About Me

Guru Besar seharusnya menjadi Contoh Teladan di Negeri ini






 



Pemilihan Rektor Unhas: Antara Guru Besar Palsu dan Demokrasi Palsu

Sebagai dampak atas kekalahan jagonya dalam pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin di Makassar awal pekan ini, tim sukses salah satu kandidat berencana menggugat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permen) yang memiliki hak suara sebanyak 35 %. Berita terakhir, mereka sudah menunjuk seorang pengacara yang akan mengawal gugatan terhadap peraturan tersebut. Para tim sukses  yang akan menggugat dimaksud,  merupakan orang-orang keren dan beken di lingkungan Universitas Hasanuddin. Beberapa diantaranya adalah dekan fakultas, bergelar doktor dan sebagian besar diantaranya sudah menjadi guru besar atau professor.
            Antara alasan menggugat Permen tersebut, adalah mengebiri hak-hak senator universitas, tidak memberikan rasa keadilan terhadap sesama calon yang bertarung, dan melecehkan proses demokrasi dalam perguruan tinggi. Mengebiri hak-hak senat universitas mungkin  ada benarnya, karena sebagian besar anggota senat mendukung salah satu calon yang kalah tersebut, bahkan memperoleh suara terbanyak. Dalam pandangan mereka, karena menteri memiliki hak sebanyak 35 %, sehingga suara anggota senat menjadi tidak berarti. Menteri dianggap tidak memberikan suara yang adil, karena menggelondongkan suara kepada hanya satu orang. Menurut mereka, sepatutnya menteri memberikan porsi suara kepada semua calon, tidak hanya diberikan kepada satu calon saja. Ini dianggap tidak adil. Sedangkan melecehkan proses demokrasi, artinya bahwa suara terbanyak dari kalangan senat, dapat dikalahkan suara senator yang jumlahnya lebih sedikit tapi didukung suara menteri.
            Sebagai alumni Universitas Hasanuddin, tidak ada salahnya saya turut memberikan tanggapan. Terhadap ketiga alasan tersebut di atas, dalam pandangan saya, tentu ada benarnya. Dalam konteks tertentu, sikap mereka ini kita hargai. Akan tetapi yang patut disayangkan adalah, mengapa baru melakukan gugatan setelah semua proses dilalui? Mengapa mereka menggugat ketika jagonya takluk? Jika demikian adanya, mengapa mereka itu tidak memikirkan untuk menggugat sebelum proses dimulai? Apa sebenarnya yang mereka ingin raih; kekuasaan, kedudukan, uang, harta, ataukah pengabdian, keadilan, dan cita-cita luhur dari proses akademik yang demokratis? Pertanyaan-pertanyaan saya tersebut di atas, saya ingin sampaikan kepada mereka yang menggugat, dimana sebagiannya adalah guru besar. Sebab dalam pandangan saya, guru besar yang asli merupakan orang-orang yang semata-mata mengabdikan dirinya untuk aktivitas akademik. Dan sabaliknya.
            Masih dari kampus Universitas Hasanuddin, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya, beberapa dosen yang juga sudah guru besar, dikabarkan juga melakukan langkah yang hampir sama dengan apa yang dilakukan tim sukses calon rektor yang kalah tersebut di atas. Ini berkaitan dengan pesta demokrasi di tingkat fakultasnya. Mereka menggugat keberadaan sejumlah anggota senat fakultas yang menurut mereka diangkat tidak sesuai mekanisme yang berlaku. Sayangnya, mereka baru menggugat setelah dinyatakan kalah dalam pemilihan anggota senat. Bahkan mereka yang para guru besar ini, melakukan demonstrasi; berorasi dan membentangkan spanduk mengkritik sikap dekan fakultas mereka sendiri. Dalam pandangan saya ini juga, sah-sah saja. Walaupun agak janggal terasa karena menggugat setelah dinyatakan kalah.
            Sesungguhnya dalam proses politik, termasuk dalam politik peringkat perguruan tinggi atau universitas, hampir sama dengan yang terjadi pada arena politik praktis dalam kegiatan partai politik. Ada strategi. Ada adu argementasi. Ada persaingan. Ada pelecehan. Ada perang urat syaraf. Ada pernyataan setuju dan ada pernyataan tidak setuju. Ada yang menang dan ada yang kalah. Tidak tertutup kemungkinan adanyanya permainan uang serta perbuatan-perbuatan tidak terpuji lainnya. Kaitannya dengan penggugatan yang dilakukan oleh tim yang kalah, adalah hak mereka. Sudah lazim dalam proses politik di belahan bumi manapun, setiap tim yang kalah, senantiasa mencari celah untuk menggugat tim yang menang. Dengan cara apapun, termasuk dengan cara-cara yang tidak terpuji.
            Namun dalam dunia perguruan tinggi, sebagai lembaga akademik yang menjunjung nilai-nilai moral dan rasionalitas akademik, sepatutnya memberikan contoh teladan kepada bangsa ini. Proses politik dalam perguruan tinggi, sejatinya menjadi cermin bagi proses politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rakyat di negara ini, masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kalangan perguruan tinggi. Kepercayaan tersebut, antara lain diwujudkan dengan menitipkan anak-anak mereka untuk dibina oleh civitas akademik sebuah perguruan tinggi.
