About Me

Degdegan Menelusuri Kota Sydney dan Kisah Peci Hitam


 Degdegan Menelusuri Kota Sydney dan Kisah Peci Hitam 

 

Tak diduga pada awal pekan ini saya menerima undangan lewat media sosial dari staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Sydney. Undangan itu adalah guna   menghadiri acara silaturahmi dengan Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu yang baru saja mulai bertugas, Dr. Siswo Pramono. Silaturahmi akan diadakan di Wisma Indonesia di 25 Kent Road, Rose Bay, New South Wales 2029, Jumat, 17 Desember 2021 pukul 18.30 – 19.30 AEST. Rose Bay masih berada dalam wilayah Kota Sydney bagian Utara.

 Saat menerima undangan tersebut, tertulis nama saya selaku Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales. Awalnya saya agak ragu untuk menghadiri acara ini. Selain karena undangan hanya untuk satu orang, domisili saya berada di Wollongong ke Wisma Indonesia, cukup jauh. Bukan main, jaraknya lebih dari 100 km. Saya sudah perkirakan, perjalanan ke sana kalau sore hari memakan waktu dua hingga dua setengah jam. Jadi untuk menghadirinya perlu menyiapkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Jika menggunakan kenderaan umum, tentu waktunya akan lebih lama lagi.

 Saya coba hubungi pihak panitia, apakah undangan berlaku untuk satu orang atau bisa ada yang menemani. Saya ingin mengajak istri agar ikut bersama.  Jawabannya adalah  undangan berlaku untuk satu orang saja. Saya coba koordinasikan ke teman-teman pengurus PRIM lainnya, apakah ada yang bersedia mewakili saya. Jawabannya mereka adalah sebaiknya ketua langsung, karena ini acara pertama dengan Dubes yang baru. Apalagi, selama ini saya selaku Ketua PRIM, belum pernah menghadiri langsung undangan dari KJRI, selalu diwakili oleh teman-teman yang berdomisili di Sydney. Baiklah, saya pun berketetapan hati untuk menghadirinya.

 Hal ini saya sampaikan ke istri, agar dia ikut mendampingi sampai ke Sydney  saja, artinya tidak ikut dalam acara. Di sana nanti, rencananya dia akan antar ke rumah teman warga KKSS, sambil menunggu saya mengikuti silaturahmi. Ternyata sehari kemudian, dia juga menerima undangan dari pihak KJRI untuk acara yang sama. Dalam undangan yang dia terima, namanya disebut mewakili Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Ranting University of Wollongong. Meskipun dia bukan lagi ketua, sudah berganti beberapa waktu lalu. Sedangkan ketua yang ada sekarang kebetulan sedang pulang kampung ke tanah air. Jadilah kami berangkat bersama. Mungkin satu-satunya pasangan suami-isteri yang diundang secara resmi. Satu mewakili Ketua Muhammadiyah, satu atas nama PPIA.

 Kurang sedikit pukul empat sore, Jumat, 17 Desember 2021, kami berdua berangkat dari Wollongong menuju Wisma Indonesia. Jalanan menuju Sydney sekitar 80 kilometer di antaranya adalah melalui jalanan bebas hambatan. Sekitar dua puluh kilometer pertama, kami menaiki wilayah pegunungan yang luas dan menanjak. Bahkan sekitar tiga kilometer pertama adalah penanjakan ke arah perbukitan yang cukup terjal dan berliku. Pada sebagian kawasan, kiri-kanan adalah hutan lebat seluas mata memandang. Beberapa tanda lalu lintas terdapat gambar hewan rusa. Artinya, hati-hati di kawasan itu karena biasa rusa sewaktu-waktu melintas. Di Australia, hewan rusa bukanlah hewan yang dilindungi. Bahkan boleh diburu untuk keperluan pribadi. Hanya saja kalau rusa melintas raya, bisa membahayakan pengguna jalan.

