Tribun-Timur, Sabtu, 26 Oktober 2013 http://makassar.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=15
Perencanaan pembangunan
yang profesional, akan mengurangi dampak negatif dari pembangunan itu.
Perencanaan pembangunan semestinya memperhatikan berbagai aspek yang terkait di
dalamnya, termasuk hubungannya dengan manfaat bagi masyarakat. Perencanaan
pembangunan haruslah berdasarkan pemikiran yang matang dan dilaksanakan sesuai
dengan mekanisme yang benar. Perencanaan pembangunan akan lebih baik, manakala
melibatkan masyarakat dengan menerima saran atau ide-ide termasuk kritikan dari
segenap warganegara.
Terhadap beberapa harapan di atas,
saya pikir semua orang sudah tahu. Mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati,
Camat, Lurah, Kepala Desa, serta para anggota parlemen di negeri kita, tentu
dapat menerima konsep tersebut. Manakala ditanyakan kepada mereka, tentunya
akan setuju agar perencanaan pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan dalam petunjuk pelaksanaan
pembangunan, dapat dipastikan bahwa perencanaan pembangunan selalu dibuat
dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, dalam kenyataannya,
mengapa sering terjadi pelaksanaan pembangunan justru ditemukan berbagai macam
kesalahan, tidak sesuai harapan, merugikan masyarakat, bahkan dapat berakibat negatif. Lihatlah contoh di dalam berita tersebut di atas. Pembangunan
drainase yang seyogiyanya diperuntukkan untuk menghindari banjir, justru merusak
fasilitas jaringan telepon, pipa air, mengurangi lebar jalan, dan seterusnya.
Mengapa pembangunan yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat, justru dalam
pelaksanaan membawa kerugian kepada masyarakat?
Bukan lagi hal yang rahasia bila,
dalam banyak kasus, pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkesan
hanya dilaksanakan untuk menghabiskan anggaran semata. Jika tidak demikian,
pembangunan dilaksanakan hanyalah untuk kepentingan pihak tertentu saja. Ada
juga pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi hasrat pribadi sang pejabat
pemerintah. Di samping itu, pembangunan dilaksanakan sebagai balas budi kepada
pihak tertentu. Kita masih ingat ketika M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum
Partai Demokrat, mengatakan bahwa untuk mendapatkan fee dari anggaran, maka
dibuatlah program pembangunan, yang sebenarnya tidak terlalu penting. Contoh,
pembangunan rumah sakit pendidikan bagi sebuah universitas negeri yang memiliki
fakultas kedokteran. Ternyata hal itu bukanlah usulan dari pihak universitas
atau lembaga kedokteran. Melainkan rekayasa dari oknum anggota DPR untuk
mendapatkan fee dari anggaran tersebut. Demikian pula pembangunan pusat olah
raga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Proyek besar tersebut, dimaksudkan antara
lain agar para penentu kebijakan di badan anggaran DPR memperoleh komisi dari
proyek ini.
Saya teringat di kampung, Sipirok,
Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Pada tahun 2010 lalu, Pemerintah Kabupaten
Tapanuli Selatan membangun jalanan di atas perbukitan. Tujuannya, katanya,
untuk membuka akses dan memudahkan jalur transportasi bagi masyarakat di
sekitarnya. Namun sudah tiga tahun, jalanan itu tidak ada manfaatnya sama
sekali. Belum di aspal, jembatan belum ada, pokoknya belum bisa dilalui
kendraan bermotor. Justeru pembangunan jalan itu telah merampas tanah rakyat,
mengurangi debit air untuk areal persawahan, lebih dari itu, sekarang jalanan tersebut sudah ditumbuhi dengan
pepohonan. Mengapa pemerintah membangun jalanan di atas bukit yang tidak
berpenghuni?
