http://makassar.tribunnews.com/2014/01/29/orasi-bersitegang-tepuk-tangan-mahasiswa
(diakses, 31 Januari 2014)
Pemilihan
Rektor Unhas: Antara Guru Besar Palsu dan Demokrasi Palsu
Sebagai
dampak atas kekalahan jagonya dalam pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin di
Makassar awal pekan ini, tim sukses salah satu kandidat berencana menggugat
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permen) yang
memiliki hak suara sebanyak 35 %. Berita terakhir, mereka sudah menunjuk
seorang pengacara yang akan mengawal gugatan terhadap peraturan tersebut. Para
tim sukses yang akan menggugat dimaksud, merupakan orang-orang keren dan beken di
lingkungan Universitas Hasanuddin. Beberapa diantaranya adalah dekan fakultas,
bergelar doktor dan sebagian besar diantaranya sudah menjadi guru besar atau
professor.
Antara alasan menggugat Permen
tersebut, adalah mengebiri hak-hak senator universitas, tidak memberikan rasa
keadilan terhadap sesama calon yang bertarung, dan melecehkan proses demokrasi
dalam perguruan tinggi. Mengebiri hak-hak senat universitas mungkin ada benarnya, karena sebagian besar anggota
senat mendukung salah satu calon yang kalah tersebut, bahkan memperoleh suara
terbanyak. Dalam pandangan mereka, karena menteri memiliki hak sebanyak 35 %,
sehingga suara anggota senat menjadi tidak berarti. Menteri dianggap tidak
memberikan suara yang adil, karena menggelondongkan suara kepada hanya satu
orang. Menurut mereka, sepatutnya menteri memberikan porsi suara kepada semua
calon, tidak hanya diberikan kepada satu calon saja. Ini dianggap tidak adil.
Sedangkan melecehkan proses demokrasi, artinya bahwa suara terbanyak dari
kalangan senat, dapat dikalahkan suara senator yang jumlahnya lebih sedikit
tapi didukung suara menteri.
Sebagai alumni Universitas
Hasanuddin, tidak ada salahnya saya turut memberikan tanggapan. Terhadap ketiga
alasan tersebut di atas, dalam pandangan saya, tentu ada benarnya. Dalam
konteks tertentu, sikap mereka ini kita hargai. Akan tetapi yang patut
disayangkan adalah, mengapa baru melakukan gugatan setelah semua proses
dilalui? Mengapa mereka menggugat ketika jagonya takluk? Jika demikian adanya,
mengapa mereka itu tidak memikirkan untuk menggugat sebelum proses dimulai? Apa
sebenarnya yang mereka ingin raih; kekuasaan, kedudukan, uang, harta, ataukah
pengabdian, keadilan, dan cita-cita luhur dari proses akademik yang demokratis?
Pertanyaan-pertanyaan saya tersebut di atas, saya ingin sampaikan kepada mereka
yang menggugat, dimana sebagiannya adalah guru besar. Sebab dalam pandangan
saya, guru besar yang asli merupakan orang-orang yang semata-mata mengabdikan
dirinya untuk aktivitas akademik. Dan sabaliknya.
Masih dari kampus Universitas
Hasanuddin, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya, beberapa dosen yang juga sudah
guru besar, dikabarkan juga melakukan langkah yang hampir sama dengan apa yang
dilakukan tim sukses calon rektor yang kalah tersebut di atas. Ini berkaitan
dengan pesta demokrasi di tingkat fakultasnya. Mereka menggugat keberadaan
sejumlah anggota senat fakultas yang menurut mereka diangkat tidak sesuai
mekanisme yang berlaku. Sayangnya, mereka baru menggugat setelah dinyatakan
kalah dalam pemilihan anggota senat. Bahkan mereka yang para guru besar ini,
melakukan demonstrasi; berorasi dan membentangkan spanduk mengkritik sikap
dekan fakultas mereka sendiri. Dalam pandangan saya ini juga, sah-sah saja.
Walaupun agak janggal terasa karena menggugat setelah dinyatakan kalah.
Sesungguhnya dalam proses politik,
termasuk dalam politik peringkat perguruan tinggi atau universitas, hampir sama
dengan yang terjadi pada arena politik praktis dalam kegiatan partai politik. Ada
strategi. Ada adu argementasi. Ada persaingan. Ada pelecehan. Ada perang urat
syaraf. Ada pernyataan setuju dan ada pernyataan tidak setuju. Ada yang menang
dan ada yang kalah. Tidak tertutup kemungkinan adanyanya permainan uang serta
perbuatan-perbuatan tidak terpuji lainnya. Kaitannya dengan penggugatan yang
dilakukan oleh tim yang kalah, adalah hak mereka. Sudah lazim dalam proses
politik di belahan bumi manapun, setiap tim yang kalah, senantiasa mencari
celah untuk menggugat tim yang menang. Dengan cara apapun, termasuk dengan
cara-cara yang tidak terpuji.
Namun dalam dunia perguruan tinggi,
sebagai lembaga akademik yang menjunjung nilai-nilai moral dan rasionalitas
akademik, sepatutnya memberikan contoh teladan kepada bangsa ini. Proses
politik dalam perguruan tinggi, sejatinya menjadi cermin bagi proses politik
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rakyat di negara ini,
masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kalangan perguruan tinggi.
Kepercayaan tersebut, antara lain diwujudkan dengan menitipkan anak-anak mereka
untuk dibina oleh civitas akademik sebuah perguruan tinggi.