 Sepanjang perjalanan hampir tidak ada lampu merah atau persimpangan, kecuali ada satu-dua di daerah-daerah tertentu. Jalanan mulus sepanjang itu, mirip jalan tol, akan tetapi tidak membayar sama sekali. Luar biasa memang Australia, jalanan mulus, panjang dan bebas hambatan, dilalui secara gratis. Pemerintah tidak mengambil bayaran dari kendaraan yang lewat. Nanti setelah memasuki kawasan Kota Sydney, barulah akan mendapati jalan tol berbayar. Sebelum memasuki jalan tol, setiap kendraan mestilah mendaftarkan mobilnya. Jika tidak, maka akan dikenakan denda yang cukup besar.  Atau bisa juga dengan cara membeli kartu tol secara online.

 Seterusnya jalanan di pusat kota yang mulus. Termasuk terowongan sepanjang 10 kilometer di bawah landasan kapal terbang di kawasan Sydney Airport. Beberapa kali kami keluar masuk terowongan dalam kota. Ada terowongan yang panjang ada juga yang pendek. Karena bersamaan dengan akhir pekan, beberapa kali kami terjebak macet beberapa kawasan. Sebenarnya bukan macet, hanya mengalami perlambatan karena menemui pertemuan jalur. di Australia, jika sempat terjadi kemacetan arus lalu lintas, bisa menjadi isu nasional. Oleh karena itu, pemerintah lokal senantiasa berusaha menjaga agar tidak terjadi kemacetan lalu lintas.

 Ini adalah kedua kalinya saya memasuki kawasan pusat kota Sydney dengan menyetir sendiri. Minggu lalu saya bersama anak-anak untuk pertama kalinya masuk ke dalam kota, mengunjungi kawasan Opera House. Meskipun demikian, saya masih terasa asing dan sedikit ada kekhawatiran karena belum terbiasa, tidak menguasai medan dengan cermat. Sebenarnya mengemudi di sini, sangat baik. Karena aturan lalu lintas cukup jelas. Dan hampir, sekali lagi saya katakan, hampir tidak ada pelanggaran lalu lintas yang kami temui. Bahkan selama dua jam menyetir, hanya satu dua kali kami mendengar suara klakson mobil. Jadi sepanjang mematuhi aturan lalu lintas, cermat dan hati-hati, tidak perlu ada kekhwatiran lagi.


 Hanya memang jika kita memasuki suatu kawasan yang tidak terbiasa, ada kalanya lupa atau keliru dalam menafsirkan aturan lalu lintas. Seperti aturan kecepatan di daerah tertentu, juga cara menyelip kendraan di depan dan bagaimana cara untuk pindah jalur. Jika tidak terbiasa, bisa fatal akibatnya. Saya pernah beberapa kali harus menempuh perjalanan yang lebih jauh, karena terlambat atau lupa pindah jalur. Jika sudah demikian, tidak boleh mundur atau banting stir, perjalanan harus diteruskan untuk mencari jalur arternatif, bahkan lebih jauh dari rute yang seharusnya. 

 Setelah menyetir hampir dua jam dan jarak ke Wisma Indonesia tidak begitu jauh lagi, saya minta kepada istri untuk istirahat sejenak. Untuk memarkir mobil juga, bukanlah persoalan mudah. Harus memperhatikan dengan cermat rambu-rambu yang ada. Parkirlah di tempat yang disediakan, bukan di trotoar ataupun di pinggir jalan begitu saja. Kami sempat mampir di Pantai Rose Bay. Ini adalah kawasan yang elit, kawasan Utara pusat Kota Sydney.

 Di sepanjang pantai tampak ribuan perahu atau kapal motor berjajar atau sedang lampar jangkar. Di pantai ini pun terdapat pesawat udara ukuran kecil. Kapal terbang ini, berfungsi dua, bisa di laut dan mampu terbang ke udara. Jadi pantai ini, selain sebagai sandaran kapal motor, juga berfungsi sebagai landasan kapal terbang. Ada tiga  kejadian aneh saat kami duduk di pantai sambil menikmati kopi susu yang sengaja kami bawa dari rumah.

 Pertama, adalah seorang wanita muda tampak berusaha menenangkan anjingnya yang sedang mogok. Anjing itu kelihatan sedang tidak enak perasaan. Tidak mau berjalan. Setiap diajak oleh tuannya, dia tidur melentangkan badan di jalanan. Hal ini berlangsung beberapa saat, hingga si tuan berhasil membujuk anjingnya.

