Pengantar:
Catatan ini saya tulis beberapa saat setelah saya mendengar kabar meninggalnya Ayahku. Setelah saya simak kembali, terdapat kalimat yang tidak pas dan data yang keliru. Namun secara keseluruhan informasi dalam catatan ini adalah valid. Untuk saat ini, saya tidak akan perbaiki dulu, biarlah seperti ini dulu. Suatu saat akan diperbaiki sebagaimana mestinta. Insya Allah.***
Dicopy kembali dari email: 8-10-13
Ayahku dan Upacara Serah Terima Kunci Masjid
In Memoriam - DOLLAR SIAGIAN,
Sipirok, 1937.
Sore itu,
entah tanggal dan hari apa. Di Kampung Padang Jae, Desa Hutasuhut, Sipirok,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, sekitar 360 Km arah selatan
Kota Medan. Kalau tidak salah saya masih kelas dua SD, sekitar tahun 1982.
Sebagaimana anak-anak lainnya, saya ikut main bersama teman sebaya. Syahrir
Siregar atau biasa kami panggil dia Repo adalah teman kelas saya di SD Negeri 4
Sipirok. Rumahnya hanya sekitar 40 meter dari rumah kami bersebelahan jalan.
Saya lupa apa persis penyebabnya, kami berkelahi. Setelah saya pukul dia, saya
lari ke rumah, begitu cepat. Prakk….kaca jendela hancur berkeping-keping. Si
Repo melempar jendela.
Ayahku saat
itu sedang membaca, tidak jauh dari jendela. Mungkin ayahku kena beling kaca
itu. Ayah marah sekali kepada saya. Marah dan marah sejadi-jadinya. Saya
dipukuli berulang kali, bahkan pakai tongkat sapu. Mama dan tetangga menangis.
Mereka hanya dapat menyaksikan. Sudah berusaha melerai, tapi tidak sanggup.
Jelang magrib, baru ayah berhenti pukuli saya, karena dia akan ke masjid. Saya
juga cepat pergi shalat. Lupa, apakah saya ke masjid atau shalat di rumah. Ayah
tinggal di masjid antara Magrib dan Isya --- biasanya juga pada hari-hari
sebelumnya, saya selalu ikut ayah shalat di masjid. Lalu saya masuk ke kamar
tidur di lantai II. Dari kamar saya dengar suara mencari-cari saya. Tapi saya
tetap bertahan di kamar, sampai abang Jufri yang datang ke kamar untuk tidur.
Dia bilang ada Fitra di kamar. Sepulang dari masjid, lalu ayah naik ke kamar
menarik saya, memukul lagi. Saya dibawa ke rumah Repo. Disuruh berkelahi. Tapi
tidak mau saya, saya hanya menangis sejadi-jadinya. Dan seterusnya……. Inilah
pengalaman saya dengan ayah yang masih teringat di benak saya. Dia tidak suka
anak-anaknya berkelahi. Kalau berkelahi, itulah akibatnya.
Namanya juga
anak-anak. Setelah saya berkelahi dengan si Repo, beberapa hari kemudian kami
baikan lagi. Main bola, main petak umpet, marpolli, marasap, marlayang, dan
lain-lain adalah permainan kami. Saya dengan si Repo, ketika sudah masuk SMP,
juga pernah marsiurup. Artinya bergantian memanen padi di sawah
masing-masing. Sampai akhirnya, setelah dia menikah dengan Boru Sialagundi,
saya dapat informasi bahwa dia telah meninggal dunia dalam usia yang masih
relatif muda, semoga Allah SWT memberi tempat yang layak di sisi-Nya.
Mulai kelas
empat SD, saya selalu ikut ayah ke saba/sawah. Walaupun ayah saya adalah
seorang guru SMP Negeri 1 Sipirok dengan status pegawai negeri sipil (PNS),
kami tetap mengelola sawah, berkebun, bahkan mencari kayu bakar di hutan. Lebih
dari itu, kami juga menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Ada
beberapa lokasi sawah atau saba milik orang lain yang kami garap. Di saba
lancat ada tiga tempat, di Tanjung Medan dan di saba donok, punyanya Tulang
Borkat, dekat rumah kami. Itu yang saya ingat, dan beberapa kali berpindah
tempat. Dalam beberapa tahun, saya dengan ayah mengambil lahan di saba
Lampesong. Paling sering kami berdua menggarap sawah itu. Manggar-gari….istilah
untuk memindahkan batu-batuan dari tengah sawah ke pinggir sungai. Capek sekali
ayah manggar-gari batu itu. Tapi itulah hidup.
Pulang dari
sawah, biasanya saya disuruh mandek-dek, menginjak-injak tubuhnya, untuk
mengobati tubuhnya yang pegal-pegal akibat manggar-gari tadi. Didekdek
adalah obat paling disukai ayahku. Sakit apapun dia, obatnya adalah didekdek.
Di antara kami bersaudara, sayalah yang paling sering dan paling lama
mandek-dek. Mulai usia kelas satu SD hingga kelas tiga SMP, jadi sembilan tahun
saya mandek-dek ayah.
Di saba
lampesong, selain padi, secara bergantian dalam kurun waktu tertentu, kami juga
menanam cabe atau lasiak. Awalnya hanya kami berdua yang tanam cabe, tapi
lama-lama ikutlah abang-abangku dan usaha menanam cabe itu menjalar pula ke
seluruh masyarakat Hutasuhut dan sekitarnya. Harga cabe selalu naik-turun. Di
saba lampesong, saya dengan ayah juga memelihara ikan di sawah. Suatu ketika
kolam ikan itu dibobol orang dan ikannya yang sudah mulai besar dicuri, tak ada
sisanya, kecuali anak-anak ikan yang masih kecil-kecil berceceran di sela-sela
rumput dalam areal persawahan. Masih di saba lampesong, saya dengan ayah
memperbaiki bendungan atau tahalak. Jelang magrib kami pulang. Beberapa
peralatan bersawah seperti cangkul dan lain-lain disimpan/disembunyikan di
sawah atau di sela-sela rerumputan, supaya tidak usah di bawa pulang karena
besok masih akan datang lagi ke situ. Rupanya ada orang yang mengintip dimana
ayah menyimpan cangkul, lalu dia curi pula itu cangkul. Pernah ayah
mendatangi rumah orang yang “diasumsikan” selalu mencuri. Dicoba di cek
kesana. Ternyata tidak ada barang-barang kami di situ. Ntahlah….apa dia sudah
jual atau mungkin bukan dia yang ngambil, atau bagaimana.
