About Me

Pro Kontra Sertifikasi Ulama


Selasa, 25 September 2012 | 22:24:55 WITA | 6 HITS
Pro Kontra Sertifikasi Ulama
http://www.fajar.co.id/img_berita/337Haidir%20Fitra%20Siagian.jpgDok/Fajar
Haidir Fitra Siagian
Oleh: Haidir Fitra Siagian (Dosen UIN Alauddin Makassar/Kandidat Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia)

DALAM kajian komunikasi politik, ulama merupakan bagian dari opinion leader atau pemuka pendapat, yakni individu yang dapat memberikan pengaruh kepada khalayak karena memiliki kelebihan berbanding dari individu lain. Ulama memiliki ilmu agama yang luas dan dalam untuk diajarkan kepada umat.

Ulama juga dekat dengan umat, karena itu, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari umat, sehingga sangat dihormati dan mendapat tempat istimewa di hati umat. Inilah yang menyebabkan ulama disebut juga sebagai pemuka pendapat. Menurut Valente dan Patchareeya (2004) pemuka pendapat ialah orang-orang yang mempengaruhi pendapat, sikap, keyakinan, motivasi, dan perilaku orang lain.

Ulama dari segi bahasa adalah kata jamak (ja’mu) bagi alim yang diambil dari kata kerja (fi’l) bahasa Arab, alima ya’lamu, artinya tahu atau mengetahui. Alim ialah orang yang tahu, dan ulama ialah orang-orang yang tahu. Secara terminologi ulama adalah orang yang mampu menghasilkan ilmunya kepada khasyyah, yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, dan mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan umat manusia.

Bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, utamanya di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang memiliki pesantren, santri dan basis massa. Sebagian lainnya, memandang ulama sebagai pemimpin agama Islam dari orang-orang tertentu, yang memiki ilmu agama yang luas, sudah melaksanakan ibadah haji dan diberi gelar kiyai, pemberi ceramah agama pada saat-saat ritual keagamaan, memimpin doa untuk keselamatan dalam kegiatan kebudayaan, dan tempat meminta obat atau doa bagi kesembuhan orang yang sakit. Ulama dipanggil dengan sebutan “kiyai” atau “ustadz”. 

Menurut Rosyidin (2004), ulama merupakan orang-orang yang ahli atau sarjana keagamaan Islam, baik dari kalangan yang mempunyai atau tidak mempunyai pesantren atau basis massa, maupun dari kalangan akademisi.

Dalam kenyataannya di masyarakat, imam masjid di pedesaan yang selama ini menjadi rujukan bagi masyarakat untuk bertanya tentang masalah agama, juga dipanggil sebagai ulama, walaupun mungkin dia tidak banyak menguasai masalah agama, bukan alumni pesantren atau bukan sarjana agama.

Jadi, bagi penulis, seorang muslim, termasuk kalangan perempuan, yang telah memiliki ilmu agama yang sudah memadai, sudah melaksanakan ajaran Islam dengan beribadah secara tertib, kemudian  secara rutin berceramah mengajarkan ajaran Islam kepada umat dalam berbagai model dakwah, atau telah mewakafkan dirinya untuk menjadi pelanjut risalah Rasulullah, itulah yang disebut sebagai ulama.

Yayan Nurbayan (1999) menyebut ada sepuluh karakteristik yang mesti dimiliki seorang ulama, yakni: mengamalkan ilmunya, bersifat wara’, tidak ambisi terhadap harta dan kekuasaan, ikhlas dalam beramal dan tidak bersifat dengki, bersikap amanah dalam menyampaikan ilmu, bersikap istiqamah (lurus), bersikap dinamis, bersikap terbuka dan demokratis, membimbing umat menuju kesempurnaan, serta jujur dan berfatwa berdasarkan ilmu.

Bersifat wara’, maksudnya kemampuan seorang ulama untuk selalu menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada perbuatan-perbuatan tercela. Contoh sederhana, seorang ulama tidak boleh makan berdiri di pinggir jalan di mana banyak orang lalu-lalang, sebab hal itu boleh jadi menimbulkan persepsi negatif bagi orang yang melihatnya.

