Hari itu, Jum’at di Masjid Bosnia
Jum’at lalu, saya bersama dengan Luqmanulhakeem
Yanggi Siagian, anak pertamaku,
menyempatkan diri mengunjungi Masjid Bosnia di sebelah utara Kota Adelaide,
Australia Selatan. Untuk mencapai masjid tersebut dari rumah kami, perlu dua
kali naik bus. Pertama harus ke pusat kota di King William St dengan naik bus
kode H30, atau H31. Dari King William St, naik bus lagi dengan kode 816.
Apabila dengan naik bus, harga tiketnya sebesar AU$2 atau setara Rp 20 ribu.
Ini sudah bisa dipakai pulang pergi, tapi harus dipakai sebelum sampai dua jam
dari waktu pertama kali naik bus. Setelah menempuh sekitar 45 menit
perjalanan, kami tiba di bus stop 35, Frederick Rd, Royal Park. Dari bus
stop ini mesti jalan kaki sekitar sepuluh menit ke lokasi. Begitu tiba di depan
kompleks masjid, yang kelihatan adalah bangunan tua seperti sekolah terdiri dari
beberapa kelas dengan halaman yang sangat luas.
Awalnya saya tak menduga inilah adalah Masjid Bosnia. Namun
setelah melihat peta dan alamat yang kami pegang, dan ada papan nama bertuliskan “Muslim
Bosnia-Herzegovina Society” di depan bangunan itu dari jarak yang lebih
dekat, barulah
kami pastikan bahwa inilah lokasi masjidnya. Masuk ke dalam kompleks sekitar
dua ratus meter, belum ada tanda-tanda akan ada shalat jum’at, masjidnya juga
belum kelihatan. Hanya ada beberapa anak-anak yang main ayunan di depan sebuah
kelas. Ada pula puluhan mobil pribadi berbagai jenis terparkir di pinggir
halaman. Semakin ke ujung kami
jalan, kami
mendekati seseorang yang baru turun dari mobilnya. Kepadanya kami menanyakan di
mana tempat shalat. Lalu dia menunjukkan jalan ke ruang kelas lewat belakang.
Ruangan yang kami tuju masih sepi. Anak saya makin
ragu, apa ini masjid atau bukan. Bolehkah orang masuk atau tidak. Dia bilang
tak boleh orang lain masuk, karena dipikirannya ini hanyalah untuk orang-orang
Bosnia. Namun saya
yakinkan bahwa kami tetap masuk, karena saya yakin pasti ada shalat jum’at di
sini, kalau shalat, ya, tidak mengenal negara atau asalnya. Siapa saja
boleh ikut shalat, kalau dia itu seorang Muslim. Sekitar lima belas meter dari
pintu masuk ruangan ada lorong, kemudian sayup-sayup ada
kedengaran suara bercerita, dalam ruangan kelas itu sudah
banyak jamaah yang berdatangan.
Setelah berwudhu, kami masuk ke dalam ruangan.
Jumlah jamaah saya hitung hanya berkisar 40 orang. Semuanya berperawakan
Eropa, rata-rata sudah berumur antara 40 – 70 tahun. Ada empat orang anak muda
dan seorang yang masih anak-anak. Ternyata memang seluruh jamaah di masjid ini
adalah warga keturunan Bosnia-Herzegovina yang mengungsi akibat perang saudara
awal tahun 1990-an.
Saya jadi teringat ketika waktu SMA Negeri 3
Ujungpandang tahun 1991-1992, awal
semester kelas dua. Saya ditunjuk pengurus OSIS menjadi koordinator bantuan kemanusiaan
untuk Muslim Bosnia, bersama dengan teman-teman seperti; Adam Suryadi Nur, Muhammad Yusuf,
Fahmiddin A’raf Tauhid, Faisal Al Idrus dan Muhammad Anan. Bantuan
dari siswa-siswa SAMAGA ini terdiri dua
gelombang. Pertama kami serahkan melalui Kantor Muhammadiyah Sulawesi Selatan Jl. Gunung
Lompobattang No. 201 dan gelombang kedua kami serahkan melalui kantor
harian Pedoman Rakyat Jl. Arief Rate No. 31 Ujungpandang. Saya ke kantor Pedoman Rakyat
bersama dengan Slamet Kurniawan, sekretaris umum OSIS waktu itu. Jumlah
persisnya, saya tidak ingat lagi.