Selain di
saba lampesong kami juga punya kebun di depan penjara, dekat dengan Desa
Sibadoar. Kebun itu agak curam. Biasanya kami ke kebun bersama abang-abang dan
ibu. Kami menanam berbagai macam tanaman, ada cengkih, sayuran, jeruk, dan
nenas. Di lembah kebun, ada mata air yang sangat jernih. Saya sering mengambil
air di situ. Masak air panas dengan ranting-ranting kayu, bikinkan ayah kopi
kesukaannya. Di kebun itu juga ada seonggak pohon bambu. Ayah suka mengambil
tubis dan rasanya enak. Ayah juga sering mengambil daun pakis dipinggir kali.
Daun pakis sangat enak kalau ibu yang bikin urap.
Ketika kami
sedang mencangkul di kebun, ayah mengadakan lomba. Siapa yang duluan selesai ke
depan mencangkulnya, akan mendapat sebungkus kacang Arab. Kacang Arab waktu itu
adalah kacang paling enak dan mahal di Sipirok, warnanya merah dan rasanya
gurih. Saya dan abang-abang saya berlomba mencangkul. Saking maunya dapat
kacang, kadang-kadang cangkulannya tidak becus, berantakan. Ayah juga suka membelikan
limon. Limon adalah sejenis minuman yang disimpan dalam botol, warnanya merah
atau orange. Kira-kira seperti coca-cola botol saat ini. Kalau kami sedang
berada di sawah memanen padi, ayah biasanya datang belakangan. Eh….ternyata
ayah singgah di pasar memberi limon. Sayang sekali, kebun kami ini telah
dipaksa dibeli oleh orang yang mengaku keturunan raja. Sang raja ini memaksa
orang-orang memberikan kembali tanah-tanah yang menurutnya adalah milik leluhur
mereka. Termasuk kebun kami itu, dipaksa dijual seharga seratus ribu rupiah
pertengahan tahun 1990-an, harga yang sangat tidak pantas. Beberapa tahun
kemudian, saya mendapat informasi bahwa si “sang raja” ini diburu oleh warganya
sendiri, rumahnya dilempari, dan dia terpaksa mengungsi dari Sipirok.
Di saba julu
kami punya sawah yang baru di beli. Saya dengan ayah menggarap sawah itu,
sementara abang-abangku dan ibuku menggarap sawah lain. Di saba julu itu masih
banyak bekas kayu-kayuan, sebab dulu-dulu itu adalah hutan. Kayu yang ditebang
tidak sempurna, masih meninggalkan akar yang mengganggu untuk areal persawahan.
Selama satu tahun mungkin, saya dengan ayah kerjanya hanya menggali akar kayu,
memotongnya dan mencabutnya dari tanah. Akar harus dicabut, sebab akan mengenai
cangkul jika lagi mencangkul, dan mengurangi areal tanaman padi.
Suatu ketika
di bulan Ramadhan. Saya dengan teman-teman bermain-main. Dalam perjalanan saya
bersama teman-teman bertemu dengan ayah. Mungkin ayah pulang dari pasar atau
dari masjid, lalu saya mendekati minta uang padanya. Ayah tidak mau kasih uang,
karena saya tidak puasa. Beberapa hari kemudian, saya puasa. Dengan teman-teman
saya bertemu lagi dengan ayah. Lalu saya minta uang lagi. Kata ayah, untuk apa
uang, kamu kan puasa. Inilah ayahku, dia mendidik kami. Dia tidak akan memberi
uang untuk hal-hal yang memang tidak penting.
Kelas satu
SMP, sekitar tahun 1987, kembali saya tersangkut dengan satu masalah di
sekolah. Teman-teman satu kelasku mengejek-ejek (pacia-ciahon) guru
bahasa Inggris kami dengan istilah “si gigit”….. Sang Guru mengejar
teman-teman yang mengejek tadi dan sialnya kenapa saya harus ikut lari, padahal
saya tidak ikut mengejek. Saya sudah khawatir sekali atas peristiwa itu. Sebab
sang guru adalah teman sejawat ayah di sekolah. Luar biasa saya khawatir kalau
sampai sang guru melapor ke ayah bahwa saya ikut mengejeknya. Bisa jadi
peristiwa pemukulan saya seperti ketika berkelahi dengan si Repo terjadi lagi.
Setiba di
rumah pulang dari sekolah, saya lihat ayah tidak ada. Tenyata sudah duluan ke
saba lampesong. Setelah shalat dhuhur, saya menyusul ke saba lampesong.
Berharap tidak terjadi apa-apa. Saya berdoa, mudah-mudahan informasi pengejekan
tadi tidak sampai kepada ayah. Fatal akibatnya kalau dia tahu. Saya berjanji
dalam hati untuk tidak lagi ikut-ikutan yang demikian itu dan akan melaksanakan
shalat lima waktu setiap hari. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Ayah
justru heran kenapa saya tiba-tiba datang ke sawah, padahal pada hari-hari
sebelumnya saya selalu main bola dengan teman-teman di lapangan Salaha Muda
Pakpahan Tanjung Medan. Ternyata tadi setelah jam mengajarnya selesai, ayah
cepat pulang dari sekolah, lalu ke sawah, sehingga tidak tahu peristiwa
apa-apa. Dan untungnya lagi, besoknya, peristiwa itu tidak ada yang
memberitahukannya ke ayah. Jika ayah tahu, bisa jadi saya jadi sasaran
kemarahan lagi. Sejak peristiwa itu, saya sudah mulai melaksanakan shalat lima
waktu dengan tertib. Dulunya juga saya shalat, tapi kurang tertib, banyak
bolong-bolongnya. Hingga sekarang, Alhamdulillah, saya sudah lupa kapan saya
tidak shalat.
Ayah adalah
rujukan saya untuk shalat dan membaca. Ketika masih kelas satu, dua, tiga, saya
selalu ikut ayah pergi ke Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok. Ada pengajian di
situ untuk orang tua, tidak ada anak-anak. Hanya saya yang anak-anak mengaji,
tapi saya sudah lupa apa isi pengajian mereka saat itu. Yang jelas kerjaku saat
itu adalah menyiapkan bekas kaleng susu atau ikan kaleng, sebagai tempat rokok
para orang tua yang ikut pengajian. Setelah pengajian, mengumpulkan kembali kaleng-kaleng
itu, membuang puntung rokoknya dan kadang-kadang adzan. Dalam membaca ayah
sangat tekun. Suatu ketika saya melihat ayah membaca buku-buku Prof. Hamka yang
halamannya sangat tebal. Saya bilang ke ayah, belikan saya buku kecil
yang bisa saya baca. Ayahpun membeli buku-buku agama yang halamannya
sedikit dan tulisannya besar, berkisar tentang sejarah perjuangan Islam, ada
juga buku tentang Muhammadiyah.