Ada lagi satu kasus pembangunan jembatan
di dekat rumah saya di Lingkungan Bakung Kelurahan Samata, Kecamatan Somba Opu
Kabupaten Gowa. Sejak tahun 2010 lalu, ada jembatan di bangun dari satu desa
menuju areal persawahan, melewati sungai kecil, kira-kira sepanjang tujuh meter
dan lebar tiga meter. Jembatan itu memang penting, karena dapat dilalui oleh
petani dan kuda yang membawa hasil pertanian. Jembatan itu memang penting
karena suatu saat, kalau ada pembangunan jalan yang melintasi areal persawahan
itu, menjadi lebih mudah. Dengan adanya jembatan tersebut, harga tanah semakin
mahal. Akan tetapi, yang saya khawatirkan adalah, pada saat ini, jembatan
sebagus itu, belum terlalu diperlukan, karena tidak ada mobil yang akan lewat
langsung ke sawah. Lagi pula, pembangunan jalan juga belum jelas kapan dimulai.
Jangan sampai jembatan tersebut sudah rusak sebelum ada pembangunan jalan
tembus melewati arela persawahan itu.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah sering melakukan
pembangunan suatu proyek yang belum tentu ada manfaatnya bagi masyarakat untuk
masa sekarang ini? Mengapa tidak diprioritaskan proyek lain yang lebih perlu? Ada
indikasi adalah agar dapat mengeluarkan anggaran negara. Dengan keluarnya
anggaran tersebut, maka ada kongkalikong antara oknum pemerintah, kontraktor
dan, tidak tertutup kemungkinan juga adalah aparat keamanan. Namanya, indikasi,
tentu masih perlu dicari kebenarannya. Hanya saja, indikasi seperti itu, mirip
untuk membuktikan adanya, maaf, suara kentut di antara beberapa orang. Ada
suara, ada bau, tapi sulit untuk mengecek dari siapa keluar kentut itu.
Salah satu proyek pembangunan saluran pembuangan kotoran di daerah Taman Tenaga, Kajang, Selangor Malaysia. Pelaksanaannya dilakukan dengan baik, tidak mengganggu fasilitas umum dan jalur transportasi tetap berjalan dengan tertib.
Kembali ke persoalan yang dibahas
dalam surat kabar di atas. Masyarakat menyesalkan adanya pembangunan drainase
yang tidak terencana dengan baik. Mengganggu
jaringan telepon, merusak pipa air minum, dan mengurangi lebar jalanan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah perencanaannya memang sudah seperti itu?
Misalnya, pada saat pelaksanaan penggalian galian tanah, ditemukan kabel
telepon, kenapa tetap dirusak? Demikian juga pipa air, mengapa para pekerja
tidak hati-hati? Dan kenapa juga, jalanan digali sehingga lebar jalan menjadi
sempit? Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dan tidak mengakibatkan
kerugian kepada masyarakat?
Dimana peran pemerintah, mulai dari
pusat hingga ke daerah? Apakah pemerintah tidak melakukan evaluasi terhadap
pembangunan drainase yang sementara dilaksanakan tersebut? Dimana fungsi
pengawasan dari pihak yang ditunjuk? Apakah mereka menemukan pelanggaran atau
tidak? Kalau mereka menemukan pelanggaran, mengapa tidak ditegur? Mengapa tidak
dihentikan, atau dicari solusi lain? Kalau mereka tidak menemukan pelanggaran
misalnya, mengapa ada masyarakat yang merasa dirugikan?
Beginilah kondisi negara kita.
Contoh yang dimuat dalam surat kabar dan kasus yang terjadi di Sipirok itu,
adalah secuil saja. Kalau kita cermati dengan baik, atau kalau kita membaca
berbagai laporan dari masyarakat di berbagai media massa, tentu akan banyak
lagi ditemukan adanya perencanaan pembangunan yang tidak terlaksana dengan
baik, bahkan cenderung dilakukan asal-asalan, dan merugikan masyarakat. Ke
depan, tentu hal tersebut, tidak terjadi lagi. Di mana pelaksanaan pembangunan,
betul-betul untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk merugikannya.***
(Lantai
V Pusat Hentian Kajang, Selangor Darul
Ehsan, tengah malam atau dini hari, Ahad, 27 Oktober 2013).
0 Comments