Foto ini menunjukkan istriku sedang menepis dahiku. Orang boleh berpersesi bahwa itu adalah satu kesalahan seorang isteri kepada suami. Padahal bisa jadi tidak seperti itu. Apa yang dituduhkan kepada seseorang, boleh jadi tidak seperti itu kejadian yang sebenarnya.
Kamis, 17 Oktober 2013, berbagai media
massa di Indonesia, memberitakan bahwa Andi Alfian Mallarangeng telah ditahan
KPK. Dalam beberapa status di facebook, teman-teman mengomentari penahanan
mantan juru bicara presiden SBY ini. Hampir satu tahun setelah ditetapkan
sebagai tersangka, baru kemarin dia ditahan oleh KPK. Banyak orang yang
membenci Alfian. Salah satunya karena dia pernah mengatakan bahwa belum saatnya
orang Bugis menjadi presiden. Ini dianggap menyinggung seorang putra Bugis –
Bone, Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla, yang tahun 2009 lalu maju sebagai calon
presiden. Saat itu, Alfian masuk sebagai tim sukses SBY, yang mengalahkan Yusuf
Kalla.
Suatu ketika, setelah tiba dari Makassar dengan pesawat Air Asia, di
atas taxi yang membawa kami dalam perjalanan dari Bandara Internasional LCCT
Kuala Lumpur ke penginapan di Pusat Hentian Kajang Selangor Darul Ehsan, bersama
dengan Bang Ruslan Ramli, sesama mahasiswa PhD. Universiti Kebangsaan Malaysia,
sekitar bulan Nopember 2012 tahun lalu, kami sempat berdebat tentang Andi
Alfian Mallarangeng. Saya mengatakan salut dan bangga kepada Alfian yang
mengundurkan diri sebagai seorang menteri karena ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus korupsi. Bagi saya, ini adalah contoh pertama, seorang menteri
aktif mengundurkan diri dengan jantan karena sangkaan korupsi. Kebetulan lelaki
yang jantan ini adalah seorang putra Bugis. Bahwa ada pendapat tidak ada kaitan
antara sukunya dengan pengunduran diri tersebut, mungkin saja. Tapi sejarah
membuktikan bahwa adalah satu-satunya menteri yang mengundurkan diri itu adalah
putra Bugis.
Ada pula yang mengatakan bahwa
pengunduran diri Alfian sebagai menteri adalah bentuk kekecewaan kepada SBY
yang tidak bisa melindunginya. Jadi cara yang paling tepat untuk menyelamatkan
diri adalah mengundurkan diri secara jantan. Banyak memang persepsi yang
berkembang tentang hal ini dan semua persepsi itu adalah benar menurut
masing-masing.
Bagi saya, dalam kasus yang menimpa
Alfian ini, firasatku berkata dia tidak bersalah. Yah, namanya juga firasat.
Sulit membuktikan dan meyakinkan orang lain. Kalaupun Alfian bersalah, maka
tingkat kesalahannya tidak sebesar apa yang dituduhkan maupun dipersepsikan
oleh masyarakat. Bahwa sebagai seorang menteri, Alfian adalah seorang manusia. Dalam
hal ini, Alfian masuk dalam arena politik. Bahwa dalam ranah politik, tidak ada
sesuatu yang tidak bisa terjadi. Semua hal dapat terjadi, sesuatu yang tidak
diinginkan, dapat menimpa kita. Sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik,
boleh jadi akan gagal tanpa diduga. Dalam politik, tidak ada pertemanan yang
abadi. Yang ada adalah kepentingan. Kaitannya dengan kasus Alfian ini, mungkin
saja dia memiliki kekeliruan, atau kesalahan, kelemahan yang dimanfaatkan oleh
orang-orang atau mungkin juga teman-temannya untuk mencapai kepentingannya.
Wallahu’alam.
Pertama kali saya tahu nama Andi
Alfian Mallarangeng ketika kuliah di Universitas Hasanuddin sekitar tahun
1997-1998. Teman saya, Herliana Hanafi (almh). pernah bercerita kedatangan dosen
baru, seorang doktor politik lulusan Amerika. Ketika mereka akan kuliah, tapi
ruangan penuh. Sehingga kuliah dipindahkan ke kantin dekat pepohonan bambu sekitar
gedung Fakultas Hukum Unhas Tamalanrea. Namun saat itu, saya tidak pernah
melihat wajahnya. Tak lama setelah itu, saya dengan kabar bahwa Alfian pindah
ke Jakarta.