Kelas dua
SMP, saya duduk di kelas II.2, bersama Nasruddin Koto (Nasko) dan lain-lain.
Ayah mengajar kami untuk bidang studi Fisika. Di samping memegang guru bidang
studi, ayah juga adalah penanggung jawab laboratorium fisika. Nasko punya trik
sendiri untuk menghitung kapan mata pelajaran fisika ini berakhir. Mata
pelajaran fisika biasanya memang selalu kurang penggemarnya, tapi wajib
diikuti. Dia hanya melihat rokok yang dihisap ayahku. Jika rokok gudang garam
merahnya sudah habis lalu puntungnya yang tinggal kurang dari setengah
sentimeter itu dibuang, maka lonceng akan segera berbunyi. Saat itu kami tidak
punya jam tangan.
Suatu
ketika, dalam pelajaran fisika ini, ayak memukulku dengan penghapus yang
gagangnya terbuat dari kayu. Ya Allah. Untungnya hanya satu kali, saya sudah
khawatir kalau-kalau ayah mengamuk lagi. Itu hanya gara-gara saya tidak bisa
menjawab kuis yang diberikan ke saya. Sebab sewaktu ditanya, saya tidak
konsentrasi karena ada teman yang membisikkan sesuatu ke saya. Karena saya
berbisik dan tidak tahu menjawab pertanyaan itulah makanya saya dipukul.
Padahal waktu itu sebenarnya pertanyaannya tidak begitu susah, hanya karena
saya tidak konsentrasi saja. Sebab sewaktu di SMP, saya tidak bodoh-bodoh amat.
Selalu berada di rangkin 1 sampai 5, berganti-ganti. Bahkan tamat SMP, saya
peraih nilai NEM tertinggi; 4,89 tingkat Kecamatan Sipirok.
Seusai
pengumuman kelulusan SMP tahun 1990, karena saya peraih NEM tertinggi, ada
teman yang menyentil saya, bahwa ini adalah akibat campur tangan ayahku.
Wallahu’alam. Saya malu waktu itu. Malu dan sangat malu. Ntahlah, dia
mengatakan itu main-main atau serius, tapi yang jelas saya sangat malu. Inilah
salah satu faktor penyebab kenapa saya tidak mau melanjutkan sekolah di
Sipirok. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu meraih nilai tinggi walaupun
tanpa campur tangan ayahku. Alhamdulillah, ini terbukti juga. Sebab ketika SD
juga saya sering juara, bahkan menjadi juru bicara cerdas cermat antar SD
bersama si Lee Ly di samping sebelah kanan saya dan si Lija di samping sebelah
kiri saya. Kedua temanku ini, sekarang ntah dimana. Di SMA Negeri 3 Ujungpandang,
selama tiga tahun saya berada di kisaran rangking 15 hingga 30 dari 49 teman
per kelas. Walaupun tidak masuk dalam jajaran rangking 1-10, tapi saya pikir
itulah kemampuan saya, anak kampung dari pedalaman yang baru masuk kota besar.
Sampai akhirnya dalam wisuda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin periode September 1999, saya menjadi wisudawan terbaik
untuk program studi Jurnalistik. Alhamdulillah, ibu yang disaksikan oleh
ayahku, menerima piagam lulusan terbaik dari Dekan waktu itu, Dr. H. Tahir
Kasnawi.
Kembali ke
Sipirok, tahun 1988. Di saba lancat, jelang sore hari kami bertanam cabe.
Tanaman cabe harus disiram tiap hari. Saya, ayah, dan ibu pergi ke saba lancat
itu. Saat itu situasi di sipirok cukup tegang. Karena ada putaran semifinal
sepakbola antar kampung antara kesebelasan Desa Bagas Na Godang dan Desa
Hutasuhut. Kedua desa ini, kalau main bola biasanya berakhir dengan perkelahian
antar pemain dan antar supporter. Saya sudah sampaikan kepada ibu bahwa saya
mau pergi nonton. Tapi ayah bilang, sebentar lagi, karena tanaman cabe harus
disiram dulu. ….. Karena sudah cukup lama, belum diizinkan juga, akhirnya saya
sembunyi-sembunyi lari, pergi menonton. Malam harinya, ayah bilang ke saya
kenapa harus sembunyi-sembunyi, sekiranya mau menuruti ayah, akan diberikan
uang untuk ongkos naik becak dan tiket masuk, sehingga tidak perlu jalan kaki
tiga kilo meter.
Masih dalam
tahun yang sama, saya dengan ayah pergi ke saba lancat. Dalam perjalanan kakiku
terperosok masuk dalam lobang bongkahan kayu. Kakiku terasa sakit. Saya
menjerit minta tolong sama ayah. Ayah yang sudah berada di depan, cepat balik
menolong saya. Kakiku dan sekitar paha, bengkak dan hitam lebam. Ayah
menggendongku pulang ke rumah dan memberi obat. Lalu bersama ibu, saya dibawa
ke tukang urut. Menurut ayah, lukaku cukup parah dan perlu mendapat perhatian.
Tapi menurut ibu, tidak begitu parah. Tapi karena menghormati ayah, ibu tetap
membawa saya pergi berobat ke tukang urut.
IBUKU SANGAT
MENGHORMATI AYAHKU. Ibuku juga bisa menjadi contoh teladan sebagai seorang
isteri. Tidak ada hal yang ibu lakukan tanpa izin dari ayah. Ibu pernah jadi
pengusaha, menjual bebagai dagangan, atas izin dari ayah. Apa yang dikatakan
ayahku, selalu dituruti ibu. Suatu ketika ayah sedang sakit. Karena sudah agak
lama sakit, datanglah seseorang yang membawa hadiah berupa uang kepada ayah.
Sebenarnya itu adalah hal yang lumrah, karena ayah sakit, dan yang membawa uang
itu adalah bosnya. Hanya saja dalam pembicaraan mereka itu, sang bos meminta
ayah untuk mendantangani kertas, ntah apa isinya. Lalu ayah menguruh ibu
mengembalikan uang itu. Ibuku juga pernah mau minggat dari rumah. Sudah minggat
malahan. Ibu sudah pulang ke Desa Panggulangan, rumah kakekku. Karena
perjalanan yang cukup jauh, jalan kaki, belum sampai ibu di rumah kakek, ayah
sudah tiba duluan. Mengajak ibu pulang ke rumah. Untungnya saat itu kakek dan
nenek sudah pergi ke kebun, jadi tidak sempat mengetahui peristiwa ini.
