About Me

Bendera Jerman, Ini kan Australia?



Part 2: Selamat pagi di sore hari
Ternyata Hahndorf merupakan perkampungan keturunan Jerman. Tempat ini dirintis sekitar tahun 1838 oleh orang-orang Jerman. Nama perkampungan ini pernah diganti oleh pemerintah Australia masa itu lantaran pengaruh perang dunia pertama, walaupun pada akhirnya, sekitar 1930-an kembali diberi nama Hahndorf. Nama ini bersumber dari nama komandan tentara Jerman yang mempelopori keberadaan perkampungan itu di masa silam. Saya lihat bendera Jerman yang dipasang, selalu berdamping dengan bendera Australia. Tidak jelas mengapa mesti demikian. Mungkin saja, supaya jangan sampai terkesan ada negara dalam negara.
Dalam menelusuri jalanan, kami sempat foto-foto di taman bunga. Terdapat banyak jenis bunga di taman ini. Ada pula prasasti yang diperuntukkan bagi para pionir Jerman di Hahndorf. Kami sempat foto di bawah sebuah kubah beratapkan jalinan daun-daun berwarna merah hati. Sementara anak-anak foto di tanah yang dipenuhi guguran daun. Ketika saya sedang foto anak-anak, seorang anak muda dari Cina, menawarkan diri memfoto kami bersama keluarga. Ramah sekali hati pemuda Cina ini, dapat memahami keinginan kami tanpa diminta. Sayangnya dia tidak paham bahasa bahasa Inggris. Dia menyahuti sapaan kami dengan bahsa Mandarin.
Ketika saya menunggu anak-anak yang singgah di toilet, di bawah sinaran matahari sore, seorang warga Australia setengah tua menyapa saya dalam bahasa Indonesia, “Selamat pagi”? How are you?”. Saya jawab, “Selamat sore, fine, thank you”. Dia pun terus berlalu.
Satu budaya orang di sini adalah bertegur itu cukup sampai di situ, tak perlu basa-basi bicara ke sana ke mari. Saya menduga orang tersebut pernah ke Indonesia dan mempelajari beberapa bahasa ucapan. Mungkin yang dia ingat hanya “Selamat pagi”, jadi walaupun sudah sore, masih dia ucapkan selamat pagi.  Tak lama setelah itu, seorang nenek-nenek melambai tangan kepada saya. Nenek itu berperawakan seperti orang Indonesia dan agak hitam sedikit. Saya menduga dia itu orang Indonesia. Tapi kami tak sempat saling bersapa, karena dia berada di seberang jalan sambil berjalan dengan seorang kakek tua juga, seorang Eropa.
Rupanya tadi dari kota kami menaiki bus yang sama. Jangan heran, kalau diperbandingkan sepanjang hari ini di Hahndorf, jumlah anak muda dan anak-anak yang berkunjung, hampir sama dengan jumlah pasangan usia tua yang juga rekreasi, baik bersama pasangannya, maupun secara berkelompok, sesama kakek-kakek dan nenek-nenek.
Setengah lima sore, kami bersiap balik ke kota. Sebelumnya, ibunya anak-anak singgah ke toko permen dan ke toko ice cream atas permintaan anak-anak. “Masa rekreasi, kami tidak dibelikan apa-apa?” Protes mereka. Di etalase toko ice cream itu tertulis kata halal dalam bahasa Arab. Dari perawakannya, tampak bahwa penjualnya itu keturunan Arab. Dia juga sempat mengucapkan kata-kata salam. Karena masih ada pembeli yang antri, kami tidak lama bercakap-cakap dengannya. Setelah menunggu sejenak, kami naik bus menuju kota.
Awalnya jumlah penumpang masih terbatas, namun semakin bertambah banyak karena di beberapa bus stop banyak penumpang yang naik.  
Sesampai di kota, kami turun di bus stop depan Adelaide Arcade. Sesaat setelah turun seorang nenek tua menghampiri saya. Ternyata nenek yang tadi melambaikan tangan dari seberang jalan Hahndorf. Kami berkenalan sejenak. Dia berasal dari Bandung sudah tiga puluh tahun tinggal di Adelaide bersama suaminya dan sudah menjadi warga negara Australia. Dia memperkenalkan kami kepada suaminya. Setelah bicara sejenak, mereka pun berlalu bergandengan tangan.
Sebenarnya setelah dari kota, kami merencanakan akan naik bus lain melanjutkan perjalanan mengunjungi masjid Abu Bakar Ash- Shiddiq di kawasan Wandana untuk shalat magrib. Namun anak-anak protes, sudah kecapekan.  Keputusannya, kami pulang ke rumah dan tiba sekitar pukul enam sore. Setiba di rumah, dalam keadaan sangat capek, lapar, dan suhu udara yang semakin turun, yang terbayang hanya bersiap makan malam dan meluruskan punggung di pembaringan.  Apa daya, ketika mau masuk rumah, ternyata kunci rumah tidak ada. Gawat! Semua kantong sudah diperiksa, tas digeledah, keranjang dibongkar. Tak ada kunci. Hilang!
