About Me

Ketika Ayahku Memukulku, Ketika Ayahku Melihatkan jadi Wisudawan Terbaik






Pengantar:
Catatan ini saya tulis beberapa saat setelah saya mendengar kabar meninggalnya Ayahku. Setelah saya simak kembali, terdapat kalimat yang tidak pas dan data yang keliru. Namun secara keseluruhan informasi dalam catatan ini adalah valid. Untuk saat ini, saya tidak akan perbaiki dulu, biarlah seperti ini dulu. Suatu saat akan diperbaiki sebagaimana mestinta. Insya Allah.***




Dicopy kembali dari email: 8-10-13
Ayahku dan Upacara Serah Terima Kunci Masjid
In Memoriam - DOLLAR SIAGIAN, Sipirok, 1937.
Sore itu, entah tanggal dan hari apa. Di Kampung Padang Jae, Desa Hutasuhut, Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, sekitar 360 Km arah selatan Kota Medan. Kalau tidak salah saya masih kelas dua SD, sekitar tahun 1982. Sebagaimana anak-anak lainnya, saya ikut main bersama teman sebaya. Syahrir Siregar atau biasa kami panggil dia Repo adalah teman kelas saya di SD Negeri 4 Sipirok. Rumahnya hanya sekitar 40 meter dari rumah kami bersebelahan jalan. Saya lupa apa persis penyebabnya, kami berkelahi. Setelah saya pukul dia, saya lari ke rumah, begitu cepat. Prakk….kaca jendela hancur berkeping-keping. Si Repo melempar jendela.
Ayahku saat itu sedang membaca, tidak jauh dari jendela. Mungkin ayahku kena beling kaca itu. Ayah marah sekali kepada saya. Marah dan marah sejadi-jadinya. Saya dipukuli berulang kali, bahkan pakai tongkat sapu. Mama dan tetangga menangis. Mereka hanya dapat menyaksikan. Sudah berusaha melerai, tapi tidak sanggup. Jelang magrib, baru ayah berhenti pukuli saya, karena dia akan ke masjid. Saya juga cepat pergi shalat. Lupa, apakah saya ke masjid atau shalat di rumah. Ayah tinggal di masjid antara Magrib dan Isya --- biasanya juga pada hari-hari sebelumnya, saya selalu ikut ayah shalat di masjid. Lalu saya masuk ke kamar tidur di lantai II. Dari kamar saya dengar suara mencari-cari saya. Tapi saya tetap bertahan di kamar, sampai abang Jufri yang datang ke kamar untuk tidur. Dia bilang ada Fitra di kamar. Sepulang dari masjid, lalu ayah naik ke kamar menarik saya, memukul lagi. Saya dibawa ke rumah Repo. Disuruh berkelahi. Tapi tidak mau saya, saya hanya menangis sejadi-jadinya. Dan seterusnya……. Inilah pengalaman saya dengan ayah yang masih teringat di benak saya. Dia tidak suka anak-anaknya berkelahi. Kalau berkelahi, itulah akibatnya.
Namanya juga anak-anak. Setelah saya berkelahi dengan si Repo, beberapa hari kemudian kami baikan lagi. Main bola, main petak umpet, marpolli, marasap, marlayang, dan lain-lain adalah permainan kami. Saya dengan si Repo, ketika sudah masuk SMP, juga pernah marsiurup. Artinya bergantian memanen padi di sawah masing-masing. Sampai akhirnya, setelah dia menikah dengan Boru Sialagundi, saya dapat informasi bahwa dia telah meninggal dunia dalam usia yang masih relatif muda, semoga Allah SWT memberi tempat yang layak di sisi-Nya.
Mulai kelas empat SD, saya selalu ikut ayah ke saba/sawah. Walaupun ayah saya adalah seorang guru SMP Negeri 1 Sipirok dengan status pegawai negeri sipil (PNS), kami tetap mengelola sawah, berkebun, bahkan mencari kayu bakar di hutan. Lebih dari itu, kami juga menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Ada beberapa lokasi sawah atau saba milik orang lain yang kami garap. Di saba lancat ada tiga tempat, di Tanjung Medan dan di saba donok, punyanya Tulang Borkat, dekat rumah kami. Itu yang saya ingat, dan beberapa kali berpindah tempat. Dalam beberapa tahun, saya dengan ayah mengambil lahan di saba Lampesong. Paling sering kami berdua menggarap sawah itu. Manggar-gari….istilah untuk memindahkan batu-batuan dari tengah sawah ke pinggir sungai. Capek sekali ayah manggar-gari batu itu. Tapi itulah hidup.
Pulang dari sawah, biasanya saya disuruh mandek-dek, menginjak-injak tubuhnya, untuk mengobati tubuhnya yang pegal-pegal akibat manggar-gari tadi. Didekdek adalah obat paling disukai ayahku. Sakit apapun dia, obatnya adalah didekdek. Di antara kami bersaudara, sayalah yang paling sering dan paling lama mandek-dek. Mulai usia kelas satu SD hingga kelas tiga SMP, jadi sembilan tahun saya mandek-dek ayah.
Di saba lampesong, selain padi, secara bergantian dalam kurun waktu tertentu, kami juga menanam cabe atau lasiak. Awalnya hanya kami berdua yang tanam cabe, tapi lama-lama ikutlah abang-abangku dan usaha menanam cabe itu menjalar pula ke seluruh masyarakat Hutasuhut dan sekitarnya. Harga cabe selalu naik-turun. Di saba lampesong, saya dengan ayah juga memelihara ikan di sawah. Suatu ketika kolam ikan itu dibobol orang dan ikannya yang sudah mulai besar dicuri, tak ada sisanya, kecuali anak-anak ikan yang masih kecil-kecil berceceran di sela-sela rumput dalam areal persawahan. Masih di saba lampesong, saya dengan ayah memperbaiki bendungan atau tahalak. Jelang magrib kami pulang. Beberapa peralatan bersawah seperti cangkul dan lain-lain disimpan/disembunyikan di sawah atau di sela-sela rerumputan, supaya tidak usah di bawa pulang karena besok masih akan datang lagi ke situ. Rupanya ada orang yang mengintip dimana ayah menyimpan cangkul, lalu dia curi pula itu cangkul. Pernah ayah  mendatangi rumah orang yang “diasumsikan” selalu mencuri. Dicoba di cek kesana. Ternyata tidak ada barang-barang kami di situ. Ntahlah….apa dia sudah jual atau mungkin bukan dia yang ngambil, atau bagaimana.
