Delapan hari sudah
saya berada di Adelaide, Australia Selatan.
Ada perbedaan mencolok yang saya rasakan di sini, khususnya dalam
pelaksanaan ibadah shalat. Ada pula kerinduan untuk bertemu dengan sesama
muslim untuk shalat berjamaah. Walaupun di rumah kami senantiasa berjamah
dengan anggota keluarga, tetap saja terasa kurang afdal, karena tidak di masjid
atau surau sebagaimana lazimnya di tanah air
ataupun ketika saya studi di Kuala Lumpur, Malaysia. Hari Jum’at kemarin, saya
sengaja minta diantar oleh istri untuk ikut shalat jum’at di mushalla yang
terdapat di lantai enam Union Building, the Unversity of Adelaide. Mushalla ini
berukuran kurang lebih lima kali sepuluh meter, memuat sekitar tiga ratusan
orang jamaah yang meluber hingga ke koridor luar.
Satu jam
sebelumnya kami sudah berangkat, diperkirakan akan sampai sebelum waktunya.
Ternyata kami telat juga, karena harus menunggu bus sekitar lima belas menit,
dan jarak antara halte dengan kampus UoA cukup jauh jalan kaki, apalagi harus
menggendong Athirah, anakku yang ketiga. Waktu jum’at dimulai pukul 01.25 pm
ACT (pukul 10.00 WIB), saya datang saat azdan
sudah berkumandang. Setelah shalat sunnah dua rakaat, saya agak kaget
melihat khatib di depan, karena tidak seperti di tanah air, khatib ini tampil
apa adanya. Pakaiannya kaos, celana jeans dan tanpa kopiah atau sorban. Sang
khatib adalah Brother Hani, seorang pelajar program doktor dari Palestina,
dia memakai jenggot yang sangat rimbun. Khutbah disampaikan dalam bahasa
Inggris. Dalam khutbahnya, antara lain khatib mengingatkan jamaah untuk
senantiasa melaksanakan ibadah di tengah kesibukan studi dan aktivitas
kesehariannya.
Sebagian besar
jama’ah adalah pelajar asal Timur Tengah yang sementara melanjutkan studi di the
University of Adelaide. Sebagian lainnya merupakan pelajar-pelajar dari
Malaysia. Awalnya, saya tidak menjumpai satupun orang Indonesia, namun setelah
keluar mushalla, baru saya berjumpa dengan pelajar Indonesia yang tergabung
dalam pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Ketika khutbah dan shalat jum’at berlangsung, di lantai bagian bawah,
Uni Bar (kantin yang menyediakan minuman kera) sedang ramai. Pada saat yang
sama, di bagian luar, sekitar dua ratus meter di taman, tampak sekelompok
pelajar yang sedang mengadakan konser musik. Keadaan seperti ini adalah hal
lumrah terjadi. Musik tadi tidak sampai mengganggu aktivitas shalat jum’at,
demikian pula suara hiruk pikuk dari bar.
Pada saat-saat tertentu, apabila
jumlah jamaah diperkirakan akan sangat banyak, biasanya pengurus mushollah meminjam
Bonython Hall, ruangan yang kadang pula bertindak sebagai area kebaktian
Kristiani yang terdapat di dekat pintu gerbang kampus. Ini sudah sering
terjadi, dan pihak gereja tidak keberatan meminjamkannya. Namun karena hari
ini, pihak gereja memiliki acara keagamaan, sehingga tidak bisa dipinjamkan.
Jumlah pelajar yang beragama Islam
di University of Adelaide diperkirakan mencapai lima ratusan orang, dari
berbagai negara, termasuk muallaf dari warganegara Australia sendiri maupun
muallaf dari Eropa. Pelajar Islam ini tergabung dalam satu wadah organisasi
yakni ISSUA (Islamic Student Society of the University of Adelaide),
semacam Mahasiswa Pencinta Mushalla (MPM) atau organisasi kerohaniaan Islam.
Organisasi inilah yang mengatur acara-acara keagamaan Islam, termasuk
pengurusan mushalla, jadwal khatib jum’at, kegiatan ramadhan dan perayaan hari
besar Islam.
Secara keseluruhan jumlah penduduk
Adelaide yang beragama Islam diperkirakan mencapai tujuh ribu orang. Ada
sepuluh masjid yang tersebar di beberapa tempat. Sayangnya jika harus pergi ke
masjid setiap lima kali sehari dari rumah kami harus mengeluarkan kocek lebih
banyak, karena mesti naik bus. Satu kali naik bus ongkosnya sebesar $1.7 atau
sekitar tujuh belas ribu rupiah, jauh dekat harganya sama, kecuali pada
waktu-waktu sibuk ongkosnya bisa lebih mahal.***
Haidir Fitra Siagian, melaporkan dari kampus the University of
Adelaide, Australia Selatan.
0 Comments