About Me

Gerimis Hahndorf di Malam Itu



Bagian 1: Bendera Jerman di guguran autumn leaves
Hari Sabtu, 11 Mei 2013 kemarin, saya bersama keluarga melakukan rekreasi ke Hahndorf, sekitar 30 km arah selatan Adelaide, Australia Selatan. Dari rumah ibunya anak-anak sudah mempersiapkan bekal makanan ke lokasi rekreasi, sebab kalau membeli makanan di Hahndorf, selain karena kehalalannya belum terjamin,  tentu harganya juga sangat mahal.
Pukul 12.00 siang kami sudah berada di bus stop 9 Henley Beach Rd, depan rumah makan siap saji, KFC, menunggu bus yang akan membawa kami ke kota. Ibunya anak-anak sudah membelikan tiket day trip seharga Au$ 9.10. Satu tiket berlaku untuk satu orang dewasa dan dua orang anak, berlaku sepanjang hari dan kemana saja. Maknanya, jika dikonversi ke rupiah, maka dengan “hanya” Rp 30-an ribu per orang, kami dapat naik bus kemana saja dan dengan bus apa saja bahkan boleh juga menaiki kereta api, seharian hingga sebelum pukul 12.00 tengah malam. Ibunya Luqman memakai tiket sendiri, tiket mahasiswa. Athirah, tak perlu bayar, karena dia masih kecil.
Kami tiba di pusat Kota Adelaide, sekita 5 km dari Brooklyn Park, rumah kami. Di bus stop D2, Currie St, kami menunggu bus dengan kode 864 yang akan kami pakai menuju Hahndorf. Kurang dari setengah satu siang, bus sudah tiba dan kami naik bersama dengan puluhan penumpang lainnya.  Pada hari Sabtu, biasanya banyak turis local, interstate atau dari luar Australia yang rekreasi bersama keluarga ke Hahndorf. Dalam bus, saya minta anak-anak shalat duhur, hanya Athirah yang mau shalat dan tayammum. Fauziah dan Luqman mau shalat di Hahndorf saja, katanya.  Selepas bus meninggalkan Adelaide City, kami sudah dapat menikmati pemandangan berupa pepohonan dan binatang-binatang lepas, seperti kambing hutan, sapi dan lembu, serta alpaca. Alpaca adalah sejenis hewan dengan tubuh sedang, antara kambing dan sapi Indonesia, tetapi wajah mirip onta, yang dibiarkan bebas berkeliaran. Jangan salah sangka, walaupun binatang itu dibiarkan, tapi mereka tetap dilindungi, tak boleh diganggu apalagi diburu hingga mati. Bisa kena hukuman penjara atau denda ribuan dollar.
Jalanan di Adelaide hampir semuanya mulus dan lebar, termasuk yang keluar kota. Sekitar dua puluh kilo meter menanjaki pegunungan, akan melewati, Heysen Tunnel, terowongan sepanjang setengah kilometer yang membelah pegunungan. Walaupun terowongan ini panjang, namun tetap terang benderang, banyak lampu menempel di dindingnya, disertai fasilitas telepon setiap seratus meternya. Telepon ini adalah untuk melaporkan masalah dalam terowongan, jika ada suatu peristiwa. Terowongan masuk terpisah dengan terowongan dari arah berlawanan. Jalannya pun tidak sempit, masih bisa mobil lain melambung. Selepas itu, dari bus kita dapat melihat kota Adelaide di kejauhan. Di sepanjang jalan, selain pegunungan dengan tanaman pohonnya tertata rapi, terdapat pula beberapa areal perkebunan, seperti kebun sayuran sawi dan jagung. Ada pula beberapa perkampungan penduduk dengan rumah yang masih asli bahkan sudah berusia ratusan tahun namun tetap dipertahankan.

Sampai di Hahndorf, kami turun di bus stop 55, sebagian penumpang lain juga turun di situ, ada pula yang meneruskan hingga perhentian terakhir yakni bus stop 66 di Mount Barker.


Apa yang mau dilihat di Hahndorf? Sebenarnya tidak sangat istimewa bagi saya. Sepanjang jalan yang kami lalu, yang ada hanya toko-toko souvenir, restoran, bar, gazebo, dan pohon-pohon yang berwarna-warni. Saya tanya kepada ibunya anak-anak yang bertindak sebagai guide, apa yang akan dilihat di sini? Autumn leaves itu, katanya. Inilah Hahndorf dengan cuaca yang sangat sejuk, mengingatkan saya ke Malino di Gowa dan Kaliurang di Yoygakarta, Lembang di Jawa Barat, atau Panggulangan di Sipirok Sumatra Utara. Beberapa pohon dedaunannya sudah habis berguguran, tinggal ranting-ranting yang kosong. Di beberapa tempat, masih kelihatan daun yang berwarna kuning, merah hati, merah muda, hijau muda, dan coklat.  Sepanjang jalan, sejauh kurang lebih dua kilometer, kami berpapasan dengan pengunjung lain, baik warga kota Adelaide maupun mancanegara, termasuk dari Asia seperti Cina, India, dan Timur Tengah.
Tidak ada fasilitas mushollah untuk shalat. Wudhu pun di toilet umum. Jadi kami memilih sholat di areal public parking, tak jauh dari the Manna Hostel. Malumlah, walaupun Australia ini sangat menghormati kebebasan beragama, namun pemerintahnya tidak mencampuri fasilitas untuk beribadah umat beragamanya. Termasuk untuk urusan mushalla, hampir tidak ada, sebagaimana halnya di Indonesia, setiap tempat keramaian umum, ada mushallanya. Tak ingin ketinggalan shalat duhur, saya melaksanakan shalat di bawah pohon di pinggir lahan parkir untuk bus-bus pariwisata. Setelah itu kami mencari gazebo untuk makan siang.
Awalnya kami dapat gazebo yang terbuka. Namun gazebo di sebelahnya yang tampaknya lebih bagus, yang begitu kami datang, cepat ditinggalkan oleh turis lain. Kami pun pindah ke gazebo yang lebih bagus itu. Gratis, lengkap dengan kursi dan saluran air  yang bisa langsung diminum. 
Selesai makan siang, kami lanjutkan menelusuri jalanan. Sesekali mampir ke toko-toko sekedar melihat souvenir yang dipanjang di etalase. Tak lupa foto-foto dengan anak-anak dengan berbagai latar belakang. Warna-warni dedaunan, bangunan tua, serta dengan latar belakang bendera Australia dan Jerman yang terpajang di depan beberapa toko maupun bangunan.

Kok, bendera Jerman? Ini kan Australia? Tunggu cerita berikutnya !

Post a Comment

0 Comments

close