Selain di saba lampesong kami juga punya kebun di depan penjara, dekat dengan Desa Sibadoar. Kebun itu agak curam. Biasanya kami ke kebun bersama abang-abang dan ibu. Kami menanam berbagai macam tanaman, ada cengkih, sayuran, jeruk, dan nenas. Di lembah kebun, ada mata air yang sangat jernih. Saya sering mengambil air di situ. Masak air panas dengan ranting-ranting kayu, bikinkan ayah kopi kesukaannya. Di kebun itu juga ada seonggak pohon bambu. Ayah suka mengambil tubis dan rasanya enak. Ayah juga sering mengambil daun pakis dipinggir kali. Daun pakis sangat enak kalau ibu yang bikin urap.
Ketika kami sedang mencangkul di kebun, ayah mengadakan lomba. Siapa yang duluan selesai ke depan mencangkulnya, akan mendapat sebungkus kacang Arab. Kacang Arab waktu itu adalah kacang paling enak dan mahal di Sipirok, warnanya merah dan rasanya gurih. Saya dan abang-abang saya berlomba mencangkul. Saking maunya dapat kacang, kadang-kadang cangkulannya tidak becus, berantakan. Ayah juga suka membelikan limon. Limon adalah sejenis minuman yang disimpan dalam botol, warnanya merah atau orange. Kira-kira seperti coca-cola botol saat ini. Kalau kami sedang berada di sawah memanen padi, ayah biasanya datang belakangan. Eh….ternyata ayah singgah di pasar memberi limon. Sayang sekali, kebun kami ini telah dipaksa dibeli oleh orang yang mengaku keturunan raja. Sang raja ini memaksa orang-orang memberikan kembali tanah-tanah yang menurutnya adalah milik leluhur mereka. Termasuk kebun kami itu, dipaksa dijual seharga seratus ribu rupiah pertengahan tahun 1990-an, harga yang sangat tidak pantas. Beberapa tahun kemudian, saya mendapat informasi bahwa si “sang raja” ini diburu oleh warganya sendiri, rumahnya dilempari, dan dia terpaksa mengungsi  dari Sipirok.
Di saba julu kami punya sawah yang baru di beli. Saya dengan ayah menggarap sawah itu, sementara abang-abangku dan ibuku menggarap sawah lain. Di saba julu itu masih banyak bekas kayu-kayuan, sebab dulu-dulu itu adalah hutan. Kayu yang ditebang tidak sempurna, masih meninggalkan akar yang mengganggu untuk areal persawahan. Selama satu tahun mungkin, saya dengan ayah kerjanya hanya menggali akar kayu, memotongnya dan mencabutnya dari tanah. Akar harus dicabut, sebab akan mengenai cangkul jika lagi mencangkul, dan mengurangi areal tanaman padi.
Suatu ketika di bulan Ramadhan. Saya dengan teman-teman bermain-main. Dalam perjalanan saya bersama teman-teman bertemu dengan ayah. Mungkin ayah pulang dari pasar atau dari masjid, lalu saya mendekati minta uang padanya. Ayah tidak mau kasih uang, karena saya tidak puasa. Beberapa hari kemudian, saya puasa. Dengan teman-teman saya bertemu lagi dengan ayah. Lalu saya minta uang lagi. Kata ayah, untuk apa uang, kamu kan puasa. Inilah ayahku, dia mendidik kami. Dia tidak akan memberi uang untuk hal-hal yang memang tidak penting.
Kelas satu SMP, sekitar tahun 1987, kembali saya tersangkut dengan satu masalah di sekolah. Teman-teman satu kelasku mengejek-ejek (pacia-ciahon) guru bahasa Inggris kami dengan istilah “si gigit”….. Sang Guru mengejar teman-teman yang mengejek tadi dan sialnya kenapa saya harus ikut lari, padahal saya tidak ikut mengejek. Saya sudah khawatir sekali atas peristiwa itu. Sebab sang guru adalah teman sejawat ayah di sekolah. Luar biasa saya khawatir kalau sampai sang guru melapor ke ayah bahwa saya ikut mengejeknya. Bisa jadi peristiwa pemukulan saya seperti ketika berkelahi dengan si Repo terjadi lagi.
Setiba di rumah pulang dari sekolah, saya lihat ayah tidak ada. Tenyata sudah duluan ke saba lampesong. Setelah shalat dhuhur, saya menyusul ke saba lampesong. Berharap tidak terjadi apa-apa. Saya berdoa, mudah-mudahan informasi pengejekan tadi tidak sampai kepada ayah. Fatal akibatnya kalau dia tahu. Saya berjanji dalam hati untuk tidak lagi ikut-ikutan yang demikian itu dan akan melaksanakan shalat lima waktu setiap hari. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Ayah justru heran kenapa saya tiba-tiba datang ke sawah, padahal pada hari-hari sebelumnya saya selalu main bola dengan teman-teman di lapangan Salaha Muda Pakpahan Tanjung Medan. Ternyata tadi setelah jam mengajarnya selesai, ayah cepat pulang dari sekolah, lalu ke sawah, sehingga tidak tahu peristiwa apa-apa. Dan untungnya lagi, besoknya, peristiwa itu tidak ada yang memberitahukannya ke ayah. Jika ayah tahu, bisa jadi saya jadi sasaran kemarahan lagi. Sejak peristiwa itu, saya sudah mulai melaksanakan shalat lima waktu dengan tertib. Dulunya juga saya shalat, tapi kurang tertib, banyak bolong-bolongnya. Hingga sekarang, Alhamdulillah, saya sudah lupa kapan saya tidak shalat.
Ayah adalah rujukan saya untuk shalat dan membaca. Ketika masih kelas satu, dua, tiga, saya selalu ikut ayah pergi ke Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok. Ada pengajian di situ untuk orang tua, tidak ada anak-anak. Hanya saya yang anak-anak mengaji, tapi saya sudah lupa apa isi pengajian mereka saat itu. Yang jelas kerjaku saat itu adalah menyiapkan bekas kaleng susu atau ikan kaleng, sebagai tempat rokok para orang tua yang ikut pengajian. Setelah pengajian, mengumpulkan kembali kaleng-kaleng itu, membuang puntung rokoknya dan kadang-kadang adzan. Dalam membaca ayah sangat tekun. Suatu ketika saya melihat ayah membaca buku-buku Prof. Hamka yang halamannya sangat tebal. Saya bilang ke ayah, belikan saya  buku kecil yang bisa saya baca. Ayahpun membeli buku-buku agama  yang halamannya sedikit dan tulisannya besar, berkisar tentang sejarah perjuangan Islam, ada juga buku tentang Muhammadiyah.