 Kedua, ada roti yang cukup enak, mirip donat, disimpan  dalam dos, dan diletakkan di pinggir tembok. Ada dua dos roti tersebut. Satu dos masih penuh, satu lagi sudah berkurang. Kami tidak tahu siapa yang menyimpan roti itu. Biasanya, sengaja disimpan oleh seseorang atau dermawan untuk siapa saja yang mau ambil. Apakah kami ikut mengambil roti tersebut? Tentu tidak, sebab kami tidak meyakini kehalalnnya.

 Ketiga, saat saya memasuki sebuah toilet mewah di kawasan taman bunga dekat pantai, ada dua orang bule yang menyapa saya. Menyapa dengan senyum dan gestur tubuh yang sangat bersahabat. Saya membalas sapa mereka, tersenyum dan memberi hormat kepada keduanya. Keduanya mengenal saya, karena saya memakai peci hitam di kepala. Dari peci tersebut, katanya saya berasal dari Indonesia. Ya, memang benar. Saya selalu berusaha untuk memakai peci hitam kemana-mana. Bukan untuk apa-apa, paling tidak melindungi kepala dari terik matahari atau gerimis. Lebih dari itu adalah untuk mengenalkan budaya Nusantara yang cukup baik sebagai karakteristik leluhur kita sejak dahulu kala.

 Lalu perjalanan ke Wisma Indonesia kami lanjutkan, tinggal lima menit lagi. Kurang dari pukul 18.30 malam hari yang masih terang benderang, kami sudah tiba di lokasi. Acara diadakan di ruang belakang wisma. Memang sudah disiapkan ada ruangan pertemuan di sini. Saya katakan terang benderang, karena walaupun sebenarnya sudah terhitung malam hari, tetapi matahari masih tampak bersinar. Kebetulan sekarang ini di Sydney atau New South Wales, waktu siang lebih panjang daripada malam hari. Untuk salat Magrib saja, biasanya adalah sekitar pukul lima tiga puluh, kadang pula jam enam sore. Sekarang Magrib masuk pada pukul 20.08 atau lewat jam delapan malam, dan Isya hampir pukul sepuluh malam.

 Begitu memasuki ruang acara, beberapa tamu undangan telah duduk pada kursi yang telah disedikan. Saya mendekat kepada dua orang tamu, yang merupakan utusan dari salah satu organisasi Islam dan kelompok pengajian. Melihat saya datang memakai peci hitam, dia pun segera mengeluarkan peci hitam dari tasnya. Sebelumnya, peci itu dia tidak pakai. Katanya, sudah ada orang lain yang memakai peci hitam, maka dia pun memakainya.

 Tak lama setelah kami tiba, acara pun segera dimulai. Konjen KJRI Sydney, Vedi Kurnia Buana, tampil mengarahkan acara dan menjelaskan tujuan silaturahmi ini. Selanjutnya memberikan sambutan oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Dr. Siswo Pramono. Beliau belum lama menjabat sebagai Duta Besar, baru sekitar dua bulan. Dan inilah untuk pertama kalinya beliau menghadiri silaturahmi dengan masyarakat Indonesia di Sydney.

 Dalam sambutannya, Dubes Siswo Pramono yang lahir di Yogyakarta dan besar di Jawa Timur ini, menjelaskan beberapa tugasnya sebagai Duta Besar. Menurutnya, Presiden Joko Widodo memberikan mandat besar kepadanya untuk berusaha meningkatkan nilai perdagangan Indonesia di Australia. Dimana Indonesia dengan Australia telah menandatangani perjanjian yang disebut sebagai  IA-CEPA atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement. Diketahui dari berbagai literatur bahwa perjanjian ini merupakan  bentuk kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia yang menawarkan peluang dua arah dalam perdagangan barang dan jasa, penanaman modal, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia.

 Acara silaturahmi ditutup dengan pembacaan doa oleh Ustaz Dr. H. Amin Hady, Lc., yang merupakan ulama Indonesia yang sudah lama bermukim di Australia. Dia juga dikenal sebagai anggota ANIC (Australian National Imams Council) atau semacam Majelis Ulama Australia. Selain itu, alumni Universitas Al Azhar Kairo ini, pun memegang peranan  sebagai Imam Masjid Zetland Sydney. Masjid yang pernah saya kunjungi minggu lalu. Setelah pembacaan doa dilanjutkan dengan makan malam dan pengambilan gambar bersama Dubes yang baru.