Ibuku juga menghargai ayahku. Ayah melarang ibu menerima pembagian harta
warisan dari harta peninggalan kakekku, yang tidak dibagi berdasarkan syariat
Islam. Karena pembagian dilakukan dengan cara adat, ayah tidak mau, sehingga
kami tidak mendapat bagian dari pembagian warisan kakek kami. Subhanal-Lah.
Suatu hari
menjelang magrib, saya dengan ayah masih berada di saba lampesong, membersihkan
kebun. Kami sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Tiba-tiba ibu datang menangis
tersedu-sedu. Ibu mengadu kepada ayah. Seorang ibu, menuduh ibu yang menjadi
penyebab seorang bapak muntah-muntah. Menurut ibu tadi, ibulah yang menaburi
racun di makanan bapak tadi sehingga muntah. Kala itu ada acara hajatan di
kampung, sebagai warga, ibu ikut membantu menyiapkan makanan di dapur bersama
ibu-ibu lainnya. Menanggapi laporan ibu tadi, ayah hanya mengatakan kita harus
sabar. Allah SWT pasti tahu siapa yang benar, kata ayah waktu itu.
SORE YANG
MENENTUKAN. Sekitar bulan April 1990. Di saba lampesong juga, saya, ayah dan
ibu. Membersihkan kebun cabe, yang akan segera ditanami padi. Di sela-selanya,
saya membakar jagung dan membuatkan ayah secangkir kopi. Kepada ayah dan ibu,
saya menyampaikan niatku untuk melanjutkan sekolah ke Yogyakarta, menyusul
temanku si Zulfan Hutasuhut yang sekolah di SMA Muhammadiyah Yogyakarta.
Sesungguhnya mereka setuju saya sekolah ke Yogya. Namun ibu bilang, coba
hubungi abangmu si Syamsul di Ujungpandang, apakah bisa saya ikut sekolah
bersama dia di sana.
Gayung
bersambut, abang Syamsul datang dari Ujungpandang, mengajak saya juga untuk
sekolah di sana. Dari pelabuhan Sibolga, Tapanuli Tengah, pertengahan Juli
1990, dengan diantar ibu, ayah, dan koum si solkot, saya berangkat seorang diri
ke Ujungpandang naik kapal motor milik PT Pelni, KM. Kerinci. Ongkosnya saat
itu adalah Rp 77.000,00. Waktu tempuh Sibolga – Ujungpandang selama lima hari
enam malam, dengan rute: Sibolga – Padang – Jakarta – Surabaya – Ujungpandang
dan seterusnya ke arah utar lagi.
Pertamanya
saya masuk SMA Muhammadiyah Wilayah Sulsel di Jalan Dr. Ratulangi. Namun satu
tahun kemudian, saya pindah ke SMA Negeri 3 Ujungpandang. Tamat SMA tahun 1994
langsung mendaftar di Universitas Hasanuddin, kemudian lulus dengan gelar
S.Sos. pada tahun 1999.
Suatu
ketika, sekitar tahun 1995 atau 1996, dari Sipirok ibu menelepon saya ke
Ujungpandang. Katanya ayah akan minta pensiun dini atau pensiun lebih cepat
dari yang seharusnya. Ibu kaget dengan rencana ini. Ibu meminta kepada saya,
agar menyampaikan kepada ayah, agar memikirkan baik-baik niat ayah itu. Sebab
kalau pensiun dini, artinya akan ada pemotongan tunjangan. Saya berusaha
menulis surat kepada ayah sesuai pesan dari ibu. Alhamdulillah, ayah
mengurungkan niatnya untuk pensiun diri. Kemudian ayah pensiun kalau tidak
salah tahun 1998. Ayah dapat tunjangan pensiun yang lumayan dari pemerintah
sebagai PNS. Ibu menelepon saya. Apakah ada peluang saya untuk menjadi PNS,
katanya mumpung ada pensiun ayah. Namun saya katakan kepada ibu, sebaiknya uang
pensiun ayah itu dipakai saja untuk hal-hal lain. Persoalan bahwa saya akan
jadi PNS, itu Allah SWT yang mengatur.
Dengan uang
pensiun itu, ibu dan ayah membeli lahan di Duri Riau atas peran dan budi baik
tanteku. Lahan itu dijadikan kebun kepala sawit, beberapa hektar. Saya lupa
persisnya. Lalu mereka juga membeli lahan perumahan dari tanteku di pinggir
jalan, lalu mendirikan rumah di situ. Di kebun sawit ayah mengerjakan itu
bersama ibu dan abang Jufri. Mulai dari menggarap, menanam sawit, mengangkat
bibitnya, dan lain sebagainya. Tentu ayah sangat capek. Sayang sekali, saya
tidak berada di sampingnya, jadi saya tidak mandek-deknya lagi. Dapat
saya membayangkan, betapa capeknya ayah. Dalam usia yang sudah tua seperti itu,
masih harus bekerja, banting tulang peras keringat. Tapi itulah hidup ayahku,
tiada kata berhenti berbuat selama masih mampu.
Tahun 1999,
ayah berkesempatan untuk pertama kalinya dari ke Makassar. Menjelang saya
wisuda S.1., adalah saat-saat yang menegangkan. Saat itu, skripsi saya belum
diuji, karena belum ada persetujuan dari pembimbing dua, yakni Pak Hasrullah
(yang kemudian pernah menjadi staf ahli Dewan Pertimbangan Presiden). Sedangkan
pembimbing satu sudah oke, yakni pak Mansyur Semma (almarhum, semoga Allah
memberkatinya). Sementara ayah dan ibu, baru tiba dari Singapura. Dalam
pembicaraan telepon, ibu menanyakan apakah saya ikut wisuda atau tidak. Saya
bilang belum pasti karena skripsi belum di-acc. Entah bagaimana
ceritanya, ibu dan ayah sudah pesan tiket kapal laut ke Makassar lewat Sibolga.
Perjalanan Sibolga-Makassar memakan waktu lima hari enam malam. Saya kalang
kabut, bagaimana mungkin mereka datang akan menghadiri wisudaku, sementara saya
belum ujian. Alhamdulillah, atas budi baik Pak Mansyur Semma setelah mendapat
bisikan dari Saudaraku Syarifuddin Jurdi, akhirnya skripsi saya disetujui juga
setelah mengadakan perbaikan-perbaikan.