Kelas dua SMP, saya duduk di kelas II.2, bersama Nasruddin Koto (Nasko) dan lain-lain. Ayah mengajar kami untuk bidang studi Fisika. Di samping memegang guru bidang studi, ayah juga adalah penanggung jawab laboratorium fisika. Nasko punya trik sendiri untuk menghitung kapan mata pelajaran fisika ini berakhir. Mata pelajaran fisika biasanya memang selalu kurang penggemarnya, tapi wajib diikuti. Dia hanya melihat rokok yang dihisap ayahku. Jika rokok gudang garam merahnya sudah habis lalu puntungnya yang tinggal kurang dari setengah sentimeter itu dibuang, maka lonceng akan segera berbunyi. Saat itu kami tidak punya jam tangan.
Suatu ketika, dalam pelajaran fisika ini, ayak memukulku dengan penghapus yang gagangnya terbuat dari kayu. Ya Allah. Untungnya hanya satu kali, saya sudah khawatir kalau-kalau ayah mengamuk lagi. Itu hanya gara-gara saya tidak bisa menjawab kuis yang diberikan ke saya. Sebab sewaktu ditanya, saya tidak konsentrasi karena ada teman yang membisikkan sesuatu ke saya. Karena saya berbisik dan tidak tahu menjawab pertanyaan itulah makanya saya dipukul. Padahal waktu itu sebenarnya pertanyaannya tidak begitu susah, hanya karena saya tidak konsentrasi saja. Sebab sewaktu di SMP, saya tidak bodoh-bodoh amat. Selalu berada di rangkin 1 sampai 5, berganti-ganti. Bahkan tamat SMP, saya peraih nilai NEM tertinggi; 4,89 tingkat Kecamatan Sipirok.
Seusai pengumuman kelulusan SMP tahun 1990, karena saya peraih NEM tertinggi, ada teman yang menyentil saya, bahwa ini adalah akibat campur tangan ayahku. Wallahu’alam.  Saya malu waktu itu. Malu dan sangat malu. Ntahlah, dia mengatakan itu main-main atau serius, tapi yang jelas saya sangat malu. Inilah salah satu faktor penyebab kenapa saya tidak mau melanjutkan sekolah di Sipirok. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu meraih nilai tinggi walaupun tanpa campur tangan ayahku. Alhamdulillah, ini terbukti juga. Sebab ketika SD juga saya sering juara, bahkan menjadi juru bicara cerdas cermat antar SD bersama si Lee Ly di samping sebelah kanan saya dan si Lija di samping sebelah kiri saya. Kedua temanku ini, sekarang ntah dimana. Di SMA Negeri 3 Ujungpandang, selama tiga tahun saya berada di kisaran rangking 15 hingga 30 dari 49 teman per kelas. Walaupun tidak masuk dalam jajaran rangking 1-10, tapi saya pikir itulah kemampuan saya, anak kampung dari pedalaman yang baru masuk kota besar. Sampai akhirnya  dalam wisuda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin periode September 1999, saya menjadi wisudawan terbaik untuk program studi Jurnalistik. Alhamdulillah, ibu yang disaksikan oleh ayahku, menerima piagam lulusan terbaik dari Dekan waktu itu, Dr. H. Tahir Kasnawi.
Kembali ke Sipirok, tahun 1988. Di saba lancat, jelang sore hari kami bertanam cabe. Tanaman cabe harus disiram tiap hari. Saya, ayah, dan ibu pergi ke saba lancat itu. Saat itu situasi di sipirok cukup tegang. Karena ada putaran semifinal sepakbola antar kampung antara kesebelasan Desa Bagas Na Godang dan Desa Hutasuhut. Kedua desa ini, kalau main bola biasanya berakhir dengan perkelahian antar pemain dan antar supporter. Saya sudah sampaikan kepada ibu bahwa saya mau pergi nonton. Tapi ayah bilang, sebentar lagi, karena tanaman cabe harus disiram dulu. ….. Karena sudah cukup lama, belum diizinkan juga, akhirnya saya sembunyi-sembunyi lari, pergi menonton. Malam harinya, ayah bilang ke saya kenapa harus sembunyi-sembunyi, sekiranya mau menuruti ayah, akan diberikan uang untuk ongkos naik becak dan tiket masuk, sehingga tidak perlu jalan kaki tiga kilo meter.
Masih dalam tahun yang sama, saya dengan ayah pergi ke saba lancat. Dalam perjalanan kakiku terperosok masuk dalam lobang bongkahan kayu. Kakiku terasa sakit. Saya menjerit minta tolong sama ayah. Ayah yang sudah berada di depan, cepat balik menolong saya. Kakiku dan sekitar paha, bengkak dan hitam lebam. Ayah menggendongku pulang ke rumah dan memberi obat. Lalu bersama ibu, saya dibawa ke tukang urut. Menurut ayah, lukaku cukup parah dan perlu mendapat perhatian. Tapi menurut ibu, tidak begitu parah. Tapi karena menghormati ayah, ibu tetap membawa saya pergi berobat ke tukang urut.
IBUKU SANGAT MENGHORMATI AYAHKU. Ibuku juga bisa menjadi contoh teladan sebagai seorang isteri. Tidak ada hal yang ibu lakukan tanpa izin dari ayah. Ibu pernah jadi pengusaha, menjual bebagai dagangan, atas izin dari ayah. Apa yang dikatakan ayahku, selalu dituruti ibu. Suatu ketika ayah sedang sakit. Karena sudah agak lama sakit, datanglah seseorang yang membawa hadiah berupa uang kepada ayah. Sebenarnya itu adalah hal yang lumrah, karena ayah sakit, dan yang membawa uang itu adalah bosnya. Hanya saja dalam pembicaraan mereka itu, sang bos meminta ayah untuk mendantangani kertas, ntah apa isinya. Lalu ayah menguruh ibu mengembalikan uang itu. Ibuku juga pernah mau minggat dari rumah. Sudah minggat malahan. Ibu sudah pulang ke Desa Panggulangan, rumah kakekku. Karena perjalanan yang cukup jauh, jalan kaki, belum sampai ibu di rumah kakek, ayah sudah tiba duluan. Mengajak ibu pulang ke rumah. Untungnya saat itu kakek dan nenek sudah pergi ke kebun, jadi tidak sempat mengetahui peristiwa ini.  Ibuku juga menghargai ayahku. Ayah melarang ibu menerima pembagian harta warisan dari harta peninggalan kakekku, yang tidak dibagi berdasarkan syariat Islam. Karena pembagian dilakukan dengan cara adat, ayah tidak mau, sehingga kami tidak mendapat bagian dari pembagian warisan kakek kami. Subhanal-Lah.
