MOHAMMAD
DOLLAR SIAGIAN
Guru
Penyabar Masa Dulu.
Pak
Dolar..!
Begitu
kami menyapa bapak guru Mohammad Dollar Siagian.
Pak
Dolar adalah guru Ilmu Bumi, ketika saya duduk di kelas 2-E SMPN I Sipirok,
tahun 1968.
Perawakannya
tergolong kecil, agak kurus, berkumis tipis, dan selalu mamakai pakaian baju
kemeja berlengan pendek berwarna putih, sepatu kulit senada dengan celana yang dipakai, warna
hitam. Rambut Pak Dolar selalu terlihat hitam mengkilap disisir rapi arah ke
samping, yang disapu dengan minyak beraroma lavender, merek minyak rambut terkenal kala itu.
Kala
guru dan murid sesama berjalan kaki menuju sekolah, sesiapa pun masyarakat
Sipirok, khususnya sekitar Pasar Sipirok kenal dengan Pak Dolar, sebagai guru
SMPN I Sipirok. Era itu, hanya Bapak Direktur SMPN I Sipirok, bapak Hiskia
Nasution, yang mengenderai sepeda ke sekolah. Sepeda ontel bermerek Religh itu
selalu terparkir rapi di teras depan ruang Direktur SMPN I Sipirok. Saat itu
jabatan dan sapaan Kepala Sekolah adalah Bapak Direktur.
Ketika
kami berkerumun bergerak menuju sekolah SMP I Negeri Sipirok, seseorang teman
pada posisi bagian belakang bersuara pelan “He, he.. itu Pak Dolar ada di
belakang. Minggir..!”.
Suara
pelan setengah berbisik itu, adalah perintah bagi rombongan agar segera menepi,
sekedar membuat ruang jalan kepada Pak Dolar. Beliau dengan senyum segera
berlalu, dan kami pun kembali membentuk formasi semula, berkerumun menuju
sekolah.
………………
Begitulah
sikap kami kala itu kepada bapak guru.
Beliau
diam dengan senyum, kami pun diam dengan senyum.
Tidak
ada sedikitpun suara sekedar mengucapkan selamat pagi, silahkan bapak..!,
ataupun mengucapkan “, tariomo kasih, parjolo au da..” (Terima kasih, duluan
Bapak..!).
Begitulah
saat itu.
Senyum
pak Dolar itu adalah pesan bahasa tubuh sang guru, yang kami maklumi.
Beliau
adalah pendiam.
Dan diam itu, adalah aura Pak Dolar.
Itu
yang membuat kami siswa SMPN I Sipirok, segan dan hormat kepadanya. Tidak
seperti pada guru yang lain, yang selalu kami beri gelar dengan berlandaskan
karakter, gaya dan metoda mereka menghadapi siswa di dalam kelas.
Begitu
adanya.
Semisal,
suasana kelas Ismit Siregar yang selalu ramai. Teman kolega dan senior Pak
Dolar sesama mengajar di SMPN I Sipirok. Suasana kelas Ismet riuh gelak ketawa
siswa siswi mengikuti proses pembelajaran yang diperagakan Ismit Siregar.
Metode pembelajaran, dan teknik komunikasinya tergolong sederhana tetapi
mengena di hati. “Sulit kita melupakan materi-materi pelajarannya”, kata teman
sebangku, Rakhman Ritonga, dari Bulu Mario, dan Zulhajji dari Kampung Teleng,
Pasar Sipirok. Memang Ismit Siregar, disela-sela pembelajarannya selalu menyelinginya dengan jock-jock ataupun
lelucon-lelucon ala srimulat halak Paranpadang. “Saya ini Presiden ni halak
Paranpadang”. Jock, Ismit Siregar. Kata pembuka dan pemancing tawa serta
penarik perhatian siswa-siswi SMPN I Sipirok. Itulah pertanda pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan segera dimulai. Ketika Pak Ismet Siregar mengisahkan
Tragedi 1965, seolah-olah sedang terjadi di dalam kelas. Siswa siswi membisu dengan
mata yang berkaca-kaca terharu mendengar uraian dan untaian kalimat content
materi pembelajarannya. Begitu hebatnya beliau mendramatisasi kejadian itu di
dalam kelas.
Memang,
betul betul hebat.
Tak
salah, dia bergelar Presiden ni halak Paranpadang. Ha, ha..!
Itulah
gelar yang melekat pada Ismit Siregar.
………..
Memang
tergolong kenakalan siswa siswi SMP I Negeri Sipirok, sering memberi “gelar
yang tidak patut” pada bapak ibu guru-nya. Kadang gelar itu pertanda kekaguman
pada sang guru, bahkan ada tanda kebencian sebagai gambaran perilaku sang guru
ketika menyampaikan materi pembelajaran.
Masih
ingat : Encik Butet, Encik Burnung, Guru Dek-dek, Guru Peor, Guru Lobang dan
Guru ..... “lelaki kemayu” dari Padang Bujur, (Maaf, titik titik tak usah
diisi.., dan mohon maaf juga pada keluarga guru-guru tercinta tersebut.. !).
