About Me

Catatan dari Persidangan Antarabangsa Malaysia-Indonesia di Universiti Malaya







 
Selama dua hari saya menghadiri acara seminar internasional yang diberi nama “Persidangan Antarabangsa Hubungan Malaysia-Indoensia Ke-7” yang diadakan oleh Fakulti Sasteria dan Sains Sosial Universiti Malaya, di Kuala Lumpur, 22-24 Oktober 2013, yang berlangsung sejak kemarin dan sepatutnya esok juga. Namun esok saya tidak dapat hadir karena agendanya adalah lawatan ke berbagai destinasi wisata di Kuala Lumpur.
                Dari persidangan ini, saya memiliki beberapa catatan yang perlu saya kira untuk dituliskan dalam blok ini, antara lain:
1.   Ketika mendaftarkan diri kepada panitia, saya agak kaget dengan besarnya biaya partisipasi peserta. Saya adalah pelajar yang hanya ingin menjadi peserta saja, bukan pemakalah. Biaya yang saya bayar adalah RM 150.00. Panitia mengatakan tak kira peserta dan pemakalah, biayanya sama. Saya ingat beberapa kali saya ikut acara sejenis di Malaysia, seperti di UKM dan UiTM, biaya peserta hanya RM 50.00, bahkan ada yang free. Padahal fasilitas yang diperoleh tidak jauh berbeda.
2.     Pada saat seremoni pembukaan, sempat berdiri bulu romaku. Dalam sambutannya, Dekan Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Profesor Dato’ Dr Mohammad Redzuan Othman, mengatakan bahwa acara ini sudah berlangsung sejak tahun 2007 dan salah satu individu yang berjasa dalam permulaan persidangan ini adalah Imran Hanafi, mantan Atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur. Mengapa berdiri bulu romaku? Karena pak Imran Hanafi adalah kakandaku, saya sempat beberapa kali bersama dengan beliau di Makassar dalam posisinya sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulsel.
Kesan saya adalah, betapa orang Malaysia sangat menghargai jasa orang yang dianggap sangat penting, sehingga nama-nama tersebut perlu disebutkan dalam kesempatan terkait. Saya pikir ini adalah sesuatu yang baik dan ada baiknya dibudayakan.
3.   Selama jadi peserta kemarin, setidaknya saya memberikan tanggapan atas empat pemakalah, yakni:
Ø  Pertama, Arham Selo dari UKM. Saya meminta tanggapannya terhadap media Indonesia yang cenderung menabur kebencian kepada Malaysia. Contohnya, dalam pertandingan Korea Selatan dengan Indonesia beberapa waktu yang lalu, sebuah media online menurunkan berita berjudul “Maldini Kecewa Pada Wasit Malaysia”. Mengapa judul berita tersebut seolah-olah menyerang Malaysia, padahal yang dilawan Indonesia adalah Korsel.
Ø  Kedua, Nur Shafiza Che Ismail dari UiTM. Saya mengatakan bahwa pelajaran dengan kesenian bukanlah sesuatu yang tertinggal dan patut diberdayakan karena pendidikan dengan kesenian lebih mudah diterima oleh anak-anak. Seperti yang dialami oleh anak saya yang pernah sekolah di Cowandilla Primary School Adelaide, mereka lebih banyak belajar dengan metode kesedian; menari, menyanyi, menggambar, bermain bersama, dan seterusnya.
Ø  Ketiga, Baiq L.S.W. Wardhani dari Unair berjudul “Muslim Nuu Waar: (UN) Common idendity Reconstruction In Papua – Indonesia”. Saya berpendapat bahwa orang Papua akan tetap menuntuk kemerdekaannya manakala mereka tetap tidak sejahtera. Kedua, hubungan antara warga Indonesia dengan Papua, terasa ada jarak. Kenapa? Mengapa anak-anak saya yang sekolah di Adelaide, tidak canggung-canggung berteman dengan orang Afrika yang berkulit hitam? Kenapa di Indonesia tidak bisa?
Ø  Keempat, Dr. Junaide dari Universitas Lancang Kuning Riau berjudul “Pembingkaian Pemberitaan Kabut Asap pada Media Online Terpilih di Indonesia, Malaysia dan Singapura”. Saya mengatakan bahwa makna pemberitaan dalam setiap media, selain karena faktor ideologi, latar belakang wartawan, juga tidak lepas dari siapa nara sumber beritanya. Bila narasumbernya dari Malaysia, cenderung untuk membela Malaysia dan seterusnya.
Pembakaran hutan di Riau, perlu ada solusi dari media. Maksudnya adalah media jangan hanya memberitakan pada saat terjadi kebakaran. Apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kebakaran, perlu diliput.
Ø  Kelima, Prof. Isnawijayani. Tentang UU ITE yang mengekang kebebasan berpendapat. Mengapa orang Indonesia begitu cepat tersinggung? Dan ketersinggungan itu harus dibawa ke ranah hukum?  
Ø  Keenam, Rionaldi dari Universiti Malaya,  membahas tentang posisi Golkar dalam Orde Baru. Yang saya tanyakan adalah bagaimana meyakinkan Presiden Soeharto untuk tetap menjadikan Golkar ikut dalam pemilu 1971 yang saat itu sempat diragukan oleh beberapa petinggi militer?
4.   Catatan yang terakhir adalah saya mendapati bahwa ternyata Naib Canselor pada Universiti Malaya adalah Tan Sri Dr Ghauth Jasmon. Nama ini saya dapati dalam sambutan tertulisnya pada buku abstrak. Dari nama ini, saya pikir beliau adalah keturunan India. Jika ini benar, maka saya berpendapat bahwa Malaysia benar-benar sudah dapat menghilangkan sekat-sekat kesukuan dalam beberapa aspek. Maksud saya adalah bahwa Malaysia sebenarnya memberikan kesempatan kepada semua kaum untuk terlibat dalam pembangunan negaranya.



(Lantai V Pusat Hentian Kajang, Rabu, 23 Oktober 2013 jelang pukul 00.00 tengah malam).

Post a Comment

0 Comments

close