Tanggal 9
Sepetember 1999, saya di wisuda oleh Rektor Unhas, Prof. Rady A. Gani
disaksikan langsung oleh ayah dan ibu. Saat itu juga hadir H.M. Yusuf Kalla
sebagai Ketua Ikatan Alumni UNHAS, yang kelak menjadi Wakil Presiden RI dan
menjadi tokoh penting di negeri ini. Ayah juga menyaksikan saya menerima piagam
penghargaan sebagai wisudawan terbaik. Dia begitu gembira menyaksikan saya
dipanggil ke atas podium menerima piagam. Dalam hatiku, terjawab sudah
sinyalemen teman-temanku bahwa ayahku menambah nilai NEM waktu SMP. Sebab
ketika ayahku tidak ada di Unhas, bahkan siapa-siapaku tidak ada di Unhas, toh
saya bisa jadi yang terbaik diantara mahasiswa lain.
Kurang lebih
satu bulan, ibu dan bapak berada di Makassar dalam rangka wisuda ini. Selain di
rumah abang Pai di Jl. Gunung Lompobattang, ayah dan ibu tinggal juga dengan
saya di bawah tangga di kantor PWM Sulsel Jl. Perintis Kemerdekaan. Mereka
sedih melihat saya tinggal di bawah tangga. Tapi itulah hidupku selama di
Makassar. Bahkan saya tetap tinggal di bawah tanggal ketika saya sudah
berkeluarga, punya anak, dan hampir seluruh keluarga inti daripada isteriku
pernah tinggal di bawah tangga itu. Anakku yang pertama, Luqman, pun diaqiqah
di sana, teman-temanku menjenguk Luqman di bawah tangga. Ketika wisuda S.1.,
ibu mengadakan acara syukuran di kantor PWM. Ayah sangat senang. Beberapa
teman-temanku yang membantu penyelenggaraan syukuran, oleh ayah dibelikan
minuman coca-cola dan makanan ringan.
Menjelang
pernikahan saya yang saat cukup unik sekaligus peliklah sedikit, ayah menjadi
sumber inspirasi bagi saya dalam rangka akan menjalani kehidupan berkeluarga.
Saya sengaja datang dari Makassar ke Sipirok adalah untuk meminta restu ibu dan
ayah. Mereka pada hakekatnya mengizinkan saya menikah dengan wanita pilihan
saya. Padahal waktu itu keadaan cukup “menegangkan”, karena nenek saya,
memiliki hasrat tertentu. Alhamdulillah, berkat pendekatan yang baik, nenek pun
akhirnya merestui saya menikah dengan wanita pilihan saya itu.
Kedua
kalinya ayah datang ke Makassar adalah ketika saya akan melangsungkan
pernikahan, Agustus 2003. Bersama ibu, ayah datang. Selain ibu, ikut pula
datang Wak Sonnip dari Padang Sidempuan, Kak Masyita dari Jakarta. Dan yang
tidak kalah spektakulernya adalah Bou Hj. Annie Faridah, langsung dari
Singapura. Pada hari pernikahan saya, ayah menjadi saksi bersama K.H.
Djamaluddin Amien dan K.H. Nasruddin Razak. Mata ayah berbinar-binar saat itu,
seperti biasa, ayah mengulum senyum di bibirnya sebagai tanda rasa gembira.
Sepulang dari Somba, Majene, kami pergi ke Tana Toraja mengantar bou. Tentu
ikut pula waktu itu seseorang yang sudah menjadi isteriku. Ini adalah yang
kedua kalinya ayah ke Toraja, tahun 1999, sewaktu wisuda S.1, ayah dan ibu juga
sempat saya bawa ke Toraja.
Ketiga
kalinya ayah datang ke Makassar, adalah ketika saya wisuda magister, Juli 2005.
Saya menjemputnya di Bandara Hasanuddin waktu itu. Seperti biasa, ayah tidak
mengeluarkan sepatah katapun. Tapi saya tahu ayah adalah sangat gembira karena
saya bisa wisuda S.2. Kemungkinan diantara kami sekeluarga, bahkan diantara
sepupu-sepupuku, saya yang pertama menyandang gelar magister. Selama di
Makassar, ayah sempat datang ke Somba Majene mengunjungi besannya. Sepulang
dari Majene, sempat singgah di rumah kami di Puskesmas Pelitakan Polmas.
Sepulang dari Polmas ke Makassar, sehari kemudian mereka datang lagi dari
Makassar ke Polmas. Karena saat itu mamaknya anakku lagi sakit, bahkan sempat
masuk dan diopname di rumah sakit. Ayah kembali ke Polmas karena merasa
tidak nyaman pulang ke Sipirok dalam keadaan menantunya sakit.
Persis satu
tahun lalu, awal Maret 2010, ayah dan ibu kembali datang ke Makassar. Kali ini
dengan dua alasan. Pertama untuk melihat cucunya yang ketiga, Mara Athirah
Siagian, lahir 8 Desember 2008 di Makassar. Alasan kedua adalah, untuk melihat
rumah kami yang baru dibangun. Walaupun masih sangat sederhana, masih goyang
kalau kita berjalan. Maklum rumah panggung. Belum ada jendelanya, kecuali
potongan kayu-kayu yang ditempel. Walaupun demikian, ayah sangat senang karena kami
telah memiliki rumah sendiri. “Abope sopo-sopo martarup ri bagasmunu, uppade
do pe i, sian mangongkosi hamu…..” katanya waktu itu. Kurang lebih artinya
begini; walaupun rumah kalian terbuat dari anai-anai, jauh lebih baik
daripada selalu mengontrak. Hampir dua bulan ibu dan ayah di Makassar. Atas
budi baik Bapaknya Sari sang Raja Knalpot, kami sempat bawa ayah jalan-jalan ke
berbagai tempat di Makassar, bahkan sampai ke Bili-bili. Saya juga sempat
bonceng ayah ke kampus UIN, berkenalan dengan rekan-rekan dosen di Kampus I
Alauddin waktu itu setelah shalat jum’at di masjid kampus. Ayah juga sempat
menyaksikan pemberian laptop ini kepada saya. Laptop inilah yang saya pakai
membuat tulisan ini. Pulang dari kampus, saya bonceng ayah makan sop kepala
ikan di Jl. Mappanyukki. Inilah terakhir kalinya saya traktir ayah. Dulu juga
pernah ayah saya traktir makan konro di Jl. Bawakaraeng. Saya juga sempat
membawa ayah ke Somba, melayat keluarga yang meninggal dunia di Majene
sekaligus menjiarahi makam besannya yang baru meninggal awal Januari 2010 lalu.
