Part 3: Satu kunci, lima negara
Untungnya
pelajar Malaysia tadi menawarkan kami membawa lampu suluhnya. Sebenarnya banyak
lampu penerangan, jalanannya juga sangat terang. Hanya saja perlu kami pakai
lampu penyuluh supaya orang perhatian, bahwa kami mencari sesuatu. Ternyata
tidak ada satupun orang yang perhatian. Hingga tiba di toilet yang kami pakai
tadi sore. Ibunya anak-anak merasa memang tertinggal di toilet tadi sore.
Seingatnya dia gantung di dekat pintu dalam toilet. Setiba di depan toilet,
ternyata pintunya terkunci! Gawat lagi! Kami keluar meninggalkan kompleks toilet. Kami
balik arah, mencoba menelusuri jalanan, siapa tahu jatuh di jalan. Di dekat
toilet ini, ada hotel. Tapi sudah tertutup, ruang resepsionis hanya kelihatan
dari luar dengan penerangan sekedarnya. Suasana lokasi memang sangat sepi.
Sesekali ada mobil lewat. Gerimis mulai turun. Dari kejauhan ada suara warga
dari restoran. Ada satu-dua orang yang lewat, tanpa mempedulikan kami. Di pintu
hotel, depan ruang resepsionis hotel, ada nomor telepon. Saya minta Ibunya
anak-anak menelpon saja ke nomor itu, menanyakan siapa yang pegang kunci toilet.
Sang penerima telepon menyahut, dia
tidak tahu. Sudah kami duga, mereka tidak ada hubungan dengan toilet umum itu.
Hanya dia mengatakan bahwa tidak biasanya toilet umum di kunci. Dengan bekal
kalimat terakhir, kami kembali ke toilet, memastikan apakah terkunci atau kami
yang tidak tahu buka. Ternyata terkunci.
Waktu
sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Ketika itu, seorang anak muda
datang ke toilet, tapi saya bilang terkunci, lalu dia balik. Di dinding samping
bangunan toilet itu, saya melihat ada papan pengumuman kehati-hatian serta
dengan nomor telepon pihak securiti, padahal tadi saya tak sempat memperhatikan
itu. Perusahaan sekuriti itu kemungkinan besar milik warga keturunan China
karena namanya Liam Sang Security.
Saya minta ibunya anak-anak untuk meneleponnya, menanyakan siapa yang simpan kunci toilet. Setelah menjelaskan bahwa kami ketinggalan kunci di toilet, seorang lelaki menjawab bahwa dia akan menyuruh stafnya datang ke situ dalam tempo sepuluh menit. Beberapa saat kemudian hpku bunyi, tapi langsung mati, lowbat. Lagi-lagi gawat. Setelah coba dinyalakan, baterainya, masih ada tapi sudah “sekarat”. Rupanya seorang sekuriti menelepon kami, dan mengatakan dia akan segera menemui kami. Kurang dari sepuluh menit, anggota sekuriti yang sudah berumur sekitar lima puluh tahun keturunan Jerman ini, tiba dengan mobil dinasnya dan membuka toilet.
Saya minta ibunya anak-anak untuk meneleponnya, menanyakan siapa yang simpan kunci toilet. Setelah menjelaskan bahwa kami ketinggalan kunci di toilet, seorang lelaki menjawab bahwa dia akan menyuruh stafnya datang ke situ dalam tempo sepuluh menit. Beberapa saat kemudian hpku bunyi, tapi langsung mati, lowbat. Lagi-lagi gawat. Setelah coba dinyalakan, baterainya, masih ada tapi sudah “sekarat”. Rupanya seorang sekuriti menelepon kami, dan mengatakan dia akan segera menemui kami. Kurang dari sepuluh menit, anggota sekuriti yang sudah berumur sekitar lima puluh tahun keturunan Jerman ini, tiba dengan mobil dinasnya dan membuka toilet.
