Bahasa
Dakwah dalam Korupsi
Oleh
: Haidir Fitra Siagian
(Dosen
UIN Alauddin Makassar/Kandidat Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia)
Dari segi istilah, dakwah adalah
kegiatan yang dilakukan untuk menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu orang
lain untuk melakukan kegiatan yang diridhai oleh Allah SWT. Pengertian yang
lebih populer adalah mengajak umat untuk melaksanakan ajaran agama dan
menghindari apa yang dilarang oleh agama. Dakwah pada umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang lebih paham agama dan tingkat pengamalan agamanya yang
dianggap sudah memadai. Mereka biasanya disebut atau dipanggil sebagai ustadz,
muballigh atau ulama. Dakwah dapat dilakukan secara pribadi maupun melalui
organisasi. Sesungguhnya dalam ajaran Islam, tugas berdakwah bukan hanya domain
para ustadz (komunikator), namun semua umatnya haruslah mengemban amanah dakwah;
termasuk para elit politik maupun pengusaha, baik kepada orang lain (komunikan)
dan terutama kepada dirinya sendiri.
Dakwah
sewajarnya disampaikan dengan cara yang terhormat, bijaksana dan beradab. Ini
penting diperhatikan agar tujuan dakwah itu dapat tercapai sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Sulit
memperoleh hasil yang sesungguhnya, apabila dalam berdakwah dilaksanakan dengan
cara yang tidak terhormat. Misalnya dengan mengungkapkan pernyataan-pernyataan
yang hanya ingin membuat jamaah tertawa padahal sesungguhnya tidak relevan
dengan temanya, kurang mengena dan tidak mendidik umat. Materi dakwah seperti
ini sering disampaikan oleh para “ustadz selebritis”, sebagaimana dikatakan
oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia, K.H. Ma’ruf Amin; “Dakwah mereka kurang
mengena dan mendidik masyarakat. Misalnya, gayanya, tema dakwah yang
disampaikannya juga ada yang tidak ada isinya alias hanya becanda saja itu
tidak akan memperbaiki akhlak masyarakat, penampilan dan kata-kata yang dipakai
juga terlalu fulgar,’’ (Merdeka.com/3/8/2013).
Metode berdakwah yang paling terhormat dapat mestilah
memperhatikan beberapa prinsip dalam
menyampaikan pesan. Pertama, orang yang
berdakwah adalah mereka yang bisa menjadi teladan. Artinya mereka sudah
mengamalkan apa yang dia dakwahkan itu. Kedua, cara yang digunakan dalam
berdakwah seharusnya memperhatikan objek dakwahnya, menyesuaikan dengan
keadaan, situasi, dan aspek sosial di lingkungan sekitarnya. Ketiga, materi
dakwah sepatutnya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan sesuai dengan
substansi dakwah yang disampaikan.
Hubungan Dakwah dengan Politik
Apakah ada hubungan dakwah dengan
politik? Tentu ada. Jika politik didefinisikan sebagai upaya untuk mengatur
negara dan warganegara dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya, maka
politik itu sesungguhnya adalah dakwah. Tujuan dakwah pada hakikatnya juga
sebagai upaya yang dilakukan untuk mencapai kesejateraan baik di dunia maupun
di akhirat. Politik mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dakwah mengatur
umat agar dapat hidup sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Jadi ada hubungan
yang sangat penting antara dakwah dengan politik.
Kegiatan politik merupakan jalan
konstitusional bagi seorang individu untuk terlibat dalam mengatur urusan
negara dan warganegara. Jika kegiatan dakwah juga merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk kepentingan negara dan warganegara, maka politik dapat menjadi
jalan untuk memudahkan atau memfasilitasi kegiatan dakwah. Oleh karena itu,
individu-individu yang selama ini berkiprah dalam kegitan dakwah seperti ulama, ustadz, dan muballigh, mestilah
memahami kegiatan politik, mereka tidak boleh apatis apalagi kalau harus alergi
dengan politik, bahkan harus ada yang terjun ke dunia politik. Sebab tanpa
pemahaman politik yang baik, boleh jadi kegiatan dakwah dipolitisasi untuk tujuan
politik tertentu. Misalnya dengan mengadakan safari ramadhan atau safari
dakwah. Kelihatannya memang kegiatan dakwah, namun tujuan utama yang diinginkan
pelaksananya adalah untuk meraih suara dalam pemilihan umum.