Suatu hari menjelang magrib, saya dengan ayah masih berada di saba lampesong, membersihkan kebun. Kami sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Tiba-tiba ibu datang menangis tersedu-sedu. Ibu mengadu kepada ayah. Seorang ibu, menuduh ibu yang menjadi penyebab seorang bapak muntah-muntah. Menurut ibu tadi, ibulah yang menaburi racun di makanan bapak tadi sehingga muntah. Kala itu ada acara hajatan di kampung, sebagai warga, ibu ikut membantu menyiapkan makanan di dapur bersama ibu-ibu lainnya. Menanggapi laporan ibu tadi, ayah hanya mengatakan kita harus sabar. Allah SWT pasti tahu siapa yang benar, kata ayah waktu itu.
SORE YANG MENENTUKAN. Sekitar bulan April 1990. Di saba lampesong juga, saya, ayah dan ibu. Membersihkan kebun cabe, yang akan segera ditanami padi. Di sela-selanya, saya membakar jagung dan membuatkan ayah secangkir kopi. Kepada ayah dan ibu, saya menyampaikan niatku untuk melanjutkan sekolah ke Yogyakarta, menyusul temanku si Zulfan Hutasuhut yang sekolah di SMA Muhammadiyah Yogyakarta. Sesungguhnya mereka setuju saya sekolah ke Yogya. Namun ibu bilang, coba hubungi abangmu si Syamsul di Ujungpandang, apakah bisa saya ikut sekolah bersama dia di sana.
Gayung bersambut, abang Syamsul datang dari Ujungpandang, mengajak saya juga untuk sekolah di sana. Dari pelabuhan Sibolga, Tapanuli Tengah, pertengahan Juli 1990, dengan diantar ibu, ayah, dan koum si solkot, saya berangkat seorang diri ke Ujungpandang naik kapal motor milik PT Pelni, KM. Kerinci. Ongkosnya saat itu adalah Rp 77.000,00. Waktu tempuh Sibolga – Ujungpandang selama lima hari enam malam, dengan rute: Sibolga – Padang – Jakarta – Surabaya – Ujungpandang dan seterusnya ke arah utar lagi.
Pertamanya saya masuk SMA Muhammadiyah Wilayah Sulsel di Jalan Dr. Ratulangi. Namun satu tahun kemudian, saya pindah ke SMA Negeri 3 Ujungpandang. Tamat SMA tahun 1994 langsung mendaftar di Universitas Hasanuddin, kemudian lulus dengan gelar S.Sos. pada tahun 1999.
Suatu ketika, sekitar tahun 1995 atau 1996, dari Sipirok ibu menelepon saya ke Ujungpandang. Katanya ayah akan minta pensiun dini atau pensiun lebih cepat dari yang seharusnya. Ibu kaget dengan rencana ini. Ibu meminta kepada saya, agar menyampaikan kepada ayah, agar memikirkan baik-baik niat ayah itu. Sebab kalau pensiun dini, artinya akan ada pemotongan tunjangan. Saya berusaha menulis surat kepada ayah sesuai pesan dari ibu. Alhamdulillah, ayah mengurungkan niatnya untuk pensiun diri. Kemudian ayah pensiun kalau tidak salah tahun 1998. Ayah dapat tunjangan pensiun yang lumayan dari pemerintah sebagai PNS. Ibu menelepon saya. Apakah ada peluang saya untuk menjadi PNS, katanya mumpung ada pensiun ayah. Namun saya katakan kepada ibu, sebaiknya uang pensiun ayah itu dipakai saja untuk hal-hal lain. Persoalan bahwa saya akan jadi PNS, itu Allah SWT yang mengatur.
Dengan uang pensiun itu, ibu dan ayah membeli lahan di Duri Riau atas peran dan budi baik tanteku. Lahan itu dijadikan kebun kepala sawit, beberapa hektar. Saya lupa persisnya. Lalu mereka juga membeli lahan perumahan dari tanteku di pinggir jalan, lalu mendirikan rumah di situ. Di kebun sawit ayah mengerjakan itu bersama ibu dan abang Jufri. Mulai dari menggarap, menanam sawit, mengangkat bibitnya, dan lain sebagainya. Tentu ayah sangat capek. Sayang sekali, saya tidak berada di sampingnya, jadi saya tidak mandek-deknya lagi. Dapat saya membayangkan, betapa capeknya ayah. Dalam usia yang sudah tua seperti itu, masih harus bekerja, banting tulang peras keringat. Tapi itulah hidup ayahku, tiada kata berhenti berbuat selama masih mampu.
Tahun 1999, ayah berkesempatan untuk pertama kalinya dari ke Makassar. Menjelang saya wisuda S.1., adalah saat-saat yang menegangkan. Saat itu, skripsi saya belum diuji, karena belum ada persetujuan dari pembimbing dua, yakni Pak Hasrullah (yang kemudian pernah menjadi staf ahli Dewan Pertimbangan Presiden). Sedangkan pembimbing satu sudah oke, yakni pak Mansyur Semma (almarhum, semoga Allah memberkatinya). Sementara ayah dan ibu, baru tiba dari Singapura. Dalam pembicaraan telepon, ibu menanyakan apakah saya ikut wisuda atau tidak. Saya bilang belum pasti karena skripsi belum di-acc. Entah bagaimana ceritanya, ibu dan ayah sudah pesan tiket kapal laut ke Makassar lewat Sibolga. Perjalanan Sibolga-Makassar memakan waktu lima hari enam malam. Saya kalang kabut, bagaimana mungkin mereka datang akan menghadiri wisudaku, sementara saya belum ujian. Alhamdulillah, atas budi baik Pak Mansyur Semma setelah mendapat bisikan dari Saudaraku Syarifuddin Jurdi, akhirnya skripsi saya disetujui juga setelah mengadakan perbaikan-perbaikan.