Kami
periksa toilet, kunci yang dicari tidak
ada. Dia membantu memeriksa sekeliling, tidak ada juga. Ibunya anak-anak
meminta maaf telah merepotkannya dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Dia
jawab dengan mengatakan rasa penyesalan bahwa dia tidak berhasil membantu kami.
Dalam percakapan dengannya, Ibunya
anak-anak mengatakan untuk ke sini, kami menitip anak-anak di tetangga. Dia
terlihat agak heran dan mengatakan bahwa masih ada orang yang mau membantu
menerima titipan anak-anak. Ketika ditanya kenapa tadi begitu cepat datang,
apakah kantornya dekat dari sini, dia bilang tidak punya kantor. Dia hanya
keliling patroli sekitar Hahndorf dengan mobil dinasnya.
Dengan tidak ditemukan kunci di toilet ini, harapan kami mulai jauh surut. Itu bisa berarti banyak. Ada yang berinisiatif mengambil dan melaporkan ke suatu tempat. Atau kunci itu jatuh di jalanan, bisa pula tertinggal di toko-toko yang kami kunjungi tadi sore.
Kami pinjam pulpen dan kertas pak sekuriti. Dia mengambil dari mobilnya. Kami menuliskan pengumuman pada beberapa lembar kertas bahwa kami kehilangan kunci dan mengharap menelepon kami bila menemukannya. Lalu kami berpisah setelah sang sekuriti yang tampak prihatin pada kami itu masih memberi saran dan alternative lain membesarkan hati kami untuk mencari kunci itu. Kami telusuri jalan-jalan yang kami lalui tadi sore dan tempat-tempat di mana kami foto-foto. Kertas pengumuman tadi saya selipkan ke pintu toko penjual ice ream dan toko penjual permen yang kami belanja di situ. Siapa tahu tertinggal di situ. Selepas itu kami teruskan menelusuri jalan, mencari dengan menggunakan lampu suluh alias senter milik kawan Malaysia. Tibalah kami di taman yang penuh bunga-bunga dan taman yang ada prasati orang-orang Jerman yang telah meninggal itu. Di tempat itu, kami foto-foto juga tadi sore. -- Tempat pencarian di taman ini adalah alternatif kedua dari yang terakhir yang akan kami tempuh sebelum ke gazebo tempat makan tadi siang, jika tidak ada maka kami akan pulang ke rumah pelajar orang Malasyia tadi sebelum bus terakhir lewat --.
Di sepanjang taman ini, kami telusuri, mencari dengan seksama, saya ke arah kanan, Ibunya anak-anak ke arah kiri. Saya menendang-nendang dedaunan, mengharap kunci tertutup dedaunan itu. Di arah kanan tempat saya foto tadi sore ada gazebo, saya mencari ke situ, tetap tidak ada. Lalu saya minta izin ke ibunya anak-anak untuk ke toilet dulu (taman ini juga punya toilet umum) Karena gerimis, ibunya anak-anak menyusul saya ke arah gazebo untuk berteduh.
Belum sempat buang air, saya dengar teriakan: “Abang!Abang!”
Astagfirullah, saya kaget luar biasa. Saya kira ada apa-apa dengan ibunya anak-anak. Suasana sudah sangat sepi dan tempat itu remang. Napasku tercekat. Untunglah teriakannya berikutnya menjelaskan apa yang terjadi.
Dengan tidak ditemukan kunci di toilet ini, harapan kami mulai jauh surut. Itu bisa berarti banyak. Ada yang berinisiatif mengambil dan melaporkan ke suatu tempat. Atau kunci itu jatuh di jalanan, bisa pula tertinggal di toko-toko yang kami kunjungi tadi sore.