Dalam konteks yang lebih jauh, keterlibatan para
ustadz dalam kegiatan politik; mendirikan partai politik dan menjadi bagian
dari penentu kebijakan politik di negara ini dengan mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif, sesungguhnya merupakan sikap yang baik dan perlu mendapat
dukungan. Sebab para ustadz yang melibatkan diri dalam aktivitas politik ini,
menyadari bahwa kegiatan dakwah harus mendapat dukungan melalui kebijakan politik. Politik diharapkan dapat
memfasilitasi pengembangan dakwah yang dilaksanakan secara konstitusional. Pada
masa orde baru misalnya, foto perempuan yang memakai jilbab tidak dibenarkan
dipakai dalam ijazah atau kartu tanda penduduk. Seiring perkembangan zaman, dan
dengan masukkan kalangan cendekiawan muslim, ustadz dan ulama, ke dalam ranah
politik, kebijakan yang melarang tersebut dapat dihilangkan.
Ustadz dalam Pergumulan Politik
Ada satu pertanyaan, mengapa dakwah melalui
aktivitas politik yang selama sudah dilaksanakan oleh para ustadz belum berhasil
secara maksimal? Dalam pandangan penulis, tidak berhasilnya dakwah di negara
ini, sebagian adalah karena dinamika politik yang tidak mendukung. Maksudnya
adalah dalam kondisi negara kita seperti ini, aktivitas politik mana yang sudah
berhasil secara maksimal? Jadi belum berhasilnya aktivitas dakwah melalui jalur
politik adalah sejalan dengan belum berhasilnya tujuan politik maupun demokrasi
yang sesungguhnya.
Ada baiknya bila kita diskusikan secara khusus
mengapa keterlibatan para ustadz yang sudah bergumul dalam dunia politik, tidak
mampu mengemban amanah dakwah secara komprehensif. Lebih dari itu, para ustadz
tersebut yang sesungguhnya diharapkan dapat memainkan peranan konstitusionalnya
untuk memfasilitasi dan mempermudah kegiatan dakwah, justru terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang tidak terpuji.
Dalam analisa penulis, setidaknya ada tiga argumentasi
yang menyebabkan perkara ini bisa berlaku. Pertama, secara keseluruhan para
elit politik di negara ini, masih menjadikan aktivitas politik itu sebagai alat
untuk memperoleh harta dan kekuasaan, bukan untuk mengabdikan diri demi negara
sebagaimana tujuan mulia dari politik itu. Para ustadz yang sudah masuk dalam
jajaran elit politik pun tidak bisa menghindari ini dan justru terjebak dalam
pergumulan politik yang kotor. Kedua, para
ustadz yang masuk dalam percaturan politik tidak memiliki modal yang memadai,
baik modal sosial maupun modal pengetahuan, konsep dan kepercayaan. Dampaknya
adalah ketika masuk dalam arena politik, tidak mampu mengimplementasikan
nilai-nilai dakwah yang sesungguhnya amat penting untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, sejak awal niat untuk masuk dunia politik
yang dilakonkan para ustadz sudah tidak benar. Boleh jadi memang mereka itu
bukanlah ustadz yang sesungguhnya, melainkan berkedok sebagai ustadz
sebagaimana diperankan oleh para selebritis. Dalam kondisi seperti ini,
sebagaimana disindir oleh Pierce (2006) mereka
menjadi bagian dari orang yang tidak bisa membawa Tuhan ke dalam pekerjaanya.
Ironi dan sangat menyedihkan memang ketika
mendengarkan adanya sejumlah ustadz yang sudah masuk dalam jajaran elit politik
nasional saat ini tersandung dalam kasus korupsi. Semakin menyedikan ketika
dalam persidangan diketahui bahwa dalam melaksanakan aktivitas korupsi yang
dituduhkan kepadanya justeru menggunakan bahasa-bahasa dakwah; silaturrahim, afwan, antum, insya Allah,
dan seterusnya. Bahasa yang biasanya digunakan untuk mengajak umat meningkatkan
iman dan taqwanya, justru dipakai sebagai simbol untuk bersekongkol melakukan
tindakan yang membawanya ke posisi yang paling rendah. Tobatlah!***
Haidir
Fitra Siagian
Pusat
Pengajian Media dan Komunikasi
Fakulti
Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti
Kebangsaan Malasyia
Bangi,
Selangor D.E.
Email:
hfitrasiagian@gmail.com
0 Comments