Tanggal 9 Sepetember 1999, saya di wisuda oleh Rektor Unhas, Prof. Rady A. Gani disaksikan langsung oleh ayah dan ibu. Saat itu juga hadir H.M. Yusuf Kalla sebagai Ketua Ikatan Alumni UNHAS, yang kelak menjadi Wakil Presiden RI dan menjadi tokoh penting di negeri ini. Ayah juga menyaksikan saya menerima piagam penghargaan sebagai wisudawan terbaik. Dia begitu gembira menyaksikan saya dipanggil ke atas podium menerima piagam. Dalam hatiku, terjawab sudah sinyalemen teman-temanku bahwa ayahku menambah nilai NEM waktu SMP. Sebab ketika ayahku tidak ada di Unhas, bahkan siapa-siapaku tidak ada di Unhas, toh saya bisa jadi yang terbaik diantara mahasiswa lain.
Kurang lebih satu bulan, ibu dan bapak berada di Makassar dalam rangka wisuda ini. Selain di rumah abang Pai di Jl. Gunung Lompobattang, ayah dan ibu tinggal juga dengan saya di bawah tangga di kantor PWM Sulsel Jl. Perintis Kemerdekaan. Mereka sedih melihat saya tinggal di bawah tangga. Tapi itulah hidupku selama di Makassar. Bahkan saya tetap tinggal di bawah tanggal ketika saya sudah berkeluarga, punya anak, dan hampir seluruh keluarga inti daripada isteriku pernah tinggal di bawah tangga itu. Anakku yang pertama, Luqman, pun diaqiqah di sana, teman-temanku menjenguk Luqman di bawah tangga. Ketika wisuda S.1., ibu mengadakan acara syukuran di kantor PWM. Ayah sangat senang. Beberapa teman-temanku yang membantu penyelenggaraan syukuran, oleh ayah dibelikan minuman coca-cola dan makanan ringan.
Menjelang pernikahan saya yang saat cukup unik sekaligus peliklah sedikit, ayah menjadi sumber inspirasi bagi saya dalam rangka akan menjalani kehidupan berkeluarga. Saya sengaja datang dari Makassar ke Sipirok adalah untuk meminta restu ibu dan ayah. Mereka pada hakekatnya mengizinkan saya menikah dengan wanita pilihan saya. Padahal waktu itu keadaan cukup “menegangkan”, karena nenek saya, memiliki hasrat tertentu. Alhamdulillah, berkat pendekatan yang baik, nenek pun akhirnya merestui saya menikah dengan wanita pilihan saya itu.
Kedua kalinya ayah datang ke Makassar adalah ketika saya akan melangsungkan pernikahan, Agustus 2003. Bersama ibu, ayah datang. Selain ibu, ikut pula datang Wak Sonnip dari Padang Sidempuan, Kak Masyita dari Jakarta. Dan yang tidak kalah spektakulernya adalah Bou Hj. Annie Faridah, langsung dari Singapura.  Pada hari pernikahan saya, ayah menjadi saksi bersama K.H. Djamaluddin Amien dan K.H. Nasruddin Razak. Mata ayah berbinar-binar saat itu, seperti biasa, ayah mengulum senyum di bibirnya sebagai tanda rasa gembira. Sepulang dari Somba, Majene, kami pergi ke Tana Toraja mengantar bou. Tentu ikut pula waktu itu seseorang yang sudah menjadi isteriku. Ini adalah yang kedua kalinya ayah ke Toraja, tahun 1999, sewaktu wisuda S.1, ayah dan ibu juga sempat saya bawa ke Toraja.
Ketiga kalinya ayah datang ke Makassar, adalah ketika saya wisuda magister, Juli 2005. Saya menjemputnya di Bandara Hasanuddin waktu itu. Seperti biasa, ayah tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tapi saya tahu ayah adalah sangat gembira karena saya bisa wisuda S.2. Kemungkinan diantara kami sekeluarga, bahkan diantara sepupu-sepupuku, saya yang pertama menyandang gelar magister. Selama di Makassar, ayah sempat datang ke Somba Majene mengunjungi besannya. Sepulang dari Majene, sempat singgah di rumah kami di Puskesmas Pelitakan Polmas. Sepulang dari Polmas ke Makassar, sehari kemudian mereka datang lagi dari Makassar ke Polmas. Karena saat itu mamaknya anakku lagi sakit, bahkan sempat masuk dan diopname di  rumah sakit. Ayah kembali ke Polmas karena merasa tidak nyaman pulang ke Sipirok dalam keadaan menantunya sakit.
Persis satu tahun lalu, awal Maret 2010, ayah dan ibu kembali datang ke Makassar. Kali ini dengan dua alasan. Pertama untuk melihat cucunya yang ketiga, Mara Athirah Siagian, lahir 8 Desember 2008 di Makassar. Alasan kedua adalah, untuk melihat rumah kami yang baru dibangun. Walaupun masih sangat sederhana, masih goyang kalau kita berjalan. Maklum rumah panggung. Belum ada jendelanya, kecuali potongan kayu-kayu yang ditempel. Walaupun demikian, ayah sangat senang karena kami telah memiliki rumah sendiri. “Abope sopo-sopo martarup ri bagasmunu, uppade do pe i, sian mangongkosi hamu…..” katanya waktu itu. Kurang lebih artinya begini; walaupun  rumah kalian terbuat dari anai-anai, jauh lebih baik daripada selalu mengontrak. Hampir dua bulan ibu dan ayah di Makassar. Atas budi baik Bapaknya Sari sang Raja Knalpot, kami sempat bawa ayah jalan-jalan ke berbagai tempat di Makassar, bahkan sampai ke Bili-bili. Saya juga sempat bonceng ayah ke kampus UIN, berkenalan dengan rekan-rekan dosen di Kampus I Alauddin waktu itu setelah shalat jum’at di masjid kampus. Ayah juga sempat menyaksikan pemberian laptop ini kepada saya. Laptop inilah yang saya pakai membuat tulisan ini. Pulang dari kampus, saya bonceng ayah makan sop kepala ikan di Jl. Mappanyukki. Inilah terakhir kalinya saya traktir ayah. Dulu juga pernah ayah saya traktir makan konro di Jl. Bawakaraeng. Saya juga sempat membawa ayah ke Somba, melayat keluarga yang meninggal dunia di Majene sekaligus menjiarahi makam besannya yang baru meninggal awal Januari 2010 lalu.