Siswa
siswi memberi gelar Encik Burnung, ketika siswa siswi melihat mata si ibu guru
begitu sayu, dan suara datar hampir tanpa intonasi. Seolah-olah tidak ada
semangat dalam proses pembelajaran. Guru Peor melekat pada guru yang berasal
dari Sibadoar, karena perilaku sang guru yang sering memberi hukuman fisik pada
siswanya. Apatah lagi kalau siswa tidak dapat menulis aksara Batak di depan
kelas. He.. he..!.
Tidak
beda jauh. Gelar Guru Dek-dek melekat pada Beliau yang berasal dari Lobu Jelok,
Banjar Hutasuhut, ketika siswa tidak mampu menyebutkan tahun-tahun sejarah yang
diujikan, kena dek-dek (hukuman fisik)-lah si siswa. Gelar Guru Lobang melekat
pada guru Sejarah yang juga berasal dari Lobu jelok-Banjar Hutasuhut juga.
Ketika ada gerakan massal berburu tikus untuk program BIMAS, Cari lobangnya...
! Begitu beliau memberi komando pada siswa-siswinya.
Adakah
siswa siswi benci pada sang guru !
Tentulah
tidak.
Hukuman
adalah proses pembelajaran dan satu bentuk ketegasan seorang guru.
Kami
tidak benci.
………….
Adakah
gelar yang “ditabalkan” siswa kepada Bapak Dolar Siagian, sebagai gambaran pola
dari karakter beliau ketika mentransfer pengetahuan dalam kelas?
Jawabannya,
tidak.
Tidak
ada tingkah dan pola-laku Pak Dolar, yang selalu terulang sebagai persyaratan
penabalan gelar itu dari siswa.
Itu
pertanda beliau adalah guru yang
komunikatif dalam mentransfer pengetahuan Ilmu Alam, Ilmu Bumi, atau
kita kenal saat ini dengan Ilmu Fisika. Menit pertama sampai akhir dari tatap
muka di kelas, beliau selalu fokus pada pokok-pokok bahasan yang harus
dituntaskan beliau dengan waktu satu atau dua kali 45 menit.
Sehabis
itu, ketika ada bunyi lonceng pertanda akhir tatap muka, beliau segera bergegas
meninggalkan kelas.
Selesai
……………..
Sehabis
pelajaran siang itu, saya bergerak menuju pulang.
Cuaca
agak panas, dan di sekitar daerah Tipa-tipa, Kota Sipirok, yang beraspal
seadanya itu ditutupi debu.
Pada
spot-spot tertentu debu itu cukup tebal juga.
Sambil
berjalan sepatu baru bermerek “bata” itu saya
gesek-gesekkan pada aspal, sehingga menimbulkan debu beterbangan ke arah
belakang.
Keasikan
juga..
dan
seterusnya….
Ketika
saya menoleh ke belakang, terlihat Bapak Dolar yang se arah rumahnya dengan
saya menutup mulut dengan selembar kain saputangan.
Tertatap
raut muka beliau dengan penuh kemarahan.
Takutnya
saya, bukan main.
Tanpa
pikir lagi, ambil langkah seribu.
Kabur
tanpa merasa ada kesalahan.
Semoga
dia tidak kenal dan tidak ingat nama saya.
Hi
hi…
…………….
Pekan
Baru, 15 Maret 2021
Ir. H. Makruf Maryadi Siregar, M.Si., pensiunan
Birokrat di PEMPROV RIAU, sejak tahun 1996 berperan ganda, Dosen Luar
Biasa di beberapa perguruan tinggi di Riau (Fak. Perikanan dan Kelautan
Universitas Riau, Sekolah tinggi ilmu kesekhatan STIKES Hang Tuah Pekanbaru,
dan saat ini aktif di Fak. Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru.
Catatan
:
Saya
sengaja meminta kepada Bang Makruf Siregar untuk menuliskan sesuatu tentang Ayahandaku,
Muhammad Dollar Siagian, yang pada tanggal 12 Maret 2021 yang lalu tepat
sepuluh tahun meninggal dunia (12 Maret 2011). Tulisan tersebut adalah asli
dari beliau tak ada perubahan sama sekali. Saya sudah meminta izin kepada
beliau untuk menggunakan dan membagikan tulisan tersebut. Saya memang sedang berupaya
meminta kepada semua pihak, terutama mantan murid dari ayahanda, sekiranya
berkenan menulis sesuatu tentang beliau. Pada saatnya saya akan mengumpulkan
tulisan-tulisan tersebut menjadi bagian dari buku biografi tentang ayahanda.
Kepada
teman-teman yang lain, saya memohon dengan hormat kiranya berkenan membuat
tulisan sebagaimana dimaksud. Tulisan dapat dikirim dalam kesempatan pertama
bisa melalui facebook, email: hfitra.siagian@uin-alauddin.ac.id ataupun melalui
WA 085242359271.
Wassalam
Haidir
Fitra Siagian
(Putra
kelima dari Pak Dollar Siagian)
Wollongong,
NSW, Australia, 17 Maret 2021
Keterangan foto : Ayahanda berada di sebelah kiri saya pada saat ijab kabul pernikahan saya dengan dr. Nurhira Abdul Kadir, delapan belas tahun lalu di Masjid Ridha Allah Somba Majene Sulawesi Barat (waktu itu masih Sulawesi Selatan). Ayah begitu gembira, mengulum senyum di bibir sesuai ciri khasnya.
0 Comments