            Terhadap kasus yang dimaksudkan di atas, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya:
Pertama. Suara menteri yang cukup besar, yakni 35 % memang dapat dianggap sangat keterlaluan, dari satu sisi, hampir tidak ada artinya suara senator. Sebab misalnya, seorang calon, cukup “mengamankan”  enam belas persen suara, sudah bisa menang dengan catatan “memegang” suara menteri. Namun di sisi lain, aturan itu kan, sudah disepakati. Sifatnya legal karena dijamin Undang-Undang.  Jika sesuatu itu sudah disepakati bersama dan sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, tidak boleh lagi ada yang mengatakan itu tidak mencerminkan demokrasi. Tidak sepatutnya hal itu dipersoalkan ketika suatu proses sudah selesai. Jika tidak setuju, sebaiknya dipersoalkan sebelum  suatu proses dimulai. Itu namanya jantan dan perkasa. Bahkan bila perlu bawalah ke ranah hukum sampai ke tingkat yang paling tinggi. Saya pikir para guru besar yang menggugat suatu aturan setelah dilaksanakan, apalagi mereka berada di pihak yang kalah, adalah kurang tepat.
Kedua. Tentang demokrasi. Bagaimana sebenarnya kita memahami demokratisnya suatu proses politik yang sedang atau sudah berjalan? Apakah ukuran demokratisnya suatu proses? Siapa yang paling berhak menafsirkan proses politik yang demokratis? Para guru besar yang mencoba menafsirkan demokrasi berdasarkan ilmu atau merujuk literatur yang mereka pahami sendiri, dalam pandangan saya, juga sangat-sangat tidak tepat, apalagi mereka adalah berada di pihak yang kalah. Menurut hemat saya, demokrasi itu hampir sama dengan peradaban. Mengutip pendapat Prof. A. Qadir Gassing, peradaban itu adalah taat kepada aturan. Jika kita sudah membuat aturan, manakala kita sudah sepakat dengan konsep atau sistem yang akan diberlakukan, maka laksanakanlah aturan atau sistem tersebut dengan baik, jujur, dan transparan. Apabila hal ini sudah terpenuhi, maka itulah yang dimaksud dengan demokrasi. Bahwa ada penilaian dan pandangan yang berbeda, tentu hal itu juga tidak salah. Akan tetapi dengan memaksakan orang lain untuk memandang dari satu perspektifnya saja, itu kurang baik.
Ketiga. Bagaimana seharusnya pemilihan rektor yang demokratis? Jika kita sepakati bahwa ukuran demokratis itu adalah pelaksanaan terhadap sistem dan aturan yang sudah disepakati bersama, maka semua tata cara pemilihan rektor sama saja. Sama-sama demokratis. Misalnya di lingkungan perguruan tinggi agama Islam, suara terbanyak yang diusulkan senat, biasanya akan ditetapkan oleh Menteri Agama sebagai rektor. Di lingkungan perguruan tinggi negeri lainnya, saat ini sesuai ketentuan yang ada, Menteri Pendidikan memiliki 35 % hak suara. Sedangkan di lingkungan perguruan tinggi swasta, biasanya ditentukan melalui mekanisme yang diatur yayasan. Misalnya, di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, dalam pandangan saya adalah proses yang paling baik. Rektor ditetapkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai pemilik perguruan tinggi, berdasarkan usulan senat universitas tanpa memandang jumlah suara. Dengan cara seperti ini, akan sulit melakukan manuver politik bagi calon. Saya sangat sepakat bahwa jumlah suara bukanlah satu-satunya faktor yang paling dominan untuk menentukan seseorang menjadi rektor. Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berjumlah tiga belas orang, akan memilih satu diantara tiga orang berdasarkan kualitas calon tersebut.
Cara seperti yang dilakukan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah tersebut, ada persamaannya dengan cara Pemerintah Malaysia dalam menentukan Naib Canselor (NC) (setingkat rektor pelaksana) pada universitas yang dibawah kendali kerajaan, iaitu ditetapkan oleh kerajaan. Bagi saya, perguruan tinggi negeri adalah milik negara, dan yang menentukan pimpinan atau rektornya semestinya adalah negara. Demikian juga dalam penentuan dekan, ketua jurusan dan seterusnya, ada baiknya ditentukan oleh negara saja. Tentu dengan mempertimbangkan kapasitas dan kualitas seseorang, bukan karena jumlah suaranya dalam pemilihan semata. Sebab pemilihan dapat saja direkayasa sedemikian rupa oleh orang-orang yang haus kekuasaan, tidak terkecuali oleh beberapa oknum guru besar palsu, dan inilah yang sering mencederai  tatanan demokrasi dan merusak silaturrahim. Sedangkan kapasitas dan kualitas seseorang, hanya dapat dinilai berdasarkan integritas, wawasan keilmuan, inovasi, dan karya nyatanya.***
Surau Asy Syakirin, Taman Tenaga, Selango Darul Ehsan, ba’da makan malam (pesta juadah) rutin bersama jamaah, 30 Januari 2014…diuload ke blog ini Jum’at 31 Januari 2014





Post a Comment

0 Comments

close