Mungkin karena paras wajah kelihatan
lain, begitu masuk di pintu kelas hampir semua jamaah memandang ke kami. Mereka
mempersilahkan kami maju ke depan. Bersamaan dengan itu, adzanpun
dikumandangkan. Setelah adzan, saya melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
Jamaah lainnya melaksanakan shalat sunnah. Kemudian khatib naik ke mimbar, lalu
melakukan iqamah. Saya ingat persis waktu itu adalah iqamah, bukan adzan,
karena ada “qod-qomatis-sholah”-nya (kalau saya
salah dengar dan salah ingat, semoga Allah SWT mengampuniku). Ini
berbeda dengan kebiasaan kita. Kalau pun adzan dua kali, yakni
sekitar lima belas menit sebelum khatib naik ke mimbar dan ketika khatib akan
memulai khutbah. Tapi mereka di masji ini, pertama adalah adzan dan yang kedua adalah iqamah.
Khatib membawakan khutbah dengan bahasa Bosnia,
bukan bahasa Inggris, karenanya saya tidak mengerti. Khatib
memakai pakaian kebesaran, seperti pakaian kerajaan, dengan topi putih
menjulang ke atas sekitar dua puluh sentimeter. Setelah khutbah kedua, khatib
membaca doa. Tapi ketika berdoa, dia balik menghadap kiblat, lalu
kembali menghadap jamaah untuk melanjutkan khutbah. Biasanya kalau kita di Indonesia
(dan di beberapa masjid lain yang saya ikuti di Australia), kalau
berdoa, khatib tetap menghadap ke jamaah. Setelah khutbah selesai, ada jamaah
yang berdiri untuk iqamah lagi. Dalam bacaan shalat, imam membaca surat al
fatihah dengan mensirkan (menyembunyikan) bacaan basmallah, demikian pula pada
saat baca fatihah pada rakaat kedua.
Beberapa jamaah yang sudah tua, kalau tidak salah
ada empat orang yang duduk di kursi, baik selama khutbah maupun ketika shalat.
Mungkin mereka cacat atau sudah tua. Selesai imam membaca tahiyat akhir dan
membaca salam, seseorang dari belakang membaca shalawat Nabi, lalu diikuti
jamah lain. Beberapa kali membaca shalawat. Kemudian dilanjutkan dengan shalat
sunnah. Setelah shalat sunnah dua rakaat, ada satu orang lagi yang membagi-bagikan tasbih. Ternyata untuk
berzikir bersama. Saya ikuti saja semua prosesinya. Setelah berzikir, kemudian
imam berdiri di depan, jamaah lain seperti membuat barisan, semua mendatangi
imam untuk bersalaman dan menyalam jamaah lainnya. Kami juga ikut melakukannya.
Tampak seperti selesai shalat idul fitri atau idul adha saja.
Beberapa orang tampak senyum kepada kami, saya yakin
mereka merasa terhormat dengan kedatangan kami ke situ melaksanakan shalat.
Sebab selama ini, yang melaksanakan shalat di situ hanyalah komunitas
Bosnia-Herzegovina saja, padahal sesungguhnya tidak ada juga larangan bagi
muslim lainnya. Hanya saja memang lokasinya yang agak jauh dan suasananya di
situ terasa asing dan tersembunyi.
Selesai shalat, saya mau ke toiliet. Seorang jamaah
menegur saya sambil memperlihatkan sandal. Di sini, untuk ke toilet harus pakai
sandal, bandingkan kalau di Indonesia, rata-rata masjid ada tulisan “buka alas
kaki”, baik ke tempat wudhu maupun ke toilet. Selesai shalat, lampu dalam
ruangan kelas yang jadi masjid itu,
dimatikan. Semua jamaah pulang dengan mobilnya masing-masing. Kemungkinan
besar “masjid” ini hanya dibuka saat shalat jum’at dan acara-acara khusus komunitas
Bosnia-Herzegovina saja. Tampaknya tidak ada shalat lima waktu di situ.
Sebab memang jarak rumah mereka dengan masjid adalah sangat berjauhan.***
Adelaide,
Mei 2013
0 Comments