Dalam pandangan masyarakat selama
ini, ulama adalah seorang individu yang menguasai segala hal yang berkaitan
dengan agama Islam. Selain menguasai, ulama juga mengamalkan ajaran-ajaran
Islam sesuai dengan pemahamannya. Ulama adalah rujukan umat Islam dalam banyak
hal, selain soal keagamaan, juga dalam perkara kemasyarakatan. Ulama adalah
contoh teladan dalam masyarakat.
Ulama pada umumnya adalah mereka yang bergelar kiyai dan memiliki
pondok pesantren, khususnya yang bermukim di pulau Jawa. Namun demikian, ada
pula seseorang individu yang sesungguhnya merupakan seorang ulama, namun tidak
bergelar kiyai dan tidak memiliki pondok pesantren. Oleh masyarakat, ilmu
agamanya dianggap sudah sangat mencukupi, akan tetapi dia tidak digelari
sebagai ulama. Pada kesempatan lain, ulama juga biasa dipanggil ustadz atau
muballigh. Yakni orang yang mengajarkan agama Islam.
Dalam mengamalkan ajaran Islam, cara atau metode pelaksanaannya oleh
para ulama tidaklah sama. Ini terkait mahzab yang dianutnya. Saat ini, selain
mahzab, ulama juga terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan Islam. Dalam konteks
ini, perbedaan pengamalan ajaran oleh para ulama, adalah sebagai bentuk
ijtihadnya, manakala hal itu dilaksanakan tanpa ada tendensi politik, apalagi
jika mengharapkan imbalan finansial. Jika ini terjadi, tentu sangat
disayangkan. Di berbagai daerah, ada oknum “ulama” yang patut diduga, sengaja
atau tidak sengaja, cenderung untuk membiarkan umat tetap dalam “kebodohan yang
nyata” dengan dibungkus oleh istilah adat atau kebudayaan.
Misalnya, ada ulama yang tahu bahwa melaksanakan pesta rakyat itu
adalah hura-hura atau ada yang tidak sesuai syariat Islam. Demikian pula
peringatan acara kematian dan seterusnya. Akan tetapi, karena dia diminta
membaca doa dalam acara tersebut dan memperoleh imbahan, baik berupa uang
ataupun kepala kambing, sehingga dia tetap membiarkan umat mempertahankan
tradisi seperti itu. Ada juga oknum “ulama” yang bertindak sebagai dukun yang
dapat mengobati penyakit. Setelah meniup air dalam botol, lalu diserahkan
kepada si sakit untuk diminum dengan jaminan kesembuhan. Padahal untuk
mengobati penyakit fisik, tentunya adalah kewenangan tenaga kesehatan yang resmi,
dokter, perawata atau bidan, apalagi dalam zaman sekarang ini.
Terkait dalam pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan legislatif dan
presiden, banyak kandidat yang mendatangi ulama. Tujuannya ada dua, pertama,
minta untuk didoakan. Yang kedua, minta supaya umat diajak untuk memilihnya,
atau paling tidak umat tahu bahwa si calon tersebut dekat dengan ulama sehingga
layak untuk dipilih. Di satu sisi, hal tersebut sebenarnya tidak ada masalah.
Yang akan menjadi masalah adalah apabila sang ulama itu tidak berlaku adil atau
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Misalnya dengan hanya menerima satu
pihak saja lalu mengabaikan pihak lain. Padahal ulama harus berada pada semua
pihak, tidak membeda-bedakan asal muasalnya. Apalagi? Ulama tidak boleh
menerima imbalan dalam bentuk apapun dari calon tersebut. Jika menerima, itu
sama artinya dengan menerima sogokan atau suapan. Islam jelas melarang hal itu.
Kenapakah kalau ulama disogok? Jika seorang ulama menerima sogokan
dari calon pemimpin dalam bentuk apapun, sumbangan atau janji, dan seterusnya,
maka ulama itu akan;
Pertama, dia tidak akan netral
lagi kepada umat. Dia akan lebih mementingkan orang yang “menyumbang” dibandingkan
yang tidak “menyumbang”. Padahal tidak ada jaminan orang yang “menyumbang”
ini akan lebih baik daripada orang yang tidak.
Kedua, ulama tersebut akan
senantiasa membela orang yang menyumbangnya. Bagaimanapun salahnya si calon,
termasuk kalau nanti sudah terpilih, maka si ulama ini akan ikut-ikutan
membelanya. Dia juga tidak akan mampu lagi memberikan nasihat kepada si calon pemimpin
tadi.
Ketiga, waktunya mengurusi umat
sudah tidak ikhlas lagi. Jika selama ini ulama adalah bersikap tawaddu dan
sederhana, jika sudah terlibat dalam kegiatan politik, walaupun hanya
mendoakan, maka sifatnya kemungkinan besar akan berubah menjadi rakus.
Keempat, umat akan membencinya.
Apalagi umat yang tidak sama pilihan politiknya dengan pilihan sang ulama ini.
Kemungkinan umat juga akan terpecah belah karena sikap ulama seperti ini.
Kelima, dakwah kepada umat akan
mengalami kendala. Ulama dalam berdakwah akan senantiasa memikirkan uang atau
honor. Sedangkan umat lain akan membenci ulama yang sifatnya seperti ini.
Akibatnya kegiatan dakwah akan kocar-kacir.
Keenam, pandangan sinisme dari
umat lain kepada Islam. Ini akan semakin meyakinkan mereka bahwa ulama itu
adalah penipu yang dapat dibayar dengan uang.
Oleh karena itu, ulama sepatutnya
tidak menerima sogokan dari calon pemimpin. Ulama boleh berpolitik untuk
kemaslahatan umat. Akan tetapi itu harus dilaksanakan secara profesional,
jujur, dan beritikat baik. Janganlah ulama terlibat dalam kegiatan politik
untuk tujuan-tujuan jangka pendek, yakni mendapatkan bantuan keuangan atau
hanya diberikan ongkos naik umrah saja. Kasihan ulama seperti ini.
Beberapa waktu lalu diberitakan adanya seorang elit politik di negara
ini terkait dengan kasus korupsi. Tak lama setelah itu, dia mengundang para
ulama mengadakan istiqosah dalam sebuah masjid. Pemberitaan lain menyebutkan
bahwa, dinasti politik sang elit tersebut mendapat dukungan dari kalangan
ulama. Ini sungguh menyedihkan. Orang yang sudah tertuduh korupsi, berarti
adalah orang yang tidak baik, walaupun secara hukum belum terbukti. Tidak sepatutnya
para ulama ikut-ikutan melindungi oknum seperti itu.
Kembalilah ke umat. Ajari masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan
dan pembangunan, terutama dari aspek rohaninya. Umat sekarang sudah ada yang
lupa akan Tuhannya. Mereka tidak malu lagi berzina, mereka terang-terangan
minum-minuman keras, bersama-sama mencuri uang negara, berfoya-foya dalam
kemewahan yang nyata. Tak hanya itu, masjid sudah mulai sepi, jamaah sudah sedikit.
Nilai-nilai ajaran Islam dalam masyarakat sudah langka. Inilah tugas ulama yang
sesungguhnya, mengajak umat agar mereka menjauhkan diri dari perbuatan yang
tidak terpuji dan kembali ke pangkuan ajaran Islam yang sesungguhnya.***
(Bilik Siswazah Mention, FSSK, Kampus UKM Bangi, Selangor,
D.E. 12 Okt. 2013 jelang magrib.)
0 Comments