Selama bulan Maret hingga April 2010, ayah dan ibu tinggal bersama kami di Kompleks Bakung Balda Sakinah Blok C/1 Samata Gowa. Karena halaman cukup luas, bisa bercocok tanam. Atas kemauan sendiri, ayah mencangkul di halaman. Mencari akar-akar rumput supaya tidak tumbuh lagi. Menguras sisa-sisa potongan kayu, dikumpul, lalu dimasukkan ke karung. Katanya suatu saat potongan kayu itu, walaupun kecil-kecil, bisa dipakai bakar-bakar ikan atau memasak air. Hampir tiap hari kerjanya demikian itu. Dari Majene, sempat ayah memetik tanaman bunga, dan menanamnya di halaman rumah kami, warna kuning bunganya, sekarang sudah tumbuh subur di halaman rumah di Bakung. Selain bunga, bersama ibu, ayah juga sempat menanam ubi, kacang panjang, mangga, lombok, cempedak, kelapa dan belimbing. Alhamdulillah, saat ini tanaman tersebut masih ada dan tumbuh dengan baik. Semoga tanaman tersebut menjadi amal jariyah baginya karena kalau berbuah akan banyak manusia yang boleh menikmatinya. Khusus untuk tanaman ubi, kacang panjang, dan lombok, sudah kami nikmati. Hampir satu tahun kami tidak membeli lombok karena sudah bisa memetik buah lombok yang ditanam ayah. Demikian juga kacang panjang dan ubi. Sebagian kami berikan kepada tetangga.
Saya sangat gembira karena selama bersama kami, saya menyaksikan sendiri ibadahnya. Kami ke masjid setiap subuh, bersama dengan ibu. Jarak masjid sekitar 250 meter dari rumah. Kalau magrib, shalat berjamaah di rumah. Subuh sepulang dari masjid, kami duduk di teras beranda rumah. Rumah panggung ada berandanya. Enak memandang ke halaman, depan dan belakang menyaksikan tanaman-tanaman yang mulai tumbuh. Saya biasa membikinkan ayah kopimex, datanglah cucunya yang paling kecil si Athirah minta kopimex jatah kakeknya ini. Saya merasakan betapa indahnya hidup bersama ibu dan ayah, walaupun hanya sekitar dua bulan.
TENTANG IBADAHNYA. Setelah saya terangkat sebagai dosen di UIN, sudah saya niatkan akan pulang ke Duri untuk menjenguk keluarga. Namun karena keterbatasan gaji yang tidak seberapa, dikumpul-dikumpul tidak cukup juga. Namun bulan April 2007 saya tekadkan harus pulang, karena ibuku mengalami kecelakaan. Dia ditabrak motor di pasar. Saya bilang ke mamaknya anak-anak, kita harus ke Duri. Mamaknya setuju dengan catatan, satu berangkat, berangkat semua. Artinya anak-anak semua harus ikut. Yang anehnya, kami baru menyampaikan rencana kedatangan kami, keadaan ibu sudah mulai pulih. Sehari sebelum kami tiba, ibu masih belum bisa berdiri. Pada hari kedatangan kami, tak diduga ibu berdiri langsung menyongsong kedatangan kami ke bus yang membawa kami dari Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru.
                Pagi hari setelah shalat subuh. Saya berdua dengan ibu di kamarnya. Secara spontan, tidak ada api, tidak ada angin,  saya menangis dipelukan ibu. Menangis sejadi-jadinya. Ayah datang ke kamar melihat keadaan saya yang sedang menangis. Beberapa saat mereka tercengang, kok saya menangis. Setelah saya bisa mengendalikan diri. Barulah saya ceritakan maksudku. Saya minta kepada ibu dan ayah agar kembali ke Sipirok. Tinggalkan Duri, tinggalkan usaha, tinggalkan kebun sawit, dan lain-lain. Saya meminta kepada ibu dan ayah agar memfokuskan diri beribadah kepada Allah Swt. Dalam usia ayah saat itu, jelang 68 tahun, sudah saatnya istirahat dengan tenang sambil beribadah. Saya tidak ingin lagi melihat ayah melayani pembeli di warung, mengisi jerigen kosong dengan bensin, membuka kedai pagi hari dan menutupnya pada malam hari. Saya minta semua itu dihentikan. Mungkin karena saya menyampaikan maksud saya dengan menangis, ibu dan ayah tergugah juga hatinya.
                Setelah musyawarah dengan abang, kakak, dan adik, akhirnya ibu dan ayah kembali ke Sipirok. Kalau tidak salah jelang Ramadhan tahun 2007, mereka kembali ke Sipirok. Ayah bisa mengaji dengan tenang. Pergi ke masjid, adzan, dan jadi imam di masjid. Bahkan ayah adalah salah seorang pemegang kunci Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok hingga akhir hayatnya. Saya sangat senang ayah bisa beribadah dengan baik. Bahkan dalam pengajian antar Ranting Muhammadiyah di desa-desa, biasa juga ayah ikut rombongan Pimpinan Cabang. Demikian juga ibu, bisa kembali beraktivitas dengan teman-temannya sesama pengurus Aisyiyah. Keadaan seperti inilah yang sangat membahagiakan saya.
                Tahun 2007, ibu dan kakak saya sudah mendaftar haji. Kemudian abang Pai tergerak juga hatinya, mengapa ayah tidak didaftar juga. Menurut abang Pai, wajarlah ayah berangkat ke tanah suci mengingat beban pekerjaannya dulu sewaktu menanam kebun sawit. Mulanya ayah enggan mendaftar, karena masih ada anaknya yang kuliah. Namun setelah saya memberi pengertian, dan dibantu juga oleh mamaknya anak-anak yang turut memberi pengertian kepada amang borunya ini, akhirnya ayah bersedia didaftar. Saya pun turut merasa bertanggung jawab atas niat baik ini. Maka atas persetujuan mamaknya anak-anak, saya mengambil pinjaman di Bank Mualamat Makassar dengan jaminan SK PNS sebagai dosen di UIN Alauddin. Uang inilah yang dipakai untuk mendaftarkan ayah sehingga mendapatkan kursi naik haji yang direncanakan tahun 2011 ini.
