About Me

Pemilukada, Hilangkan secara Langsung

Salah satu sudut di Kota Adelaide, Australia Selatan. Pemerintahnya dapat memimpin rakyatnya dengan baik. Tingkat kebersihannya sangat memuaskan. Hampir tidak ada sampai berserakan di sepanjang jalan karena pemerintah mampu memikirkan cara mengatasinya.
 
Dari awal saya termasuk seorang warganegara Indonesia yang tidak suka dengan pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Dalam beberapa kesempatan diskusi terbatas dengan teman-teman sesama mahasiswa PhD. Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM),  baik saat di Indonesia maupun di Malaysia, saya sering kemukakan ketidaksetujuan terhadap cara ini. Demikian pula dalam perkualiahan dengan mahasiswa di UIN Alauddin Makassar dulu, tidak jarang saya kemukakan alasan mengapa pemilihan umum kepala daerah secara langsung, harus segera distop. Bahkan dalam satu makalah saya yang diterbitkan oleh Jurnal Mediasi STIKOM Muhammadiyah sekitar tahun 2010 lalu, dalam bagian makalah tersebut saya singgung tentang pemilukada ini.
             Pemilukada langsung diadakan, hingga saat ini adalah yang kedua kalinya dilakukan. Ambil contoh di Sulawesi Selatan dalam pemilihan Gubernur, kalau tidak salah, diawali tahun 2007 dan kedua pada tahun 2013 ini. Kemudian untuk pemilukada Walikota Makassar, pertama diadakan juga pada tahun 2008 dan kedua kalinya adalah tahun 2013 ini. Demikian pula di daerah dan provinsi lain, rata-rata sudah dua kali diadakan pemilukada langsung. Mengapa harus pemilukada langsung? Menurut para pengamat adalah untuk mencapai negara demokratis, memperoleh pemimpin yang legimate, dan untuk memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut menentukan masa depan daerah atau provinsinya. Ini adalah beberapa argumen yang dipakai untuk mengadakan pemilukada langsung. Sangat bagus alasan itu dan boleh masuk akal.
            Dalam kenyataannya, di Indonesia, dari sekian banyak provinsi dan kabupaten/kota yang melakukan pemilukada, hampir semuanya mengalami masalah; konflik, perseteruan, money politic, kekerasan, penipuan, dan seterusnya. Adakah pelaksanaan pemilukada yang jujur, adil dan baik? Hampir tak pernah kedengaran proses yang seperti itu. Justru yang banyak, adalah sebagaimana diutarakan di atas. Pembakaran gedung, kerusuhan massal, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya kerap terjadi dalam setiap pemilukada. Ada pengamat dan politisi yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Katanya, itu adalah proses pembelajaran untuk mencapai negara yang demokratis. Benarkah?
            Bagi saya, ketidaksetujuan terhadap pelaksanaan pemilukada secara langsung ini, selain karena beberapa pengalaman yang tidak baik tersebut di atas, juga karena saya tidak dapat menerima argumentasi bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh pemimpin yang legimate, satu-satunya cara melibatkan rakyat dalam menentukan pemimpin, dan satu-satunya cara untuk mencapai negara demokratis adalah dengan pemilukada! Saya pikir itu adalah pendapat dan tindakan yang kurang tepat. Dalam beberapa aspek, saya setuju dengan konsep negara demokratis. Akan tetapi, untuk mencapainya tidak mesti dengan cara seperti itu atau harus pemilihan langsung saja.
            Bagi saya, negara demokratis adalah negara yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, memberikan keamanan, menjamin kebebasan, memelihara keamanan dan melindungi seluruh rakyatnya daripada kemiskinan atau kemelaratan yang tiada hentinya. Pemimpin yang tidak tega melihat rakyat menderita dan membiarkan penderitaan tersebut tanpa berbuat secara maksimal mengatasinya. Negara yang mampu menyiapkan pengairan bagi persawahan para petani, juga pupuk dan benih unggul, serta pemasaran terhadap hasil-hasil pertaniannya. Negara yang menjamin ketersediaan listrik dan air merata di seluruh tanah air tanpa harus mati setiap hari. Negara yang mampu menyiapkan sarana transportasi secara memadai dan terjangkau. Negara yang memberi lapangan kerja yang layak bagi kemanusiaan terhadap seluruh warganya. Dan segala hal lainnya yang menyangkut kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Negara yang demokratis adalah negara yang dipimpin oleh seorang yang memiliki kemauan dan kemampuan kuat untuk melaksanakan konsep tersebut. Seorang pemimpin dalam negara demokratis adalah orang yang tidak punya niat juga kesempatan untuk memikirkan kepentingan pribadinya, keluarganya, kelompoknya dan orang-orang lain yang memiliki hubungan dekat juga kepentingan tertentu dengannya. Pemimpin yang jujur, adil, dan profesional dalam mengemban amanah yang diberikan kepadanya, dan berani bertanggung jawab jika merasa tidak mampu melaksanakannya.
