About Me

Mengapa Mesti Ditolak?










Mengapa Mesti Ditolak?

Dalam satu bulan terakhir ini, media massa memberitakan penolakan terhadap pengangkatan seorang lurah di Jakarta Selatan. Dia adalah Lurah Lenteng Agung,  Susan Jasmine Zulkifli, perempuan berusia 43 tahun. Alasan penolakan warga disebutkan karena berbeda agama dengan mayoritas warga di daerah tersebut. Susan beragama Kristen, sedangkan mayoritas warganya beragama Islam.
Apakah alasan penolakan itu dapat diterima? Lurah adalah jabatan karir yang ditetapkan berdasarkan kewenangan Walikota atau Gubernur. Berbeda dengan seorang kepala desa yang dipilih oleh warganya. Ada persamaan tugas antara kepala desa dengan lurah. Tugas pokoknya terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan apa? Tentu pelayanan yang berkaitan dengan tugas pemerintahan dan segala hal yang terkait dengan masyarakat di sekitarnya, seperti kebersihan, pajak, ketertiban, dan lain-lain.
Apakah lurah juga bertugas mengatur urusan agama? Urusan agama yang mana? Pada saat tertentu ada urusan keagamaan yang dapat ditangani oleh lurah. Itupun yang terkait dengan jabatannya. Misalnya memberikan rekomendasi acara keagamaan dan rekomendasi mendirikan rumah ibadah. Sedangkan urusan keagamaan lainnya adalah kalau sang lurah memiliki kompotensi dalam bidang keagamaan,  dan itu mesti disetujui oleh warganya. Misalnya, untuk panitia hari besar Islam, lurah dapat diangkat sebagai penasehat atas hasil musyawarah warga atau panitianya. Bisa juga tidak.
Nah, dalam kasus penolakan di atas, alasan yang dikemukakan oleh warga tampaknya kurang relevan. Urusan agama di negara kita ini adalah urusan umat beragama itu sendiri. Lurah bukan pemimpin agama dan tidak punya tugas untuk mengurusi agama tertentu karena jabatannya itu. Jadi kenapa mesti ditolak?
Ada memang umat Islam yang merasa risih dipimpin oleh pemimpin yang beragama lain. Itu dapat dipahami, sebagaimana tentu tidak sedikit umat lain yang juga segan untuk dipimpin oleh seorang pemimpin yang bergama Islam. Kenyataan seperti ini juga berlaku di berbagai wilayah, maupun antar negara. Namun, dalam pandangan penulis,  sebenarnya hal tersebut tidak perlu untuk dikembangkan di negara ini. Akan sangat berbeda manakalah dalam kepemimpinannya terdapat kebijakan yang dapat menodai atau mencenderai persoalan keagamaan, ini perlu untuk dikoreksi. Ataukah misalnya sang lurah terkait dengan skandal amoral, korupsi, dan tindakan tidak terpuji lainnya.
Dalam kasus yang mungkin baru pertama kali dalam sejarah pengangkatan seorang lurah yang ditolak karena berbeda agama, tidak tertutup kemungkinan adanya kelompok yang bermain. Sebagaimana halnya dalam banyak kasus demonstrasi atau penolakan warga, tentu ada pihak yang menjadi sponsor atau istilahnya adalah aktor intelektual. Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang mensponsori penolakan ini? Apakah warga Muslim di sekitar melakukan demo atas kemauan sendiri? Apakah ada pihak tertentu yang memanfaatkan kasus ini untuk kepentingan tertentu pula? Mengapa pula media massa senang  mem-blow-up kasus ini?  
Terhadap peran media massa dalam kasus ini, akan lebih baik tidak sekedar memuat adanya fakta tentang demonstrasi. Lebih dari itu, adalah mengungkap siapa sesunguhnya yang bermain dan memanfaatkan situasi ini. Apakah benar-benar umat Islam di situ? Ataukah kelompok pengusaha atau lawan politik sang lurah? Dan boleh jadi sebenarnya yang bermain adalah elit-elit politik maupun pihak penguasa atau oknum pejabat tertentu yang memanfaatkan sentimen agama Islam untuk mencederai umat Islam itu sendiri! ***
Kajang, Selangor Darul Ehsan, 30 September 2013 jelang Dzuhur

Post a Comment

1 Comments

close