ALLAH SWT MAHA BERKUASA. Niat kami menghajikan ayah adalah tentu sudah diketahui oleh ALLAH Swt, dan sudah mendapat nilai pahala di sisi-Nya. Namun Dia memiliki kehendak lain, ayah tidak sempat naik haji yang tinggal beberapa bulan lagi ini. Dia justru menginginkan ayahku secara keseluruhan. Innalilllahi wainna ilaihi rajiun, 12 Maret 2011.
                Ketika saya mengutarakan niat saya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang S.3. di Malaysia, menurut ibuku, ayah merasa sangat senang. Sudah sekitar enam bulan lalu rencana ini saya sampaikan kepada beliau. Akhirnya saya berangkat ke Malaysia ini, 5 Januari 2011 lalu. Setiba di sini, hampir tengah malam saya  menelepon ibu memberitahun ketibaaan saya di Kuala Lumpur. Ketika ada masa libur jelang Imlek, UKM cuti kuliah selama 11 hari, mulai tanggal 27 Januari hingga 07 Februari 2011. Teman-temanku pada pulang ke Makassar, tentu untuk menemui anak-isteri mereka. Saya justru terpikir untuk pulang ke Sipirok menemui ibu dan ayahnya. Saya pun berangkat ke Sipirok, tanpa memberitahu siapapun.
Jum’at, 28 Januari 2011, pagi-pagi benar saya tiba di rumah, Jl. Pondom Hutasuhut. Setelah memeluk ibu, saya masuk ke kamar ayah. Ayah masih tidur lagi, kebiasaannya memang setelah subuh, tidur lagi. Saya peluk ayah sementara tidur. “ise deon” katanya. “Saya Fitra, ayah….”sahutku. Dia sangat senang saya datang menemui mereka. Selama saya di Sipirok, untuk acara-acara penting, ayah selalu ikut dengan saya. Ikut ke Padang Bulan, ikut pula ke Sidimpuan, dan ikut pula ke Panggulangan. Padahal sudah lama ayah tidak mau ke Panggulangan. Tapi karena saya yang mengajak, maka ayah bersedia juga untuk ikut. Kemudian ayah juga ikut ke Duri, ketika hendak  mengantar saya akan kembali ke Malaysia.
Ketika saya mau mengundurkan waktu kepulangan, supaya memiliki waktu lebih lama dengan mereka, ayah justru meminta sebaliknya. Harus pulang sesuai jadwal, siapa tahu ada halangan di jalan katanya. Benar saja, ternyata rencana saya pulang ke Malaysia hari Sabtu, ternyata tidak ada kapal fery yang berangkat hari itu dari Dumai ke Port Klang, bahkan sampai sepuluh hari kemudian. Sehingga saya harus naik pesawat, tentu dengan biaya yang lebih tinggi. Masih di Duri, ada kata-kata ayah, yang mungkin itulah yang terakhir saya ingat. “Mama tobang au, nanggo lobas  be au dao mardalan-dalan….”, menjawab ajakan ibu untuk pergi ke Rantau Parapat menjenguk wak saya di sana. Artinya kira-kira; saya sudah cukup tua, tidak kuat lagi saya pergi perjalanan jauh. Mendengar jawaban itu, sebenarnya saya sudah punya firasat tertentu. Wallahu’alam.
Sabtu, 12 Maret 2011, dini hari. Alarm hpku bunyi, pukul 04.45 dini hari. Bersamaan dengan itu, datanglah telepon dari istriku di Makassar. Dia memberitahu bahwa amangborunya (mertua laki-lakinya) telah dipanggil Allah Swt. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ayahku telah meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Saya mencoba untuk tenang. Lalu sempat shalat lail. Mendoakan ayah. Datang juga telepon dari adik Afwan, memberitahukan hal yang sama. Setelah subuh saya menelepon ibu di Sipirok. Dalam pembicaraan dengan ibu, saya menyampaikan beberapa hal:
ü  Bahwa kepergian ayah ini adalah kehendak Allah Swt., jadi mama jangan terlalu sedih;
ü  Mohon dikebumikan secepat mungkin, tidak perlu menunggu siapapun;
ü  Saya tidak bisa datang, tapi mengupayakan adik Afwan yang di Makassar supaya bisa datang.
Saya tidak datang karena sudah saya perkirakan tidak mungkin dapat melihat wajah ayah lagi, karena perjalanan dari Kuala Lumpur ke Medan, sekitar empat jam termasuk perjalan ke bandara, boarding, beli tiket, imigrasi, dll. Demikian pula dari Medan ke Sipirok memakan waktu kurang lebih delapan jam, padahal saya sudah minta penguburan ayah dipercepat. Tapi saya sangat bersyukur, kenapa bulan lalu, saya terpikir untuk pulang ke Sipirok ketemu ayah dan ibu. Padahal kami dengan isteri sudah berencana akan ke Sipirok sebelum isteriku berangkan ke Australia. Kami rencana ke Sipirok sekitar bulan Juli 2011 ini. Namun Allah menghendaki lain. Memanggil ayah sebelum menantu dan cucuknya datang mengunjunginya.
Sabtu, 12 Maret 2011. Sepanjang hari, dari Kuala Lumpur, saya mencoba menghubungi saudara-saudaraku. Meminta mereka mengikhlaskan ayah, dan meminta supaya ayah secepatnya dimakamkan. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Ayah dikebumikan di pemakaman Islam Desa Pangurabaan, sekitar satu kilometer dari rumah kami. Sebelumnya ayah sempat dishalatkan di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok, masjid tempat dia masih memegang kunci pintunya.
                Malam hari di rumah diadakan ta’ziyah. Menurut mama, ada tujuh orang pembicara malam itu. Sebagaimana lazimnya, semua pembicara menyampaikan kalimat-kalimat yang menyejukkan hati untuk bersabar menghadapi cobaan ini. Dan malam itu juga diadakan serah terima kunci Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok. Selama ini, ayah adalah pemegang kunci masjid. Saya bangga, ayah bisa menjadi pemegang kunci masjid.
Sekembali dari Duri sejak pertengahan 2007,  ayah sudah mulai kembali mengurus masjid. Dia dipercaya memegang kunci masjid. Di Makassar, saya selama kurang lebih sepuluh tahun juga sebagai pemegang kunci masjid. Ayah biasa jadi imam, adzan, dan kadang-kadang merangkap jadi muazzin sekaligus sebagai imam. Suatu ketika ayah adzan di masjid, padahal waktu masih menunjukkan kurang dari pukul 11 siang, sementara waktu dhuhur adalah pukul 12 lewat. Datanglah jamaah dekat masjid menegur ayah, kenapa begitu cepat adzan. Ternyata dari rumah ayah kurang tepat melihat jam. Melihat jam di rumah, dia pikir sudah jelang dzhuhur, lalu ke masjid. Di masjid tidak lagi melihat jam, langsang mengambil corong dan adzan.