 Dalam acara ini hadir sejumlah perwakilan organisasi sosial kemasyarakat Indonesia yang ada di New South Wales, juga para penguasa Indonesia serta tokoh agama dan tokoh Diaspora Indonesia. Beberapa perwakilan organisasi yang sempat saya catat antara lain adalah Nahlatul Ulama, CIDE, Ashabul Kahfi, Iqra, MES, PPI Dunia, PPIA Sydney, dan Muhammadiyah tentunya. Tampak pula Ustaz Halidin Yacob dan sahabat saya, Firdaus Muis, Ketua KKSS Sydney.

 Setelah selesai acara, saya dan istri  akan kembali ke Wollongong. Kami menyempatkan diri untuk mampir salat Magrib dan jamak qasar Isya di Masjid Redfern, di kawasan Cleveland St, Surry Hills. Untuk menuju masjid ini, pun penuh perjuangan, bukanlah persoalan mudah. Selain baru pertama kalinya akan menuju ke sini, lokasinya pun kami tidak tahu persis keadaannya bagaimana. Hanya menggunakan aplikasi googlemaps sebagai penunjuk jalan. Perlu waktu sekitar dua puluh menit dari Wisma Indonesia ke masjid ini. Itupun kami sempat mutar-mutar dulu, karena sempat terlewat. Juga melewati sejumlah perumahan dan jalan-jalan kecil. Sebab, masjid ini tidak begitu kentara sebagai sebuah masjid.  Justru tampak berjajar sebagai bangunan tua seperti rumah toko, yang bersambungan dengan bangunan lainnya.

 Lebih dari itu, untuk memarkir mobil, tidak bisa langsung di depan masjid, karena terdapat tanda larang. Kami harus parkir sejauh hampir setengah kilometer ke arah utara, namun masih di jalan yang sama. Suasana jalanan cukup ramai toko dan café yang masih beroperasi. Persis di seberang masjid, tampak terlihat ada satu tempat hiburan malam, cahayanya gemerlapan. Toko lainnya adalah restoran Turky. Berada di jalan besar di kawasan yang cukup ramai.

 Tiba di masjid, orang lain sudah selesai salat berjamaah. Saya sempat bertanya tempat wudu perempuan kepada jamaah seorang Muslim keturunan India. Rupanya tempat wudu berada di bagian belakang, tapi terkunci dari luar. Akhirnya istri masuk ke ruang wudu lelaki lalu pindah ke ruangan wanita. Ruang salat wanita berada di lantai II.

 Ada yang agak unik di masjid ini. Dari penampilan dan ornamen-ornamen yang ada, juga tanda-tanda serta buku-buku yang disimpan dalam lemari, jamaah masjid ini sebagian besar adalah Muslim keturunan Turki dan Lebanon. Meskipun demikian, jadwal salat yang terpasang di dinding dekat ruang imam, adalah berbahasa Indonesia. Jadwal salat ini biasa saya lihat di berbagai masjid di Indonesia, termasuk masjid-masjid yang ada di Makassar. Meskipun jadwal salatnya sudah tua, namun masih jelas kelihatan bahwa ini adalah jadwal sepanjang masa. Pada bagian bawah terdapat tulisan konversi waktu ke berbagai kota, termasuk Sydney.

 Hingga selesai melaksanakan salat, saya belum mendapatkan informasi mengapa jadwal salat yang terpasang adalah berbahasa Indonesia. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas malam, kami pun bergegas pulang ke Wollongong, menyusuri jalan-jalan utama di Kota Sydney yang penuh cahaya dan memandangi kilatan lampu dari kapal motor di sepanjang pantai, hingga memasuki jalanan di luar kota. Dan alhamdulillah, tiba di rumah dengan selamat kurang sedikit pukul sebelas malam. ***

Wollongong, 18 Desember 2021

Haidir Fitra Siagian

Ketua Pimpinan Ranting Istiwewa Muhammadiyah New South Wales, Australia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Post a Comment

0 Comments

close