murah dan meriah dalam berbagai suasana.
Meskipun tempe adalah sejenis makanan, tetapi tempe dapat melambangkan ke-Indonesiaan dan kebhinnekatunggalikaan juga keramahtamahan serta persatuan Indonesia. Maksudnya bagaimana? Lihatlah bahwa bangsa Indonesia menerima siapa saja yang dapat ke wilayahnya dimana saja bahkan sampai ke pelosok tersebut di atas. Misalnya, dimana ada tempe, kemungkinan besar di situ ada orang Jawa. Karena pada umumnya, yang biasa memproduksi atau membuat serta menjual tempe adalah orang Jawa atau minimal seseorang yang sudah pernah bersentuhan budaya dengan orang Jawa.
Pada awal kami bermukim di sini sekitar sepuluh bulan lalu, dalam berberapa acara warga Indonesia sering menyajikan tempe sebagai menu pendamping makanan utama. Misalnya yang diadakan oleh Pengajian Jamaah Illawara (JPI) Wollongong ataupun PPIA (Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia). Ibunya anak-anak di rumah pun sering menyajikan tempe sebagai makanan harian di rumah.
Rasanya memang berbeda dengan yang tempe asli Indonesia. Soalnya tempe di sini, dijual oleh orang Vietnam, yang disimpan dalam pendingin bebeberapa lama. Tak jelas pula dibuat dimana. Oleh siapa dan kapan. Sehingga rasanya memang sangat jauh berbeda. Tetapi karena keinginan memakan tempe, sehingga terpaksa dibeli juga.
Sejak dua bulan terakhir, rasa tempe Indonesia sudah bisa dirasakan di kota ini. Adalah seorang ibu asal Purworejo Jawa Tengah yang memproduksinya. Suaminya seorang kandidat doktor dalam bidang perikanan laut di University of Wollongong. Awalnya dia memproduksi secara terbatas. Konsumsi sendiri atau untuk acara warga kumpul-kumpul dengan warga Indonesia.
Ternyata ibu-ibu warga Indonesia di sini menyukainya. Bertanya dimana beli? Saya buat sendiri katanya. Boleh pesan? Boleh, asal bersamaan katanya. Demikianlah, dua hari lalu beberapa ibu memesan tempe kepadanya. Ini adalah untuk yang kesekian kalinya para ibu-ibu memesan tempenya. Harganya cukup murah. Hanya $9 atau sekitar sembilan puluh ribu Rupiah untuk tiga bungkus. Murah atau mahal?
Untuk ukuran Indonesia, dengan uang sebanyak itu sudah bisa beli tempe satu keranjang. Di sini itu sudah cukup murah. Sebab kalau beli di toko Vietnam, harganya untuk jumlah yang sama adalah $4 atau seratus dua puluh ribu Rupiah. Padahal rasanya jauh berbeda.
Muncul persoalan? Bagaimana mengantar atau mengambil tempe tersebut ke rumah si Ibu? Jaraknya memang tidak seberapa jauh, sekitar satu setengah kilometer, bisa ditempuh jalan kaki sambil olah raga pagi atau jalan-jalan sore. Tetapi sejak adanya wabah covid-19 ini, ada pembatasan yang dilakukan oleh otoritas setempat. Pembatasan dimaksudkan sebagai bagian dari upaya menghentikan penularan wabah penyakit global ini.
Antara lain adalah larangan bertamu dan dan menerima tamu. Larangan ini cukup efektif dan dipatuhi oleh warga, termasuk oleh kami warga Indonesia. Jadi bagaimana cara mengambil tempe tersebut? Saya tak pernah bayangkan, ternyata suami si ibu tadi punya cara tersendiri.
Sore hari sang suami telah mencatat alamat masing-masing ibu yang memesan tempe. Setelah jelas alamatnya, dia pun keliling mendatangi alamat satu per satu. Di sini setiap rumah atau unit, memiliki kotak pos masing-masing yang jelas, lengkap, aman dan tertutup. Meski tertutup, tetapi bisa dibuka secara manual.
Di kotak pos inilah, tempe disimpan. Ukuran kotak surat mampu menampung tempe hingga sepuluh bungkus. Jadi kalau hanya besan tiga bungkus, masih cukup longgar di dalam. setelah dia simpan dalam kotak pos, lalu dia pulang. Di rumahnya, beliau memberi tahu kami lewat pesan singkat bahwa pesanan tempe sudah diletakkan dalam kotak surat. silahkan dinikmati, katanya!
Bagaimana cara membayarnya? Cukup transfer lewat rekening saja. Demikianlah. Di tengah wabah yang sulit dideteksi ini, berbagai cara diupayakan agar tetap eksis, dengan tetap memerhatikan ketentuan yang berlakut. Tidak melanggar aturan dan tidak membahayakan orang lain. Meski berada di rumah, keinginan untuk makan tempe tetap terpenuhi dengan menggunakan teknologi komunikasi.
Wassalam
Wollongong, 09.04.20

Post a Comment

0 Comments

close