Selama bulan
Maret hingga April 2010, ayah dan ibu tinggal bersama kami di Kompleks Bakung
Balda Sakinah Blok C/1 Samata Gowa. Karena halaman cukup luas, bisa bercocok
tanam. Atas kemauan sendiri, ayah mencangkul di halaman. Mencari akar-akar
rumput supaya tidak tumbuh lagi. Menguras sisa-sisa potongan kayu, dikumpul,
lalu dimasukkan ke karung. Katanya suatu saat potongan kayu itu, walaupun
kecil-kecil, bisa dipakai bakar-bakar ikan atau memasak air. Hampir tiap hari kerjanya
demikian itu. Dari Majene, sempat ayah memetik tanaman bunga, dan menanamnya di
halaman rumah kami, warna kuning bunganya, sekarang sudah tumbuh subur di
halaman rumah di Bakung. Selain bunga, bersama ibu, ayah juga sempat menanam
ubi, kacang panjang, mangga, lombok, cempedak, kelapa dan belimbing.
Alhamdulillah, saat ini tanaman tersebut masih ada dan tumbuh dengan baik.
Semoga tanaman tersebut menjadi amal jariyah baginya karena kalau berbuah akan
banyak manusia yang boleh menikmatinya. Khusus untuk tanaman ubi, kacang
panjang, dan lombok, sudah kami nikmati. Hampir satu tahun kami tidak membeli
lombok karena sudah bisa memetik buah lombok yang ditanam ayah. Demikian juga
kacang panjang dan ubi. Sebagian kami berikan kepada tetangga.
Saya sangat
gembira karena selama bersama kami, saya menyaksikan sendiri ibadahnya. Kami ke
masjid setiap subuh, bersama dengan ibu. Jarak masjid sekitar 250 meter dari
rumah. Kalau magrib, shalat berjamaah di rumah. Subuh sepulang dari masjid,
kami duduk di teras beranda rumah. Rumah panggung ada berandanya. Enak
memandang ke halaman, depan dan belakang menyaksikan tanaman-tanaman yang mulai
tumbuh. Saya biasa membikinkan ayah kopimex, datanglah cucunya yang paling
kecil si Athirah minta kopimex jatah kakeknya ini. Saya merasakan betapa
indahnya hidup bersama ibu dan ayah, walaupun hanya sekitar dua bulan.
TENTANG
IBADAHNYA. Setelah saya terangkat sebagai dosen di UIN, sudah saya niatkan akan
pulang ke Duri untuk menjenguk keluarga. Namun karena keterbatasan gaji yang tidak
seberapa, dikumpul-dikumpul tidak cukup juga. Namun bulan April 2007 saya
tekadkan harus pulang, karena ibuku mengalami kecelakaan. Dia ditabrak motor di
pasar. Saya bilang ke mamaknya anak-anak, kita harus ke Duri. Mamaknya setuju
dengan catatan, satu berangkat, berangkat semua. Artinya anak-anak semua harus
ikut. Yang anehnya, kami baru menyampaikan rencana kedatangan kami, keadaan ibu
sudah mulai pulih. Sehari sebelum kami tiba, ibu masih belum bisa berdiri. Pada
hari kedatangan kami, tak diduga ibu berdiri langsung menyongsong kedatangan
kami ke bus yang membawa kami dari Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru.
Pagi hari setelah shalat subuh. Saya berdua dengan ibu di kamarnya. Secara
spontan, tidak ada api, tidak ada angin, saya menangis dipelukan ibu.
Menangis sejadi-jadinya. Ayah datang ke kamar melihat keadaan saya yang sedang
menangis. Beberapa saat mereka tercengang, kok saya menangis. Setelah saya bisa
mengendalikan diri. Barulah saya ceritakan maksudku. Saya minta kepada ibu dan
ayah agar kembali ke Sipirok. Tinggalkan Duri, tinggalkan usaha, tinggalkan
kebun sawit, dan lain-lain. Saya meminta kepada ibu dan ayah agar memfokuskan
diri beribadah kepada Allah Swt. Dalam usia ayah saat itu, jelang 68 tahun,
sudah saatnya istirahat dengan tenang sambil beribadah. Saya tidak ingin lagi
melihat ayah melayani pembeli di warung, mengisi jerigen kosong dengan bensin,
membuka kedai pagi hari dan menutupnya pada malam hari. Saya minta semua itu
dihentikan. Mungkin karena saya menyampaikan maksud saya dengan menangis, ibu
dan ayah tergugah juga hatinya.
Setelah musyawarah dengan abang, kakak, dan adik, akhirnya ibu dan ayah kembali
ke Sipirok. Kalau tidak salah jelang Ramadhan tahun 2007, mereka kembali ke
Sipirok. Ayah bisa mengaji dengan tenang. Pergi ke masjid, adzan, dan jadi imam
di masjid. Bahkan ayah adalah salah seorang pemegang kunci Masjid Taqwa
Muhammadiyah Sipirok hingga akhir hayatnya. Saya sangat senang ayah bisa
beribadah dengan baik. Bahkan dalam pengajian antar Ranting Muhammadiyah di
desa-desa, biasa juga ayah ikut rombongan Pimpinan Cabang. Demikian juga ibu,
bisa kembali beraktivitas dengan teman-temannya sesama pengurus Aisyiyah.
Keadaan seperti inilah yang sangat membahagiakan saya.
Tahun 2007, ibu dan kakak saya sudah mendaftar haji. Kemudian abang Pai
tergerak juga hatinya, mengapa ayah tidak didaftar juga. Menurut abang Pai,
wajarlah ayah berangkat ke tanah suci mengingat beban pekerjaannya dulu sewaktu
menanam kebun sawit. Mulanya ayah enggan mendaftar, karena masih ada anaknya
yang kuliah. Namun setelah saya memberi pengertian, dan dibantu juga oleh
mamaknya anak-anak yang turut memberi pengertian kepada amang borunya ini,
akhirnya ayah bersedia didaftar. Saya pun turut merasa bertanggung jawab atas
niat baik ini. Maka atas persetujuan mamaknya anak-anak, saya mengambil
pinjaman di Bank Mualamat Makassar dengan jaminan SK PNS sebagai dosen di UIN
Alauddin. Uang inilah yang dipakai untuk mendaftarkan ayah sehingga mendapatkan
kursi naik haji yang direncanakan tahun 2011 ini.
ALLAH SWT
MAHA BERKUASA. Niat kami menghajikan ayah adalah tentu sudah diketahui oleh
ALLAH Swt, dan sudah mendapat nilai pahala di sisi-Nya. Namun Dia memiliki
kehendak lain, ayah tidak sempat naik haji yang tinggal beberapa bulan lagi
ini. Dia justru menginginkan ayahku secara keseluruhan. Innalilllahi wainna
ilaihi rajiun, 12 Maret 2011.