Sebagai pemuka pendapat, ulama juga berfungsi sebagai pemimpin informal dalam masyarakat. Walaupun sifatnya informal, akan tetapi bagi umat Islam, ulama merupakan pemimpin yang sesungguhnya. Dalam beberapa aspek kehidupan, ketaatan kepada ulama lebih penting daripada kepatuhan kepada pemerintah.

Sebab umat, memandang bahwa nasihat atau apapun yang dikatakan oleh ulama adalah merupakan suatu kebenaran karena didasarkan kepada syariat agama, apabila dilaksanakan, itu adalah bagian dari ibadah kepada Allah swt dan sebaliknya bila diabaikan dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap ajaran agama. Bukan hanya itu, pengabaikan terhadap nasihat ulama diyakini sebagai bentuk pengingkaran terhadap norma-norma budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.

Dalam satu bulan terakhir ini, ada wacana untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama. Ini antara lain disebabkan adanya dugaan keterlibatan sejumlah ulama yang mengajarkan semangat jihad yang didasarkan kepada nash-nash Alquran dan hadits, sehingga melahirkan para teroris, terutama dari aktivis pengajian dan santri pondok pesantren tertentu.

Walaupun wacana sertifikasi ini sudah dibantah, akan tetapi sudah terlanjur menjadi isu publik. Banyak pihak yang melakukan penentangan terhadap wacana dengan alasan bahwa, ulama diangkat oleh umat, negara tidak boleh mengkooptasi peran ulama, siapa yang akan mensertifikasi, dan seterusnya. Usulan sertifikasi ulama juga dipandang sebagai bentuk penghinaan kepada ulama.

Dari satu aspek, alasan penolakan tersebut memang ada benarnya, karena ulama itu adalah milik umat yang tidak boleh dibatasi kewenangannya,  oleh siapapun termasuk oleh negara atau partai politik sebagaimana pernah terjadi pada masa Orde Baru.

Dalam kenyataanya di negara ini, cukup banyak perkara-perkara yang bersumber dari para ulama, bukan untuk menenangkan umat, tapi justru dapat membingungkan. Misalnya, ada ulama yang memfatwatkan bahwa penganut aliran Syiah itu adalah sesat, sehingga fatwa ini dijadikan antara lain sebagai legitimasi oleh kelompok tertentu untuk menyerangkan kelompok Syiah. Tapi ada pula ulama yang menyesalkan fatwa tersebut, bahkan mengatakan bahwa Syiah itu tidak sesat. Ada juga ulama yang membolehkan pernikahan tanpa saksi, padahal ini jelas-jelas tidak ada dasarnya dalam Islam.

Ada ulama yang menjadi anggota tim sukses calon kepala daerah, mengutip ayat-ayat suci Alquran dan hadits untuk menjelaskan keberpihakannya kepada sang kandidat dan mengajak umat untuk memilihnya. Walau menjadi tim sukses bukanlah sesuatu perkara yang salah, bahkan pada satu aspek akan boleh memberi manfaat kepada umat.

Akan tetapi jika dalam pelaksanaan kampenye sang ulama tidak jujur dalam melakukan penilaian, atau bahkan ikut mencari ayat-ayat lain untuk menyerang lawan politik, tentu hal ini kurang bijaksana, karena dapat membingungkan umat.

Untuk menghindari adanya kebingungan umat terhadap  nasihat-fatwa para ulama terutama persoalan besar yang berkaitan dengan umat Islam secara keseluruhan, dan untuk menyatukan sikap umat Islam terhadap satu masalah yang sangat penting, makanya perlu ada pengaturan indikator ulama yang mana yang boleh mengeluarkan fatwa, kecuali yang berkaitan dengan masalah khilafiah.

Di Malaysia misalnya, tidak semua ulama boleh mengeluarkan fatwa terhadap suatu perkara yang dipandang menyangkut kepentingan umat Islam di negeri itu. Hanya ulama yang memiliki sertifikat atau lisensi dari kerajaan yang boleh mengeluarkan fatwa-fatwa penting. Mungkin ada yang menganggap lisensi itu tidak baik, tapi kenyataannya bagi mereka sudah memberi manfaat untuk persatuan dan kerukunan umat Islam.


Sumber:
http://www.fajar.co.id/read-20120924222455-pro-kontra-sertifikasi-ulama%27

Post a Comment

0 Comments

close