Dalam kenyataannya di negara kita, Indonesia, yang sudah lima belas tahun memasuki era reformasi, pemimpin sebagaimana yang diharapkan belum kelihatan sama sekali. Yang ada sekarang adalah pemimpin yang berusaha untuk melanggengkan kekuasaannya, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, memperkuat posisi-posisi bagi keluarganya, teman-temannya dan orang-orang yang dia sukai. Pemilukada yang sudah dua kali dilaksanakan di berbagai daerah, belum pernah melahirkan pemimpin yang berintegritas baik sebagaimana diharapkan dalam negara demokratis seperti yang saya ungkapkan di atas. Yang ada adalah melahirkan para koruptor dan pemimpin yang tidak mampu membangun daerahnya. Lihatlah di Pulau Sumatra, sudah ada sembilan gubernurnya yang sudah masuk penjara. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, ada 309 bupati/walikota yang saat ini bermasalah secara hukum. Sebagian besar adalah karena korupsi.
Saya sangat sedih melihat foto seorang Walikota Palopo (saat itu masih menjabat) yang dimuat dalam sebuah harian di Makassar. Dalam foto tersebut sang Walikota, tampaknya akan digiring atau diarahkan masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Sungguh ironi. Demikian pula Walikota Parepare, terpaksa dipecat karena terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi. Kasihan negara ini. Padahal mereka adalah pemimpin yang dipilih secara langsung. Maknanya adalah, tidak ada kaitan atau paling tidak, kecil kaitan antara pemilihan langsung dengan karakter seorang pejabat pemerintahan di negeri ini.
Memanglah kita tidak boleh menutup mata dan telinga, mungkin saja ada satu dua pemimpin seperti itu. Namun apakah sudah mampu membawa kesejahteraan kepada rakyatnya secara keseluruhan? Contoh yang sangat sederhana, adakah pemimpin dari hasil pemilukada ini yang mampu mengatasi kemacetan lalu lintas, mengatasi masalah persampahan, dan mengatasi tindakan kriminal dan kekerasan lainnya? Termasuk misalnya, Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, yang sudah satu tahun memimpin Jakarta, belum menunjukkan tanda-tanda bahwa rakyat Jakarta akan sejahtera secara keseluruhan.
Dalam kaitannya dengan pemilukada secara langsung, dimana pengalaman selama ini selalu menimbulkan berbagai masalah dan biaya yang sangat tinggi, sementara hasil yang diperoleh tidaklah sebagaimana dicita-citakan dalam negara demokrasi. Oleh itu, saya sangat sepakat dengan pihak-pihak yang menghendaki agar pemilihan umum kepala daerah secara langsung ini ditiadakan! Dengan kata lain :
“STOP PEMILUKADA KALNGSUNG! SEKARANG JUGA!”
Apakah ini tidak melanggar HAM, apakah ini tidak kembali kepada kemunduran dalam negara demokrasi? Apakah ini dapat menjamin akan berhasil memimpin pemimpin yang baik? Tentu saja bahwa tidak ada satupun proses yang dilaksanakan di atas permukaan bumi akan berhasil seratus persen sesuai dengan harapan banyak pihak. Akan tetapi yang ingin saya tekankan adalah agar kita dalam memilih pemimpin tidak hanya berfokus kepada satu cara yang resikonya besar dan mahal biayanya. Marilah kita mencoba membuat kriteria demokrasi yang sesuai dengan filosofi budaya bangsa Indonesia. Meniru cara demokrasi negara-negara barat tidaklah salah. Boleh saja kita mengambil cara mereka. Akan tetapi yang penting adalah sesuai dengan kondisi di negara kita. Jangan memaksakan persis sama dengan mereka. Toh, tidak ada juga salahnya bila kita membuat kriteria sesuai dengan apa yang berlaku di negara yang terdiri dari banyak suku bangsa ini.
Apapun caranya dalam menentukan seorang pemimpin baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bagi saya tidak terlalu penting, dan jangan dipatok mati hanya dengan satu cara. Kita perlu melakukan inovasi dalam menentukan cara memilih pemimpin. Memanglah kita tidak bisa lepas dari sistem yang sudah mulai berlaku secara internasional. Pemilihan umum secara langsung misalnya, adalah salah satu ciri negara demokrasi.
Bagi saya, pemilihan umum langsung tetap kita laksanakan. Tetapi cukup untuk memilih anggota legislatif dan memilih presiden saja. Sedangkan untuk pemilihan gubernur dan bupati/walikota, sudah saatnya kita mencari inovasi baru. Bahwa sudah banyak data dan fakta yang menunjukkan ketidakbaikan dari pemilukada langsung ini. Mengapa tetap dipertahankan? Bagaimana solusinya? Itulah yang perlu kita pikirkan bersama, dengan catatan bahwa cara tersebut; dapat memilih pemimpin yang berintegritas, berbiaya murah, rakyat dan partai politik tetap dilibatkan, terhindar dari perilaku-perilaku koruptif, dan cara tersebut sepatutnya dapat mendekati proses demokrasi yang sesuai dengan filosofi budaya bangsa kita.***

           
(Bilik Pelajar Siswazah MENTION, FSSK UKM, Bangi, ba’da Ahsar, 17 Oktober 2013 seusai bertemu dengan penyelia utama).




 

Post a Comment

0 Comments

close