Waktu berlanjut, kemudian saya baru melihat wajahnya, walaupun sekilas
saja, dalam satu acara di kantor Muhammadiyah Jl. G. Lompobattang No. 201
Makassar, sekitar akhir tahun 1998 atau awal 1999. Saat itu, kalau tidak salah,
Alfian datang bersama dengan beberapa pengacara yang sekaligus menjadi pengurus
Partai Amanat Nasional (mungkin Abraham Samad juga ikut? Entahlah). Alfian
sebagai pakar politik, diminta memberikan saran-saran atau ide-ide dalam
pertemuan tersebut. Saat itu saya masih bertindak sebagai staf kantor yang
mempersiapkan minum-minum dan membersihkan ruangan, office boy gitu. Saya dengar
beliau sempat berkata kira-kira begini : “Jadi,
Prof. Askin harus mampu berdebat dan mengalahkan Amien Syam” disambut riuh
tawa peserta pertemuan. Prof. Moh. Askin saat itu adalah Ketua DPW PAN Sulsel
dan Amien Syam adalah Ketua DPD Golkar Sulsel. Lalu saya sering melihatnya di
televisi dan fotonya di media cetak.
Sebenarnya, saya pernah “benci” kepada Alfian. Kenapa? Suatu saat saya
lihat sebuah iklan di Harian Kompas satu halaman penuh. Entah kapan, sudah
lupa. Saat itu, pemerintah akan menaikkan harga BBM. Alfian bersama dengan
bebeberapa tokoh nasional memberikan testimoni bahwa subsidi BBM akan
disalurkan kepada pembangunan, misalnya Puskesmas dan perbaikan sekolah.
Menurut saya, itu iklan tersebut
menyesatkan. Karena tanpa menaikkan harga BBM pun mestinya pemerintah harus
melakukannya. Dalam kenyataannya, setelah BBM naik, masih banyak Puskesmas dan
sekolah yang tidak diperbaiki.
Mengapa saya tidak percaya bahwa Alfian tidak bersalah? Atau paling
tidak, kesalahannya tidak besar sangat? Bukankah dia sudah ditangkap oleh KPK?
Dimana kita ketahui bahwa kalau KPK yang menahannya, berarti telah kuat
buktinya? Apa alasannya mengatakan bahwa kesalahan Alfian tidak berat? Saya
juga tidak tahu. Ini adalah soal firasat saja.
Saya teringat dengan pernyataan seorang anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) A.M. Fatwa yang pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Beberapa
waktu lalu, di media massa, Fatwa mengomentari penahahan mantan Menteri Sosial,
Bachtiar Hamzah. Bahkan saat Bachtiar keluar dari penjara setelah selesai
menjalani masa tahanan, Fatwa ikut menjemput di pintu penjara. Fatwa mengatakan
kasus ini adalah pengadilan sesat. Hal senada pernah dikatakan oleh Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Assidiqi, bahwa pengadilan terhadap
Bachtiar adalah pengadilan sesat. Artinya apa? Yang saya pahami adalah
pengadilan terhadap Bachtiar itu sebenarnya tidak kuat secara hukum, namun
tetap dipaksanakan karena sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mungkin
maksudnya seperti itu.
Nah, kaitannya dengan Alfian. Boleh jadi seperti itu yang terjadi.
Satu kontainer bukti hukum yang diajukan ke pengadilan. Seratus penyidik KPK
yang mengangani Alfian. Beberapa jaksa dan hakim, boleh saja menjatuhkan
hukuman kepada Alfian. Saya sangat menghargai upaya dan keputusan tersebut.
Saya percaya sepenuhnya kepada proses pengadilan yang dijalankan. Saya tidak
mau campur adukkan dengan ada atau tidak politisasi dalam kasus ini. Dan secara
formil, Alfian dinyatakan bersalah. Akan tetapi firasatku berkata bahwa Alfian,
tidak salah-salah amat.
Mungkin saja dia bersalah secara administratif, keliru dalam mengambil
keputusan, khilaf dalam menandatangani sesuatu. Atau terlalu mempercayai
seseorang. Salah dalam menunjuk orang kepercayaan. Itu bisa saja terjadi. Itu
boleh menjadi sebab dari kerugian negara. Karenanya dia harus dihukum, baik
hukum formil maupun hukum sosial. Dia telah dihukum duluan oleh masyarakat. Dia
juga telah menghukum dirinya dengan mengundurkan diri dari menteri. Bagi saya,
hukuman tersebut, jauh lebih berat daripada dipenjara sepuluh tahun misalnya. Akan
tetapi, saya yakin dia tidak mengambil uang negara untuk tujuan memperkaya diri
sendiri. Bahwa ada orang yang mengambil keuntungan dari kesalahan, kekeliruan,
dan kekhilafan tersebut, itulah yang mesti dicari. Wallahu’alam***
(Ide ini mulai terpikir untuk dituliskan
sepulang dari Shalat Subuh di Surau Asy Syakirin Taman Tenaga, dan diketik
kembali di Lantai V Pusat Hentian Kajang Selangor DE.... Jum’at Mubarak, 18
Oktober 2013).
0 Comments