About Me

Istri yang Menjaga Marwah Suami








Kisah Istri Wagub Melahirkan Normal
Oleh : Haidir Fitra Siagian

Terus terang saja saya pencinta jilbab besar. Itu salah satu faktor yang saya pakai dulu untukh mencintai seseorang. Sebab saya ingat betul kata-kata ustadz Ahmad Tawalla saat membawa materi dalam acara TM II IRM Kabupaten Gowa di SMP Negeri Pallangga tahun 1994.

Saat itu beliau mengatakan bahwa kewajiban seorang muslimah menutup auratnya. Bukan membungkus auratnya. Ternyata berbeda antara menutup dengan membungkus.

Nasi bungkus nasi Padang misalnya. Dari cara membungkusnya, dapat diprediksi seperti apa isinya dan sudah lazim diketahui bahwa isinya adalah nasi yang dibungkus berserta lauknya.

Berbeda dengan nasi yang ditutup. Lihatlah nasi kotak. Dalam konteks tertentu, tidak bisa diprediksi isinya. Kadang dengan kotak yang sama, isinya belum tentu sama. Bisa jadi berisi roti atau kue-kue basah. Mungkin juga makanan ringan lainnya.

Jika nasi bungkus, sebelum dibuka sudah dapat diduga isinya. Sedangkan nasi kotak, belum tentu, nanti dilihat baru dapat dipastikan. Kira-kira seperti ini analogi ustadz Ahmad Tawalla sekitar 25 tahun lalu. Walaupun tidak persis benar, tapi saya kira analogi tersebut sudah mendekati kebenaran.

Dengan demikian, jilbab seorang muslimah adalah pakaian yang dapat dipakai untuk menutup auratnya sehingga tidak dapat dilihat. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan sehingga tidak diketahui bentuknya seperti apa.

Kita tentu sangat gembira dengan pemakaian busana Muslimah dewasa ini. Ini diawali pada akhir tahun 1990an, jilbab sudah membumi di seluruh Indonesia. Ketika saya masih SMA, wanita yang pakai jilbab di sekolah saya masih dapat dihitung jari. Demikian pula awal kuliah, teman-teman wanita yang pakai jilbab masih terbatas.

Saat ini, teman-teman saya dulu, baik yang di SMA maupun yang saat kuliah, sekarang hampir semuanya sudah pakai jilbab. Ini dapat dilihat melalui foto mereka yang diupload melalui media sosial.

Demikian juga sekarang, anak didik mulai dari tingkat dasar sampai tingkat atas bahkan di mahasiswa, sudah sebagian besar memakai jilbab. Termasuk kalangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pun sudah memakai jilbab. Jilbab pula sudah menjalar di kalangan publik figur, seperti pejabat, istri pejabat dan jabatan artis.

Bahwa memang  dalam pemakaian jilbab niat perempuan bermacam-macam. Ada yang betul-betul sebagai bagian dari syariat Islam, ada pula yang ala kadarnya. Mulai dari ikut-ikutan gaya zaman seorang, karena kewajiban dalam kampus atau tempat kerja. Ada pula perempuan yang memakai dengan niat modus tertentu. Lihatlah misalnya beberapa waktu lalu, perempuan - perempuan yang awalnya tidak berjilbab, tiba-tiba setelah di persidangan kasus korupsi justru tampil memakai jilbab di depan Majelis hakim. Mahasiswa saya yang di kampus memakai jilbab, ketika ketemu di pusat perbelanjaan tanpa jilbab. Dan seterusnya.

Maka jangan heran jika dalam pemberitaan di media massa, ditemukan adanya perempuan-perempuan yang memakai jilbab tetapi melakukan tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan hakikat jilbab itu sendiri.

Ada perempuan berjilbab yang kedapatan mencuri sabun dan lipstik di sebuah toko. Ada pula perempuan berjilbab yang merokok dengan mengepulkan asapnya di sebuah cafe. Ada perempuan berjilbab yang terlibat dalam peredaran barang terlarang. Bahkan ada perempuan berjilbab yang menjadi jilbabnya sebagai pemantik lelaki hidung belang.

Nah dalam hal ini, tentu perempuan-perempuan berjilbab tersebut, hampir dapat dipastikan tidak mengetahui hakikat jilbab itu. Jika pun ia tahu hakikatnya, tetapi dengan perilaku yang dia perankan di atas, menjadikan jilbab yang dia pakai itu bukanlah untuk tujuan syariat agama.

