(Ketika berada di Adelaide, Australia Selatan, ada jamaah masjid dari
Myanmar yang mengidentifikasi saya sebagai Muslim dari Indonesia)
Ba’da
Magrib, sekitar bulan Januari 2003, sekitar sepuluh tahun lalu, sepulang dari
shalat di masjid Kampus Unhas Tamalanrea, saya menyempatkan diri jalan-jalan ke arah Rektorat Universitas
Hasanuddin. Tidak ada target yang penting, kecuali jalan-jalan saja. Lepas dari
gedung rektorat, saya akan kembali ke pintu gerbang utama atau biasa disebut “pintu
satu”, melewati rimbunan pohon dan beberapa lampu jalan yang mati. Dalam
perjalanan, ada satu-dua orang pengendara sepeda motor singgah di dekat saya, lalu
meminta saya ikut dibonceng ke luar di
jalan Perintis Kemerdekaan. Saya ucapkan terimakasih, karena saya hanya ingin
jalan-jalan, tidak ada keperluan mendesak.
Dua atau
tiga hari kemudian, saya melakukan aktivitas yang sama selepas magrib. Yang
berbeda adalah, tidak ada satupun pengendara sepeda motor yang menyambangi
saya. Sepanjang jalan satu kilometer, banyak motor yang lewat, mobil juga
lewat. Mereka lewat begitu saja. Beberapa hari kemudian saya kembali
jalan-jalan ke arah pondokan (asrama mahasiswa) masih di pinggiran kampus
Universitas Hasanuddin. Setelah dari pondokan saya akan kembali ke pintu satu.
Dalam perjalanan, bebepera orang yang naik sepeda motor berhenti di dekat saya
dan menawarkan diri membonceng hingga ke depan. Saya mengucapkan terimakasih
dan mohon maaf, karena saya mau jalan-jalan saja.
Awalnya
saya tidak peduli dengan kejadian tersebut. Setelah beberapa waktu berlalu,
terbetik dalam benak saya, tentang peristiwa yang terjadi, ketika saya jalan
kaki tempo hari, ada pengendara motor yang ingin membonceng saya, dan pada hari
lainnya, tidak ada yang mau singgah dengan tujuan yang sama. Kenapa bisa? Akhirnya
saya jawab dalam hati, bahwa kopiah atau peci hitam yang saya pakai menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan peristiwa tersebut berlaku. Kenapa? Mungkin
bagi sebagian pengendara motor, orang yang memakai peci hitam adalah orang
baik-baik, alim atau taat agama, dan bukan penjahat. Oleh karena itu, tidak ada
salahnya menawarkan bantuan kepadanya. Sedangkan bagi orang yang tidak dia kenal,
tidak memakai peci misalnya, tentu ada keraguan untuk menawarkan bantuan.
Jangan sampai nanti dibantu dengan menawarkan diri untuk membonceng, justru
menjadi masalah yang tidak diinginkan.
Dalam
kenyataannya dari dulu hingga saat ini, Insya Allah, di masyarakat kita,
manakala ada seseorang yang memakai peci hitam, songkok haji, atau pakai baju
kokok, maka dia itu dapat dipandang sebagai orang yang beragama. Dia itu adalah
anak yang baik. Tidak berperilaku buruk dan sebagainya. Orang yang memakai
kopiah, sering mendapat keistimewaan dan kemudahan dalam berbagai urusan,
termasuk dalam hal perkawinan. Ada teman saya di Kabupaten Sidrap, katanya dia “dilamar”
oleh seorang ibu untuk dinikahkan dengan putrinya, antara lain sebabnya adalah
karena sering memakai kopiah ke masjid. Kebetulan si teman ini adalah ketua
remaja masjid di kampungnya.
Budaya
memakai kopiah hitam sudah menjadi kebisaan rakyat, bukan hanya di Indonesia,
tapi masyarakat yang bermukim di Kepulauan Nusantara, mulai dari Selatan Tailand,
Semenanjung Malaysia, Singapura, Selatan Filipina, dan tentunya Indonesia. Ini
setidaknya tergambar dari penjelasan dosenku, Prof. Syamsudin, dalam satu sesi
perkuliahan di Universiti Kebangsaan Malaysia beberapa waktu lalu. Pemakaian
kopiah, sebenarnya bukan hanya domain kaum Muslimin. Mereka yang non-Muslim pun
ada yang memakai kopiah. Di kampung saya, Sipirok Sumatra Utara, bahkan ke
sawahpun ada guruku yang pakai kopiah, meski dia itu bukan Islam.
Kecenderungan
pandangan sebagian masyarakat adalah, orang yang memakai kopiah itu adalah
seorang Muslim yang taat. Memang adalah kelihatan aneh apabila ada orang yang
berperangai buruk, memakai kopiah. Misalnya sedang main judi, minum-minuman
keras, atau sedang berpacaran di bawah rimbunan pohon bambu. Mungkin saja ada,
dua-tiga kasus. Lumrahnya, orang yang memakai kopiah tidak akan atau paling
tidak, dianggap jauh dari perbuatan yang tercela.