Terhadap kasus yang dimaksudkan di
atas, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya:
Pertama.
Suara menteri yang cukup besar, yakni 35 % memang dapat dianggap sangat
keterlaluan, dari satu sisi, hampir tidak ada artinya suara senator. Sebab
misalnya, seorang calon, cukup “mengamankan”
enam belas persen suara, sudah bisa menang dengan catatan “memegang”
suara menteri. Namun di sisi lain, aturan itu kan, sudah disepakati. Sifatnya legal karena dijamin
Undang-Undang. Jika sesuatu itu sudah
disepakati bersama dan sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku,
tidak boleh lagi ada yang mengatakan itu tidak mencerminkan demokrasi. Tidak
sepatutnya hal itu dipersoalkan ketika suatu proses sudah selesai. Jika tidak
setuju, sebaiknya dipersoalkan sebelum suatu
proses dimulai. Itu namanya jantan dan perkasa. Bahkan bila perlu bawalah ke
ranah hukum sampai ke tingkat yang paling tinggi. Saya pikir para guru besar
yang menggugat suatu aturan setelah dilaksanakan, apalagi mereka berada di
pihak yang kalah, adalah kurang tepat.
Kedua.
Tentang demokrasi. Bagaimana sebenarnya kita memahami demokratisnya suatu
proses politik yang sedang atau sudah berjalan? Apakah ukuran demokratisnya
suatu proses? Siapa yang paling berhak menafsirkan proses politik yang
demokratis? Para guru besar yang mencoba menafsirkan demokrasi berdasarkan ilmu
atau merujuk literatur yang mereka pahami sendiri, dalam pandangan saya, juga
sangat-sangat tidak tepat, apalagi mereka adalah berada di pihak yang kalah.
Menurut hemat saya, demokrasi itu hampir sama dengan peradaban. Mengutip
pendapat Prof. A. Qadir Gassing, peradaban itu adalah taat kepada aturan. Jika
kita sudah membuat aturan, manakala kita sudah sepakat dengan konsep atau
sistem yang akan diberlakukan, maka laksanakanlah aturan atau sistem tersebut
dengan baik, jujur, dan transparan. Apabila hal ini sudah terpenuhi, maka
itulah yang dimaksud dengan demokrasi. Bahwa ada penilaian dan pandangan yang
berbeda, tentu hal itu juga tidak salah. Akan tetapi dengan memaksakan orang
lain untuk memandang dari satu perspektifnya saja, itu kurang baik.
Ketiga.
Bagaimana seharusnya pemilihan rektor yang demokratis? Jika kita sepakati bahwa
ukuran demokratis itu adalah pelaksanaan terhadap sistem dan aturan yang sudah
disepakati bersama, maka semua tata cara pemilihan rektor sama saja. Sama-sama
demokratis. Misalnya di lingkungan perguruan tinggi agama Islam, suara
terbanyak yang diusulkan senat, biasanya akan ditetapkan oleh Menteri Agama
sebagai rektor. Di lingkungan perguruan tinggi negeri lainnya, saat ini sesuai
ketentuan yang ada, Menteri Pendidikan memiliki 35 % hak suara. Sedangkan di
lingkungan perguruan tinggi swasta, biasanya ditentukan melalui mekanisme yang
diatur yayasan. Misalnya, di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah
se-Indonesia, dalam pandangan saya adalah proses yang paling baik. Rektor ditetapkan
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai pemilik perguruan tinggi, berdasarkan
usulan senat universitas tanpa memandang jumlah suara. Dengan cara seperti ini,
akan sulit melakukan manuver politik bagi calon. Saya sangat sepakat bahwa jumlah
suara bukanlah satu-satunya faktor yang paling dominan untuk menentukan seseorang
menjadi rektor. Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berjumlah tiga belas orang,
akan memilih satu diantara tiga orang berdasarkan kualitas calon tersebut.
Cara seperti yang dilakukan oleh perguruan tinggi
Muhammadiyah tersebut, ada persamaannya dengan cara Pemerintah Malaysia dalam
menentukan Naib Canselor (NC) (setingkat
rektor pelaksana) pada universitas yang dibawah kendali kerajaan, iaitu
ditetapkan oleh kerajaan. Bagi saya, perguruan tinggi negeri adalah milik
negara, dan yang menentukan pimpinan atau rektornya semestinya adalah negara.
Demikian juga dalam penentuan dekan, ketua jurusan dan seterusnya, ada baiknya ditentukan
oleh negara saja. Tentu dengan mempertimbangkan kapasitas dan kualitas
seseorang, bukan karena jumlah suaranya dalam pemilihan semata. Sebab pemilihan
dapat saja direkayasa sedemikian rupa oleh orang-orang yang haus kekuasaan,
tidak terkecuali oleh beberapa oknum guru besar palsu, dan inilah yang sering mencederai
tatanan demokrasi dan merusak
silaturrahim. Sedangkan kapasitas dan kualitas seseorang, hanya dapat dinilai
berdasarkan integritas, wawasan keilmuan, inovasi, dan karya nyatanya.***
Surau Asy Syakirin, Taman Tenaga, Selango Darul
Ehsan, ba’da makan malam (pesta juadah) rutin bersama jamaah, 30 Januari 2014…diuload
ke blog ini Jum’at 31 Januari 2014
0 Comments