Lantas bagaimana dengan pemakaian jilbab besar? Tidak ada juga jaminan bahwa mereka lebih beriman dari wanita lainnya. Sebab ada juga perempuan berjilbab besar dengan modus menyembunyikan perbuatan tidak terpuji yang dia lakukan.

Walaubagaimanapun dalam pandangan saya, perempuan yang berjilbab besar itu dapat dipandang dari beberapa aspek.
Pertama, memang meyakini secara syariat Islam bahwa menutup aurat adalah kewajibannya sebagai muslimah.
Kedua, mereka yang memakai jilbab besar, tentu lebih memahami dasar hukum penutupan aurat. Artinya tingkat pemahaman keagamaannya sudah lebih dari standar biasa-biasa saja.
Ketiga, perempuan berjilbab besar lebih menjaga diri dari berbagai kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, termasuk dari fitnah keduaniaan.

Dengan demikian, masih dalam pandangan saya, perempuan yang memilih menggunakan jilbab besar yang sederhana tanpa pernak-pernik di sana-sini, adalah wanita muslimah yang menjaga marwahnya, marwah keluarganya, juga marwah agamanya.

Ketika membawakan orasi ilmiah di hadapan mahasiswa baru Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar kemarin, H. Andi Sudirman Sulaeman, yang pada saat itu masih berstatus wakil Gubernur Sulawesi Selatan terpilih, menceritakan pengalaman tentang istrinya.

Ketik mereka sudah punya dua orang anak, masih ingin  anak yang ketiga. Hanya saja, dua anaknya terdahulu lahir dengan cara operasi cesar. Mereka mengkhawatirkan jika anak ketiga juga harus operasi cesar, maka kemungkinan istrinya mendapat anak keempat akan sangat kesulitan.

Setelah pasangan suami istri ini sepakat akan memiliki anak yang kita dengan melahirkan secara normal. Tentu dengan segala konsekuensinya. Dalam hal ini, konsekuensi yang sangat besar.

Jika kita pahami dengan baik, bahwa konsekuensi tersebut tidak akan mungkin diterima oleh istri-istri yang biasa-biasa saja. Juga akan sulit diterapkan oleh suami yang tingkat pemahaman keagamaan masih awam. Ternyata mereka berdua menyepakati konsekuensi itu dengan hati yang lapang.

Dalam proses menjelang persalinan istrinya, Pak Andi ini mengalami berbagi hal yang tidak mudah. Di beberapa rumah sakit di Jakarta, mengatakan bahwa jika kelahiran pertama dan kedua dengan operasi cesar, maka sulit melahirkan anak ketiga dengan cara normal. Walaupun secara teori yang itu masih memungkinkan.

Dari rumah sakit ke rumah sakit, tidak ada yang menyatakan kesanggupan membantu kelahiran dengan cara norma. Kemudian pindah ke tempat lain.

Karena keduanya sudah sepakat bahwa kelahiran anak ketiganya harus normal. Akhirnya ditemukan seorang bidan menyanggupinya. Walaupun tentu masih ada dinamika lain, alhamdulillah, anak ketiga mereka lahir dengan cara normal justru ketiga Pak Andi ini sedang shalat hajat. Padahal bidan sudah mau bertanya kepadanya, harus segera dirujuk karena sudah gawat. Karena pak Andi sedang shalat, sang bidan tidak bisa langsung menanyakannya. Saat menunggu itulah, istrinya sudah melahirkan dengan selamat.

Mendengar ceritanya kemarin, saya membayangkan seperti apa keimanan istri pak Andi ini. Sebab hanya istri yang betul-betul tingkat keimanannya sudah matang, yang rela demikian. Rela bertarung nyawa demi anak dan suaminya.

Hari ini beliau akhirnya betul-betul dilantik sebagai Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam foto yang beredar di media sosial, istri Pak Wagub mengenakan jilbab besar. Jilbab yang sederhana. Jauh dari kesan mewah dan berlebihan. Sangat-sangat sederhana.

Insya Allah, dengan jilbab besar yang dipakai istrinya, dapat membantu suaminya dalam mengemban amanah. Dapat membantu menjaga suaminya dari hal-hal yang mencederai amanah umat.  Amiin.

Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
Samata Gowa
05 09 2018, jelang tengah malam.
Mohon  dikoreksi jika ada kekeliruan.

Post a Comment

0 Comments

close