Ketika saya mengutarakan niat saya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang S.3.
di Malaysia, menurut ibuku, ayah merasa sangat senang. Sudah sekitar enam bulan
lalu rencana ini saya sampaikan kepada beliau. Akhirnya saya berangkat ke
Malaysia ini, 5 Januari 2011 lalu. Setiba di sini, hampir tengah malam
saya menelepon ibu memberitahun ketibaaan saya di Kuala Lumpur. Ketika
ada masa libur jelang Imlek, UKM cuti kuliah selama 11 hari, mulai tanggal 27
Januari hingga 07 Februari 2011. Teman-temanku pada pulang ke Makassar, tentu
untuk menemui anak-isteri mereka. Saya justru terpikir untuk pulang ke Sipirok
menemui ibu dan ayahnya. Saya pun berangkat ke Sipirok, tanpa memberitahu
siapapun.
Jum’at, 28
Januari 2011, pagi-pagi benar saya tiba di rumah, Jl. Pondom Hutasuhut. Setelah
memeluk ibu, saya masuk ke kamar ayah. Ayah masih tidur lagi, kebiasaannya
memang setelah subuh, tidur lagi. Saya peluk ayah sementara tidur. “ise
deon” katanya. “Saya Fitra, ayah….”sahutku. Dia sangat senang saya datang
menemui mereka. Selama saya di Sipirok, untuk acara-acara penting, ayah selalu
ikut dengan saya. Ikut ke Padang Bulan, ikut pula ke Sidimpuan, dan ikut pula
ke Panggulangan. Padahal sudah lama ayah tidak mau ke Panggulangan. Tapi karena
saya yang mengajak, maka ayah bersedia juga untuk ikut. Kemudian ayah juga ikut
ke Duri, ketika hendak mengantar saya akan kembali ke Malaysia.
Ketika saya
mau mengundurkan waktu kepulangan, supaya memiliki waktu lebih lama dengan
mereka, ayah justru meminta sebaliknya. Harus pulang sesuai jadwal, siapa tahu
ada halangan di jalan katanya. Benar saja, ternyata rencana saya pulang ke
Malaysia hari Sabtu, ternyata tidak ada kapal fery yang berangkat hari itu dari
Dumai ke Port Klang, bahkan sampai sepuluh hari kemudian. Sehingga saya harus
naik pesawat, tentu dengan biaya yang lebih tinggi. Masih di Duri, ada
kata-kata ayah, yang mungkin itulah yang terakhir saya ingat. “Mama tobang
au, nanggo lobas be au dao mardalan-dalan….”, menjawab ajakan ibu
untuk pergi ke Rantau Parapat menjenguk wak saya di sana. Artinya kira-kira;
saya sudah cukup tua, tidak kuat lagi saya pergi perjalanan jauh. Mendengar
jawaban itu, sebenarnya saya sudah punya firasat tertentu. Wallahu’alam.
Sabtu, 12
Maret 2011, dini hari. Alarm hpku bunyi, pukul 04.45 dini hari. Bersamaan
dengan itu, datanglah telepon dari istriku di Makassar. Dia memberitahu bahwa amangborunya
(mertua laki-lakinya) telah dipanggil Allah Swt. Innalillahi wainna ilaihi
rajiun. Ayahku telah meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Saya mencoba
untuk tenang. Lalu sempat shalat lail. Mendoakan ayah. Datang juga telepon dari
adik Afwan, memberitahukan hal yang sama. Setelah subuh saya menelepon ibu di
Sipirok. Dalam pembicaraan dengan ibu, saya menyampaikan beberapa hal:
ü Bahwa kepergian ayah ini adalah kehendak Allah Swt.,
jadi mama jangan terlalu sedih;
ü Mohon dikebumikan secepat mungkin, tidak perlu
menunggu siapapun;
ü Saya tidak bisa datang, tapi mengupayakan adik Afwan
yang di Makassar supaya bisa datang.
Saya tidak
datang karena sudah saya perkirakan tidak mungkin dapat melihat wajah ayah
lagi, karena perjalanan dari Kuala Lumpur ke Medan, sekitar empat jam termasuk
perjalan ke bandara, boarding, beli tiket, imigrasi, dll. Demikian pula dari
Medan ke Sipirok memakan waktu kurang lebih delapan jam, padahal saya sudah
minta penguburan ayah dipercepat. Tapi saya sangat bersyukur, kenapa bulan
lalu, saya terpikir untuk pulang ke Sipirok ketemu ayah dan ibu. Padahal kami
dengan isteri sudah berencana akan ke Sipirok sebelum isteriku berangkan ke
Australia. Kami rencana ke Sipirok sekitar bulan Juli 2011 ini. Namun Allah
menghendaki lain. Memanggil ayah sebelum menantu dan cucuknya datang
mengunjunginya.
Sabtu, 12
Maret 2011. Sepanjang hari, dari Kuala Lumpur, saya mencoba menghubungi
saudara-saudaraku. Meminta mereka mengikhlaskan ayah, dan meminta supaya ayah
secepatnya dimakamkan. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Ayah
dikebumikan di pemakaman Islam Desa Pangurabaan, sekitar satu kilometer dari
rumah kami. Sebelumnya ayah sempat dishalatkan di Masjid Taqwa Muhammadiyah
Sipirok, masjid tempat dia masih memegang kunci pintunya.
Malam hari di rumah diadakan ta’ziyah. Menurut mama, ada tujuh orang pembicara
malam itu. Sebagaimana lazimnya, semua pembicara menyampaikan kalimat-kalimat
yang menyejukkan hati untuk bersabar menghadapi cobaan ini. Dan malam itu juga
diadakan serah terima kunci Masjid Taqwa Muhammadiyah Sipirok. Selama ini, ayah
adalah pemegang kunci masjid. Saya bangga, ayah bisa menjadi pemegang kunci
masjid.
Sekembali
dari Duri sejak pertengahan 2007, ayah sudah mulai kembali mengurus
masjid. Dia dipercaya memegang kunci masjid. Di Makassar, saya selama kurang
lebih sepuluh tahun juga sebagai pemegang kunci masjid. Ayah biasa jadi imam,
adzan, dan kadang-kadang merangkap jadi muazzin sekaligus sebagai imam. Suatu
ketika ayah adzan di masjid, padahal waktu masih menunjukkan kurang dari pukul
11 siang, sementara waktu dhuhur adalah pukul 12 lewat. Datanglah jamaah dekat
masjid menegur ayah, kenapa begitu cepat adzan. Ternyata dari rumah ayah kurang
tepat melihat jam. Melihat jam di rumah, dia pikir sudah jelang dzhuhur, lalu ke
masjid. Di masjid tidak lagi melihat jam, langsang mengambil corong dan adzan.