Kami pinjam pulpen dan kertas pak sekuriti. Dia mengambil dari mobilnya. Kami menuliskan pengumuman pada beberapa lembar kertas bahwa kami kehilangan kunci dan mengharap menelepon kami bila menemukannya. Lalu kami berpisah setelah sang sekuriti yang tampak prihatin pada kami itu masih memberi saran dan alternative lain membesarkan hati kami untuk mencari kunci itu. Kami telusuri jalan-jalan yang kami lalui tadi sore dan tempat-tempat di mana kami foto-foto. Kertas pengumuman tadi saya selipkan ke pintu toko penjual ice ream dan toko penjual permen yang kami belanja di situ. Siapa tahu tertinggal di situ. Selepas itu kami teruskan menelusuri jalan, mencari dengan menggunakan lampu suluh alias senter milik kawan Malaysia. Tibalah kami di taman yang penuh bunga-bunga dan taman yang ada prasati orang-orang Jerman yang telah meninggal itu. Di tempat itu, kami foto-foto juga tadi sore. -- Tempat pencarian di taman ini adalah alternatif kedua dari yang terakhir yang akan kami tempuh sebelum ke gazebo tempat makan tadi siang, jika tidak ada maka kami akan pulang ke rumah pelajar orang Malasyia tadi sebelum bus terakhir lewat --.
Di sepanjang taman ini, kami telusuri, mencari dengan seksama, saya ke arah kanan, Ibunya anak-anak ke arah kiri. Saya menendang-nendang dedaunan, mengharap kunci tertutup dedaunan itu. Di arah kanan tempat saya foto tadi sore ada gazebo, saya mencari ke situ, tetap tidak ada. Lalu saya minta izin ke ibunya anak-anak untuk ke toilet dulu (taman ini juga punya toilet umum) Karena gerimis, ibunya anak-anak menyusul saya ke arah gazebo untuk berteduh.
Belum sempat buang air, saya dengar teriakan: “Abang!Abang!”
Astagfirullah, saya kaget luar biasa. Saya kira ada apa-apa dengan ibunya anak-anak. Suasana sudah sangat sepi dan tempat itu remang. Napasku tercekat. Untunglah teriakannya berikutnya menjelaskan apa yang terjadi.
Alhamdulillah.
Kunci ditemukan. Rupanya ketika tadi saya cari, saya hanya menelusuri tanah
saja, tidak kepikiran memperhatikan pohon bunga itu. Padahal tadi di sepanjang
jalanan saya senantiasa memperhatikan pohon, kursi, tempat duduk, bahkan tong
sampah. Ternyata tanpa sengaja, sambil berteduh, Ibunya anak-anak iseng-iseng
meneliti pohon yang daun-daunnya menjalar menjadi atap gazebo itu. Di sulur
batangnya yang meliuk itulah, ia menemukannya tergantung, dililitkan di antara
sulur batang pohon bunga itu. Subhanallah.
Kami menduga, sudah ada orang yang menemukan kunci ini. Lalu dia menggantungnya di pohon bunga, dengan harapan untuk memudahkan bagi orang yang mencarinya. Ketika di Makassar dulu, saya juga beberapa kali melakukan hal yang sama, bila menemukan sesuatu benda kecil di jalanan, yang kira-kira adalah barang yang masih diperlukan pemiliknya, saya selalu simpan di batang pohon atau ditempat yang mudah dilihat. Penemuan kunci inipun segera kami kabarkan kepada tetangga Malaysia dan menanyakan keadaan anak-anak. Katanya Athirah dan Luqman sudah tidur, sedangkan Fauziah belum.
Kami menduga, sudah ada orang yang menemukan kunci ini. Lalu dia menggantungnya di pohon bunga, dengan harapan untuk memudahkan bagi orang yang mencarinya. Ketika di Makassar dulu, saya juga beberapa kali melakukan hal yang sama, bila menemukan sesuatu benda kecil di jalanan, yang kira-kira adalah barang yang masih diperlukan pemiliknya, saya selalu simpan di batang pohon atau ditempat yang mudah dilihat. Penemuan kunci inipun segera kami kabarkan kepada tetangga Malaysia dan menanyakan keadaan anak-anak. Katanya Athirah dan Luqman sudah tidur, sedangkan Fauziah belum.