Bagaimana ini? Rumah kami di lantai 2, semua jendela kami kunci rapat sebelum berangkat. Tak ada jalan lain. Anak-anak mulai mengeluh.  Ibunya anak-anak menduga kunci tertinggal di toilet dekat hotel Manna, Hahndorf. Ke sana lagi ambil kunci? Anak-anak bagaimana? Mereka sudah capek sekali dan mengantuk. Apa mereka harus ikut? Kalau ditinggal, mereka dititip dimana? Di rumah tetangga yang orang Malaysia atau di mushalla kampus di Elizabeth House, uni Adelaide? Kalau di rumah tetangga yang orang Malaysia ini, nanti mengganggu karena mereka sedang belajar. Kalau di mushalla kampus, terlalu jauh dan ini sudah malam. Akhirnya, Ibunya anak-anak memberanikan diri mengetuk pintu tetangga yakni dua orang perempuan pelajar dari Malaysia yang mengambil program Ph.D. di the University of Adelaide.
Rumah kami berhadapan langsung dengan rumah mereka. Setelah Ibunya anak-anak menjelaskan maksudnya, sang tuan rumah dengan senang hati mempersilahkan anak-anak dititip di rumah mereka. Kami masuk ke ruang tamu, saya sempatkan diri shalat magrib di ruang tamu karena sudah disiapkan sajadah menghadap kiblat. Tampak anak-anak pun langsung kerasan di rumah itu, mereka nonton tv dan main-main. Sang tuan rumah pun menanyakan apakah sudah makan? Ibunya anak-anak bilang sudah, padahal belum, dia takut merepotkan. Atas saran orang Malaysia ini, dia memberikan nomor telepon pemilik rumah yang kami sewa. Pemilik rumah yang kami sewa dan rumah yang mereka sewa adalah sama, iatu seorang bapak yang merupakan keturunan Turki. Dalam pembicaraan via telepon,  dijelaskan bahwa kunci rumah hilang, si pemilih rumah mengaku tidak punya cadangan dan menyarankan memanggil tukang kunci, the LockSmith, yang alamat si tukang kunci inipun dia tidak tahu. Dia sarankan cari lewat internet. Ketika ditanya, kira-kira berapa biayanya kalau tukang kunci dipanggil malam ini, katanya bisa mencapai ratusan dollar, karena ini sudah malam, di luar jam kerja, apalagi hari libur. Ratusan dollar? Jika tiga ratus dollar, maka setara dengan tiga juta rupiah.
Pelajar dari Malaysia tadi ikut sibuk mencoba membantu membuka kunci rumah dengan kartu telepon. Mencoba juga dengan kunci rumahnya, siapa tahu bisa terbuka. Tak berhasil. Akhirnya, mereka mendukung rencana kami semula untuk segera berangkat ke Hahndorf sebelum kehabisan bus. Saya bersama dengan Ibunya anak-anak, pun berangkat. Soal ongkos, tidak ada masalah. Tiket kami masih berlaku hingga pukul 12 malam ini. Hanya saja bus pada malam hari semakin jarang, yang berangkat jumlahnya sudah dibatasi dengan jadwal satu jam sekali. 
Kami sempat singgah di supermarket depan rumah, IGA Romeo, menanyakan, siapa tahu kunci kami tadi pagi tertinggal di situ ketika ibunya anak-anak singgah beli buah-buahan. Petugas toko menyeluarkan banyak kunci yang tertinggal disertai label kertas keterangan tanggal tertinggalnya. Ternyata di situ memang banyak pelanggan yang ketinggalan kunci, mereka tetap simpan dengan baik. Hanya saja setelah diperiksa, tak ada kunci rumah kami.
Akhirnya kami naik bus ke kota, dengan rute persis sama dengan rute kerangkatan tadi pagi. Di kota, perut sudah mulai lapar. Melihat jadwal keberangkatan bus ke Hahndorf masih setengah jam lagi, akhirnya kami putuskan mampir ke restoran India, Banana Leaf, di pusat Kota Adelaide.  
Ibunya anak-anak bilang di restoran ini juga menyajikan makanan halal. Kami tanyakan memperjelas ke pelayan, dia jawab memang ada yang halal. Ketika kami pesan nasi goreng, si pelayan yang berparas India ini memperhatikan wajah kami, mungkin ditampaknya raut gelisah kami. Dia jadi ragu, apakah nasi goreng yang kami pesan tersebut dimakan di sini atau dibungkus. Untung sekali si gadis India ini memberikan tawaran tersebut. Kami sempat lalai tentang itu karena tak kepikiran. Lebih baik dibungkus saja, jangan sampai ketinggalan bus. Nasi goreng dua kotak seharga AU$ 22 atau setara Rp 110.000 per kotak, isinya; nasi goreng, telur, wortel, bawang, capsicum, udang dan lain-lain.
Keluar dari restoran, sambil menunggu bus, saya dengan Ibunya anak-anak makan di pelataran gedung yang menjulang tinggi, satu kotak berdua. Karena gerimis, kami pindah ke halte karena haltenya pakai atap. Beberapa orang lalu lalang di depan kami, tak ada masalah makan di halte itu, sebab itu sudah lumrah. Yang penting jangan mengotori dan pembungkus maupun sisa makanan dibuang ke kotak sampah. Setengah delapan malam, bus 864 yang akan ke Hahndorf tiba, persis suapan terakhir. Kami naik dengan beberapa penumpang lainnya. Rutenya sama dengan rute bus yang kami pakai tadi pagi. Di perjalanan, ada penumpang naik dan ada yang turun. Sampai di bus stop 55, tinggal empat orang lagi penumpangnya.

Kami turun dan berjalan mencoba menelusuri jalan yang kami tempuh tadi sore.

Post a Comment

0 Comments

close