Saya gembira
ayah menjadi pemegang kunci masjid. Jika di Yogyakarta, ada Mbah Marijan
sebagai pemegang kunci Gunung Merapi, maka di Sipirok ada ayahku sebagai
pemegang kunci masjid. Memegang kunci masjid dapat dimaknai sebagai orang yang
gemar beribadah. Tentu, Allah Swt. yang punya kewenangan untuk menilainya.
Apapun yang ada di benak ayahku, dia adalah pemegang kunci masjid, dan hanya
Allah Swt yang mengetahui dan menilai keikhlasannya selama memegang kunci
masjid ini.
Ayahku telah
berpulang ke rahmatullah. Ibuku menceritakan kepadaku tentang detik-detik yang
menegangkan ini. Beberapa hari sebelumnya, ayah telah membersihkan rumah.
Mengepel dan mengelap kaca. Membuang sampah-sampah maupun barang-barang yang
tidak penting dari rumah. Sampai rumah kami kelihatan rapi dan bersih, tetangga
juga sempat heran melihat kaca jendela yang begitu bersih. Hari Jum’at ayah
masih sempat shalat ke masjid, demikian juga shalat ashar. Jelang magrib, ayah
mengeluh kurang sehat kepada ibu. Siangnya Kak Siti, sempat menyiapkan mereka
makanan. Karena merasa kurang enak badan, maka ayah dan ibu melaksanakan shalat
magrib dan isya berjamaah di rumah. Ba’da shalat isya, ayah mengeluh
pegal-pegal. Ayah meminta ibu untuk menelepon abang Syamsul untuk diurut, namun
ibu tidak tahu bagaimana caranya menelepon, dia hanya mampu menerima
telepon. Maklumlah, ibuku baru beberapa hari membeli hp baru.
Tengah malam
ayah terbangun. Dia sempat meminta ibu supaya memutar maju jam dinding supaya
cepat subuh. Ibu, maklumlah…..dia tahu bahwa kalau begitu, ayah sedang
mengerang. Tidak lama setelah itu, ayah masuk ke kamar mandi. Ibu masih
sempat mendengar suara siraman dan gemercik air dari kamar mandi. Ayah kembali
ke samping ibu untuk tidur. Lalu ibu mendengar suara lain dari ayah. Ibu
menanya, “namahua de ho oppui”. Ibu kaget lalu berteriak memanggil
tetangga. Tetangga berdatangan dalam waktu sekejap, termasuk Kepala Lingkungan
Herry Hutasuhut dan lain-lain. Kurang dari lima belas menit, ayah sempat
dibacakan kalimat syahadat. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dari Allah
kita datang dan kepada-Nya pula kita akan kembali.
Mendengar
berita meninggalnya ayah, saya merasa tidak begitu sedih. Sedih, ya sedih. Tapi
tidak sedih-sedih amat. Tidak ada air mata yang keluar. Saya terharu dengan
proses kematian ayahku yang cukup tenang. Allah Yang Maha Berkuasa. Saya tidak
sedih, karena ayahku adalah pemegang kunci masjid, kunci bagi orang-orang yang
akan menghadap Tuhan-Nya. Sebagai pemegang kunci tersebut, tentu juga ayah
sudah siap untuk masuk ke jalan-Nya. Insya Allah. Inilah yang ada dalam benak
saya sehingga tidak sedih. Namun kenapa kemarin, jelang shalat lail, sehari
setelah ayah dikebumikan, saya merasa sedih. Saya menangis seorang diri dalam
kamar. Saya menyadari bahwa ayahku telah benar-benar meninggalkan kami. Insya
Allah, atas izin-Nya, kami dapat kembali bersua dengan ayah.
Bagi orang,
mungkin ayahku adalah orang yang biasa-biasa saja. Ayah adalah seorang lekaki
pendiam. Tak penting tak bicara. Inilah ciri khas ayahku. Kami sangat
menghormat ayahku. Dia pantas menjadi teladan; sebagai ayah, sebagai suami,
sebagai kakek dari cucunya, dan sebagai guru dari murid-muridnya. Tidak ada
memang yang sempurna, tentu ada perilaku salah yang ayah lakukan. Namun hanya
Allah SWT yang mengetahuinya.
Semoga Allah
memberikan tempat yang layak di sisi-Nya bagi ayahku. Mengampuni segala
dosa-dosanya. Menjauhkannya daripada siksa kubur. Menerima segala amal
ibadahnya. Saya berharap, kami – para anak-anaknya itu, menjadi anak yang
shaleh, yang dapat mendoakan ayah. Hanya doa kamilah yang dapat
menyelamatkannya, disamping ilmu yang pernah dia ajarkan kepada anak muridnya
serta hartanya yang pernah dia sumbangkan untuk kepentingan agama.
Kampus, UKM,
Bangi, Selangor Darul Ehsan, Kuala Lumpur, 14 Maret 2011, pk.11.04 am.
Haidir Fitra
Siagian, anak keenam dari sepuluh bersaudara! Siti Hajar Siagian, Syamsul Bahri
Siagian, Ardol Rifai Siagian, Jufridol Siagian, Fakruddin Siagian (alm),
Purnama Berliani Siagian, Syafriani Siagian (almh), Ahmad Ahwan Siagian,
Azharul Fajri Siagian.
6 Comments
Judul semestinya di atas adalah : "Ketika Ayahku Memukulku, Ketika Ayahku Melihatku jadi Wisudawan Terbaik"
ReplyDeletedisalah satu foto yang sedang berdiri dekat alm ada ompung ku :(
ReplyDeleteTuti, yang mana Ompunya di situ? Oh ya, Ito tinggal di mana? di Sipirok juga? Yang mana rumahnya.
DeleteSemoga ayahanda ditempatkan dotempat terbaik. Diampuni dosanys. Diterima semua amal baiknya. Amin
ReplyDeleteTerimakasih atas simpatinya Bang
DeleteManetek ilukku mambaca tulisan on bah.., targambarkon do situasi di huta. Tarimo kasi. smg simatuatta diterima disisi Allah SWT. Aamiin.
ReplyDeleteSa angkatan do au dht abgmu Jufri. kirim solom di sudena.
wassalam