Setelah
kunci ditemukan, kami hendak pulang menunggu bus. Persis saat itu ada bus yang
lewat, tapi tak boleh dihadang. Karena kami tidak berada di bus stop. Sebab di
sini, bus hanya boleh menaikkan dan menurunkan penumpang di bus stop. Kami
berjalan ke bus stop 54-A, depan restoran Cina yang mulai berbenah merapikan
meja dan peralatan makan mereka.
Kami mesti menunggu satu jam lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Artinya setengah sebelas baru datang bus lagi. Dari restoran Cina tadi, keluar beberapa pasang orang tua yang baru habis makan atau minum-minum. Aneh juga ya, pasangan kakek-nenek ramai-ramai berkumpul di restoran, di pegunungan lagi, jelang tengah malam. Hal itu di sini sudah biasa. Sambil menunggu bus, kami selesaikan makan malam yang tertunda, masih ada satu kotak nasi goreng India, ditemani gerimis yang berubah menjadi hujan yang lebih deras. Suasana sangat sepi dan dingin. Persis setengah sebelas malam, bus datang dan kami naik. Penumpang tidak seberapa. Karena capek dan ngantuk sekali, saya tertidur di bus, dan bangun menjelang tiba di kota.
Kami mesti menunggu satu jam lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Artinya setengah sebelas baru datang bus lagi. Dari restoran Cina tadi, keluar beberapa pasang orang tua yang baru habis makan atau minum-minum. Aneh juga ya, pasangan kakek-nenek ramai-ramai berkumpul di restoran, di pegunungan lagi, jelang tengah malam. Hal itu di sini sudah biasa. Sambil menunggu bus, kami selesaikan makan malam yang tertunda, masih ada satu kotak nasi goreng India, ditemani gerimis yang berubah menjadi hujan yang lebih deras. Suasana sangat sepi dan dingin. Persis setengah sebelas malam, bus datang dan kami naik. Penumpang tidak seberapa. Karena capek dan ngantuk sekali, saya tertidur di bus, dan bangun menjelang tiba di kota.
Dalam bus
sudah banyak anak-anak muda seumuran sembilan belas-hingga dua puluh lima
tahun. Mereka mau ke kota, ya, pesta-pesta, sambil minum-minum, mabuk-mabukan
dan seterusnya. Beberapa bahkan sudah teller, memaksa sopir berhenti di tempat
sepi untuk kencing rame-rame di pinggir jalan. Itulah gaya anak muda di sini
dan menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah Australia. Tiba di kota, kami
ganti bus. Ternyata bus yang akan kami tumpangi ke rumah ini, sudah ketiga
kalinya kami naiki. Sang sopir berkata, “Ey you, hi again!” ketemu lagi, sambil
tersenyum. Rupanya ketika tadi sore bus itu yang kami tumpangi, dan ketika kami
akan ke kota dari rumah saat akan mencari kunci, itu pula busnya.
Tiba di
rumah, sudah hampir jam dua belas malam. Anak-anak sudah tidur di kamar tamu
tetangga orang Malaysia. Mereka tidur bertiga, masing-masing satu bantal dan
diselimuti. Baiknya hati dua orang gadis pelajar Malaysia, tetangga kami ini.
Terharu hati ini memandang anak-anak kami yang begitu tabah, terkulai di ruang
tamu. Suara ngorok Athirah begitu damai, seolah-olah tidurnya di kamar kami
saja. Pintu pun dibuka. Kunci yang ditemukan menggantung genit di lubang kunci.
Benda kecil yang menyibukkan itu. Anak-anak kami angkat masuk ke rumah
satu-satu. Pagi hari, anak-anak bilang, sepanjang kami tinggalkan, mereka dijamu dan dihibur dengan sangat.
Disuguhi minuman, digorengkan nugget, kue-kue, mie goreng, dan coklat.
Subhanallah, baik sangat jiran kami ini.***
Adelaide, 10.56 pm, 12 Mey 2013
0 Comments