About Me

Pemilukada dan Hisab-Rukyat

Kemarin saya mendapat informasi yang cukup valid bahwa ajang pemilihan Gubernur Sulsel yang digelar hari ini, sudah menghasilkan pemenang. Berdasarkan hasil survey, pemenangnya adalah pasangan nomor urut 2, dengan selisih berkisar 15 - 20 % dengan peroleh suara terbanyak kedua yang diraih oleh pasangan urut 1. Sedangkan pasangan urut 3, akan memperoleh jumlah suara berkisar 4-7 % dari total suara yang ada. Informasi lain yang saya peroleh adalah bahwa calon gubernur pasangan nomor urut 3 ini sesungguhnya hanyalah untuk uji coba kekuatan calon presiden yang akan datang. Karena jumlah perolehan suaranya tidak mencapai 15 %, maka sang calon ini akan dicopot dari ketua partai politik yang dia pimpin sekarang.

Jelang magribnya, setelah seharian keliling ketemu responden kajian, saya ditelepon oleh seorang teman, bernama Muannas, senior saya di Universitas Hasanuddin sekitar pertengahan tahun 1990-an. Sekarang dia menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi stasiun Celebes TV, milik pengusaha kaya, Aksa Mahmud. Beliau meminta saya ingin acara diskusi "Obrolan Karebosi" yang disiarkan secara live pukul 20.00 Wita atau satu jam lagi dari waktu ketika dia hubungi saya. Temanya sekitar pemilukada yang digelar hari ini. Dia bilang ini adalah bidang saya sebagai calon doktor komunikasi politik dan saatnya suara kampus untuk mengadakan perubahan.  Akan tetapi, saya dengan berat hati memohon maaf, tak berkenan menerima tawaran itu. Padahal sesungguhnya, ini dapat menjadi modal bagi saya untuk dapat tampil ke publik menyampaikan gagasan-gagasan akademik. Saya menolak itu dengan beberapa pertimbangan;
(1) Saya memang tidak siap untuk didadak dalam waktu sekejab untuk tampil di hadapan publik untuk pertama kali. Inikan perlu persiapan yang cukup rapi; bahan, mental, tenaga, dan terutama dari sisi penampilan (tak punya busana yang tepat untuk itu...hehehe....ehehhe, mana belum disetrika lagi...).....sekiranya ada waktu sekitar sehari sebelumnya, tentu saya akan pertimbangkan....mana saya sangat capek seharian keliling kota mengumpulan angket kuesioner, menghadiri aqiqah teman, dan seterusnya.
(2) Dhuhur hari kemarin saya berdiskusi dengan ketua Muhammadiyah Sulsel, KH.Muh. Alwi Uddin, tentang menjaga ketenganan pemilukada. Saya sadar betul bahwa, saya sudah termasuk orang yang dikenal sebagai orang Muhammadiyah. Karena ini berkaitan dengan politik, maka pandangan saya dapat saja ditafsirkan oleh pihak lain sebagai pandangan Muhammadiyah. Jika pandangan saya nanti berbeda dengan sikap politik mereka, boleh jadi Muhammadiyah menjadi sasaran. Dalam beberapa pemilukada lalu dan baru-baru ini saja, kantor Muhammadiyah diserang sekelompok orang dengan cara yang rapi. Ini, perlu saja jaga dan komitmen kami untuk itu.
(3) Saya juga khawatir nantinya, presenter akan mengarahkan saya untuk menguatkan pernyataannya. Sebagai pemula tampil di media, bagaimanapun kemungkinan sikap dan tingkah laku saya akan mudah ditebak oleh presenter yang sudah pengalaman.
(4) Dari dulu memang saya tidak sreg dengan pemilukada ini. Jadi temanya memang tidak sesuai dengan sikap politik saya.

Mengapa dengan nomor empat ini? Karena berkaca dengan pengalaman-pengalaman yang lalu, pemilukada, bagi saya tidak menghasilkan pemimpin yang ideal, yang benar-benar mampu mengemban amanak warganegara. Saya lebih suka jika pemimpin di negeri ini cukup dipilih sekali, yakni pemilihan presiden. Nanti presidenlah yang mengangkat gubernur-bupati dan seterusnya dengan membuat mekanisme yang kita anggap demokratis. Pemilukada sekarang, tak lebih dari upaya pembodohan, pemborosan, buang-buang waktu, tenaga, dana, dan sebagainya. Pemilukada tak lebih dari upaya menunjukkan kita ini berdemokrasi, mengikuti demokrasi luar, bukan keinginan rakyat kita berdasarkan norma dan budaya.

Lihatlah prediksi kemarin, hasil pemilukada hari ini, tidak jauh berbeda dari yang saya ungkapkan di atas. Karena hasilnya sudah diketahui dengan cara survey dan lain-lain, nah, untuk apalagi mesti repot-repot mendatangi TPS? Inikan hanya formalitas semata, sandiwara, agar kita dianggap demokratis.

Ada yang mengatakan bahwa walaupun hasilnya sudah diduga, tetap perlu dijalankan sesuai mekanisme demokrasi. Sebab katanya pemilihan umum langsung adalah esensi demokrasi.

Ini mirip dengan penentuan tanggal jatuhnya permulaan bulan Ramadhan untuk memulai puasa dan idul fitri serta hari raya Islam lainnya, yakni perbedaan antara hisab (menghitung) dan rukyat (melihat). Semua sepakat bahwa sistem hisab dan rukyat ada dalilnya, dan sama-sama kuatnya. Para penganut rukyat sebenarnya, sudah menggunakan sistem hisab jauh hari sebelumnya. Akan tetapi masih harus tetap merukyat, karena untuk meyakinkan dan menunjukkan ketaatan, lita'abudi, atas dalil yang mengharuskan rukyat. Dengan demikian, walaupun hasilnya sudah dapat diprediksi, sudah diketahui berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyah, tetap harus dilakukan dengan sistem melihat, merukyat.

Persamaannya dengan pemilukada adalah, bahwa sudah banyak pihak yang mengetahui hasil pemilukada, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, seperti lembaga survey yang dilakukan walaupun katanya telah dibayar oleh salah satu kandidat, akan tetapi pemilu harus tetap dilaksanakan karena itulah mekanisme demokrasi yang sesungguhnya.

Bagi saya pribadi, inilah kelemahan kita di negara ini. Kita lebih senang disebut demokratis daripada menghemat biayah pemilukada yang milyaran bahkan triliyunan rupiah, menghindari pertumpahan darah, dan fokus kepada masalah pembangunan bangsa. Kita sibuk sekali karena ini masalah demokrasi. Padahal hasilnya, tidak selamanya mencerminkan demokrasi. Jika kita sepakat bahwa tujuan utama demokrasi adalah untuk mensejahterakan masyarakat, memeratakan keadilan bagi seluruh warganegara, maka pemilukada bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan untuk dilakukan. Mari kita cari cara memilih pemimpin dengan cara Indonesia, nilai-nilai budaya bangsa, adat istiadat dan keinginan warganegara.







Post a Comment

0 Comments

close