Saya gembira ayah menjadi pemegang kunci masjid. Jika di Yogyakarta, ada Mbah Marijan sebagai pemegang kunci Gunung Merapi, maka di Sipirok ada ayahku sebagai pemegang kunci masjid. Memegang kunci masjid dapat dimaknai sebagai orang yang gemar beribadah. Tentu, Allah Swt. yang punya kewenangan untuk menilainya. Apapun yang ada di benak ayahku, dia adalah pemegang kunci masjid, dan hanya Allah Swt yang mengetahui dan menilai keikhlasannya selama memegang kunci masjid ini.
Ayahku telah berpulang ke rahmatullah. Ibuku menceritakan kepadaku tentang detik-detik yang menegangkan ini. Beberapa hari sebelumnya, ayah telah membersihkan rumah. Mengepel dan mengelap kaca. Membuang sampah-sampah maupun barang-barang yang tidak penting dari rumah. Sampai rumah kami kelihatan rapi dan bersih, tetangga juga sempat heran melihat kaca jendela yang begitu bersih. Hari Jum’at ayah masih sempat shalat ke masjid, demikian juga shalat ashar. Jelang magrib, ayah mengeluh kurang sehat kepada ibu. Siangnya Kak Siti, sempat menyiapkan mereka makanan. Karena merasa kurang enak badan, maka ayah dan ibu melaksanakan shalat magrib dan isya berjamaah di rumah.  Ba’da shalat isya, ayah mengeluh pegal-pegal. Ayah meminta ibu untuk menelepon abang Syamsul untuk diurut, namun ibu tidak tahu bagaimana caranya menelepon, dia hanya mampu  menerima telepon. Maklumlah, ibuku baru beberapa hari membeli hp baru.
Tengah malam ayah terbangun. Dia sempat meminta ibu supaya memutar maju jam dinding supaya cepat subuh. Ibu, maklumlah…..dia tahu bahwa kalau begitu, ayah sedang mengerang. Tidak lama  setelah itu, ayah masuk ke kamar mandi. Ibu masih sempat mendengar suara siraman dan gemercik air dari kamar mandi. Ayah kembali ke samping ibu untuk tidur. Lalu ibu mendengar suara lain dari ayah. Ibu menanya, “namahua de ho oppui”. Ibu kaget lalu berteriak memanggil tetangga. Tetangga berdatangan dalam waktu sekejap, termasuk Kepala Lingkungan Herry Hutasuhut dan lain-lain. Kurang dari lima belas menit, ayah sempat dibacakan kalimat syahadat. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dari Allah kita datang dan kepada-Nya pula kita akan kembali.
Mendengar berita meninggalnya ayah, saya merasa tidak begitu sedih. Sedih, ya sedih. Tapi tidak sedih-sedih amat. Tidak ada air mata yang keluar. Saya terharu dengan proses kematian ayahku yang cukup tenang. Allah Yang Maha Berkuasa. Saya tidak sedih, karena ayahku adalah pemegang kunci masjid, kunci bagi orang-orang yang akan menghadap Tuhan-Nya. Sebagai pemegang kunci tersebut, tentu juga ayah sudah siap untuk masuk ke jalan-Nya. Insya Allah. Inilah yang ada dalam benak saya sehingga tidak sedih. Namun kenapa kemarin, jelang shalat lail, sehari setelah ayah dikebumikan, saya merasa sedih. Saya menangis seorang diri dalam kamar. Saya menyadari bahwa ayahku telah benar-benar meninggalkan kami. Insya Allah, atas izin-Nya, kami dapat kembali bersua dengan ayah.
Bagi orang, mungkin ayahku adalah orang yang biasa-biasa saja. Ayah adalah seorang lekaki pendiam. Tak penting tak bicara. Inilah ciri khas ayahku. Kami sangat menghormat ayahku. Dia pantas menjadi teladan; sebagai ayah, sebagai suami, sebagai kakek dari cucunya, dan sebagai guru dari murid-muridnya. Tidak ada memang yang sempurna, tentu ada perilaku salah yang ayah lakukan. Namun hanya Allah SWT yang mengetahuinya.
Semoga Allah memberikan tempat yang layak di sisi-Nya bagi ayahku. Mengampuni segala dosa-dosanya. Menjauhkannya daripada siksa kubur. Menerima segala amal ibadahnya. Saya berharap, kami – para anak-anaknya itu, menjadi anak yang shaleh, yang dapat mendoakan ayah. Hanya doa kamilah yang dapat menyelamatkannya, disamping ilmu yang pernah dia ajarkan kepada anak muridnya serta hartanya yang pernah dia sumbangkan untuk kepentingan agama.
Kampus, UKM, Bangi, Selangor Darul Ehsan, Kuala Lumpur, 14 Maret 2011, pk.11.04 am.
Haidir Fitra Siagian, anak keenam dari sepuluh bersaudara! Siti Hajar Siagian, Syamsul Bahri Siagian, Ardol Rifai Siagian, Jufridol Siagian, Fakruddin Siagian (alm), Purnama Berliani Siagian, Syafriani Siagian (almh), Ahmad Ahwan Siagian, Azharul Fajri Siagian.





Post a Comment

6 Comments

  1. Judul semestinya di atas adalah : "Ketika Ayahku Memukulku, Ketika Ayahku Melihatku jadi Wisudawan Terbaik"

    ReplyDelete
  2. disalah satu foto yang sedang berdiri dekat alm ada ompung ku :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tuti, yang mana Ompunya di situ? Oh ya, Ito tinggal di mana? di Sipirok juga? Yang mana rumahnya.

      Delete
  3. Semoga ayahanda ditempatkan dotempat terbaik. Diampuni dosanys. Diterima semua amal baiknya. Amin

    ReplyDelete
  4. Manetek ilukku mambaca tulisan on bah.., targambarkon do situasi di huta. Tarimo kasi. smg simatuatta diterima disisi Allah SWT. Aamiin.
    Sa angkatan do au dht abgmu Jufri. kirim solom di sudena.
    wassalam

    ReplyDelete

close