(Anakku Mara Athirah, sejak kecil sudah
dikenalkan memakai jilbab)
Pandangan
serupa terdapat pada seroang perempuan yang berjilbab. Dipersepsikan sebagai
muslimah yang baik dan taat beragama. Apalagi dengan jilbab yang standar,
artinya memakai jilbab secara utuh, tidak pakai celana panjang, tidak kelihatan
celana dalamnya ketika jongkok atau menunduk. Terlebih lagi bila jilbabnya
adalah jilbab besar, maka kita akan menganggapkan sebagai perempuan yang baik,
alim, taat beragama dan merupakan aktivis pengajian atau organisasi Islam. Perlakuan
masyarakat kepada perempuan yang berjilbab, dalam beberapa kasus adalah
istimewa. Tidak jarang, seorang perempuan yang mengenakan tudung diberikan
prioritas ketika sedang antri di kasir atau saat akan chek-in pesawat. Ini tidak lepas dari pandangan bahwa perempuan yang
memakai jilbab itu adalah perempuan yang baik-baik.
Keadaan tersebut
adakalanya menunjukkan hal yang sebaliknya. Ketika seorang perempuan yang
berjilbab ketahuan mencuri di supermarket, atau ketika dia ketahuan hamil di
luar nikah, terlibat dalam kasus penipuan, dan tindakan-tindakan tercela
lainnya, maka penghakiman atau cercaan masyarakat kepadanya jauh lebih parah
ketimbang kepada perempuan yang tidak berjilbab. Memang, harus diakui bahwa,
perempuan yang berjilbab itu tentu tidak sedikit pula yang tidak mengetahui dan
menjalankan hakikat dari jilbabnya itu. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa ada
sebagian perempuan yang memakai jilbab sekedar tameng, menutupi tingkah
lakunya, atau mungkin juga untuk sekedar mempercantik diri. Perempuan-perempuan
seperti ini adalah yang turut merusak persepsi masyarakat terhadap perempuan
lainnya yang ikhlas memakai jilbab.
KPK tangkap Kopiah dan Jilbab
Sejak
tadi malam, negeri ini digemparkan dengan penangkapan seorang pejabat tinggi
negara, berinisial AM. Bukan main dia ditangkap tangan bersama dengan barang
bukti di dalam mobil dinas di depan rumah dinasnya. Lebih dari itu, seorang
perempuan yang memakai jilbab pun, berinisial Cn, ikut ditangkap dalam operasi
tangkap tangan yang dilakukan oleh petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dalam pandangan saya, penangkapan seperti ini sudah bukan lagi sesuatu
yang amat sangat mengagetkan.
Media
massa, baik media cetak dan elektronik, hingga media online, menjadikan
peristiwa ini sebagai headline,
sepanjang hari. Bagi sebagian orang memang wajar jika terperangah. Awalnya saya
ikut kaget. Namun pada akhirnya, saya maklum saja dengan kelakukan kedua orang
tersebut, baik AM maupun Ch. Sebab apa? Keduanya adalah berasal dari salah satu
partai politik, apalagi partainya adalah partai yang cukup banyak “menyumbang”
penghuni tahanan KPK selama ini. Yang namanya orang sudah berkecimpung dalam
partai politik, korupsi dan perbuatan tercela adalah bagian dari hidupnya,
paling tidak itu adalah analisa pribadi saya untuk saat ini dan berlaku untuk
di negeri ini. Mudah-mudahan tidak
benar. Berbeda halnya ketika KPK menangkap seorang Kepala SKK Migas beberapa
waktu lalu. Saya ikut kaget, karena selama ini dia dikenal sebagai orang baik,
pernah jadi dosen teladan, dan bukan bagian atau belum terkait dengan partai
politik.
Kembali
kepada kasus yang menimpa AM dan Ch. Melalui media massa, kita melihat AM
sering memakai kopiah hitam, baik dalam acara resmi kenegaraan maupun acara
lainnya. Sedangkan Cn, adalah seorang anggota DPR yang memakai jilbab. Saya
perhatikan, jilbabnya cukup baik. Jilbab standar. Artinya apa? Kepada keduanya,
baik AM yang suka pakai kopiah dan Cn, wanita yang berjilbab ini, pandangan
bahwa mereka adalah orang yang baik, taat beragama, sirna seketika.
Melalui
media massa, saya membaca bahwa AM, semasa kecilnya pernah menjadi bagian dari
salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini. Sedangkan Cn juga
dikabarkan adalah seorang mantan guru dan pernah pula terlibat dalam
kepengurusan organisasi wanita Islam di negeri ini. Jadi, bila kita melihat
latar belakang keduanya, AM dan Cn, sesungguhnya adalah orang-orang yang
mengetahui ajaran agama. Mereka pastilah orang yang pernah menyakini adanya
Tuhan, Allah SWT. Akan tetapi, dengan tertangkap tangannya mereka oleh petugas
KPK dengan tuduhan korupsi atau mencuri, maka kita bertanya, apakah mereka
masih percaya adanya Tuhan? Apakah nilai-nilai kopiah dan jilbab yang mereka
sering kenakan itu, masih melekat dalam dirinya? Mereka telah berbuat tindakan
tidak terpuji. Merugikan negara, merusak citra lembaga negara. Lebih parah
lagi, mereka berdua telah turut merusak citra kopiah dan jilbab di mata
masyarakat. ***
(Lantai V Apartemen Pusat Hentian
Kajang, Selangor Darul Ehsan, Malaysia, Kamis, 3 Oktober 2013 sambil menunggu
saat berbuka puasa).
1 Comments
Ralat: Keterangan gambar seharusnya adalah : (Ketika berada di Adelaide, Australia Selatan, ada jamaah masjid dari Myanmar yang mengidentifikasi saya sebagai Muslim dari Indonesia karena saya memakai kopiah).
ReplyDelete