About Me

Jangan lagi sebut rahasia dalam pemilihan

(Foto: Suasana Wisuda Sarjana Universitas Hasanuddin tanggal 9 September 1999 di Baruga Andi Pangeran Pettarani, Tamalanrea, Makassar).




Golputnya Rektor Unhas Merusak Tatanan Demokrasi

            Dalam delapan tahun kepemimpinan Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.BO, (KK)., sebagai Rektor Universitas Hasanuddin, pada pandangan saya, memiliki kelebihan dan berbagai prestasi yang mesti diacungi jempol. Satu antaranya yang sangat berbeda dengan ketika saya masih kuliah di Unhas pada tahun 1990-an hingga tahun 2005 (S-1 dan S-2), pada kepemimpin Idrus, demonstrasi mahasiswa dan tawuran antar mahasiswa Unhas, sangat jauh berkurang. Bahwa masih ada beberapa kali demonstrasi dan tawuran mahasiswa, memang iya. Pendekatan yang dilakukan oleh Idrus bersama dengan tim kabinetnya, ternyata ampuh dalam menangani “kegalakan” mahasiswa Makassar.
            Terakhir kali saya melihat wajah Prof. Idrus adalah ketika memberikan sambutan dalam rangka seminar serumpun Indonesia-Malaysia kerjasama Universitas Hasanuddin dengan Universiti Kebangsaan Malaysia pada bulan Juni 2011 di Baruga Sangiaseri, Gubernuran, Makassar. Saat itu, saya ingat, antara lain dia berkata bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia, khususnya di Unhas sudah mencapai taraf yang sangat baik. Ini ditandai dengan adanya beberapa mahasiswa Malaysia yang menikah dengan mahasiswa Indonesia, khususnya yang kuliah di Fakultas Kedokteran. Setelah itu, saya tidak sempat lagi melihat wajahnya secara langsung, kecuali di media massa dan membaca berita terkait dengan beliau.
            Pada bulan Juni 2013 lalu, saya sempat menulis sebuah artikel di harian Tribun Timur, berkaitan dengan partisipasi politik warganegara dalam pemilihan umum yang semakin menurun. Dalam artikel dimaksud, saya sempat menulis nama Prof. Idrus yang berkeinginan untuk membantu pemerintah  guna meningkatkan partisipasi politik, melalui Forum Rektor yang beliau pimpin. Antara lain Prof. Idrus mengusulkan pemilihan dapat dilakukan dengan menggunakan elektronik. Tentunya usulan tersebut, adalah untuk membantu meningkatkan kualitas demokrasi di negeri ini. Bagaimanapun dapat dipahami bahwa demokrasi akan sangat berkaitan dengan kehadiran dan partisipasi warganegara dalam pemberian suara terhadap calon atau partai yang akan dipilih.
            Kualitas demokrasi bukanlah sekedar memberikan suara dalam pemilihan umum saja. Datang ke lokasi pemilihan dan memberikan hak suara adalah hanya bagian dari krikterianya. Indikator lain tentang kualitas demokrasi dalam proses pemberian suara, antaranya, iaitu: jujur, adil, rahasia. Pertama, dalam kaitannya dengan kejujuran yakni bahawa pelaksanaan pesta demokrasi itu dilakukan dengan memperhatikan aturan atau regulasi maupun kesepakatan-kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tidak boleh ada unsur manipulasi, kesewenang-wenangan dan pemutarbalikan fakta. Kedua, adil. Ini bermakna semua orang yang memiliki hak pilih, diberikan kesempatan untuk memilih tanpa ada tekanan dan gangguan dalam berbagai bentuk; iming-iming jabatan, atau tekanan untuk menurunkan dari jabatan, maupun dalam bentuk ancaman lainnya. Ketiga, rahasia. Pemilih berhak mendapat perlindungan terhadap kerahasiaan  dalam proses pemberian suara. Kepada siapa suara akan disalurkan, adalah hak pribadi sang pemilih. Kerahasian ini, dimaksudkan untuk menjamin semua orang yang akan memberikan suara berdasarkan pemikirannya sendiri, hasil penelusurannya sendiri terhadap kualitas caloan, tanpa tekanan dari pihak lain.
Prof. Idrus membongkar rahasianya
            Kemarin, perguruan tinggi terkemuka di Indonesia bagian Timur, Universitas Hasanuddin, menggelar pemilihan rektor untuk masa jabatan 2014-2018. Ada tiga calon yang bertarung, yakni Prof. Dr. Andi Wardinan Sinrang (Wakil Rektor II), Prof. Dr. Dwia Tina Pulubuhu (Wakil Rektor IV), dan Prof. Dr. dr. Irawan Yusuf (Dekan Fakultas Kedokteran).  Pemilihan dimenangkan oleh Prof. Dwia yang merupakan guru besar dalam bidang Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sebagai seorang alumni Unhas, melalui kesempatan ini saya mengucapkan shabas dan tahniah kepada dosenku, Bu Dwia, walaupun tidak sempat masuk ke kelasku, sebab saat itu sudah akan berangkat sekolah ke Manila, Philifina.
Seusai pemilihan, Prof. Idrus selaku Rektor dan Ketua Senat, membeberkan rahasia yang sepatutnya dipegang teguh hingga kapanpun. Beliau mengatakan dengan sengaja mencoblos ketiga calon tersebut, karena tidak dapat memilih satu diantaranya. Sebabnya, kualitas ketiganya adalah sama. Sebagai pribadi, tentu tidak ada larangan untuk membocorkan rahasia pribadi kita. Itu sah-sah saja. Akan tetapi, dalam konteks demokrasi dan pembelajaran publik, bolehkah membocorkan rahasia pribadi dalam hal kepada siapa dia menyalurkan suaranya?
            Pada pendapat saya, membeberkan siapa yang dipilih dalam dalam satu pesta demokrasi dalam tingkatan manapun, adalah tindakan yang tidak seharusnya apalagi jika dipublikasikan kepada masyarakat luas melalui media massa. Mungkin boleh saja, jika itu disampaikan kepada pihak-pihak tertentu, kepada kolega, keluarga, atau kepada atasan. Terlebih lagi substansi rahasia itu adalah sesuatu yang tidak baik, justru dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat yang menjadi panutan warganegara dalam mengambil keputusan.
Pertama. Mengatakan bahwa dengan sengaja mencoblos tiga calon, berarti suaranya adalah batal. Suara yang batal tentu tidak bisa dihitung akan memilih yang mana. Dengan sengaja membatalkan suara sama dengan tidak mau mengambil resiko. Dalam keadaan seperti itu, dapat pula diartikan dengan sadar tidak mau memilih, atau dengan kata lain  merasa mantap bahwa, memilih atau tidak memilih adalah tidak penting. Bolehkah berprinsip seperti itu? Tentu boleh karena itu menjadi bagian hak asasi pribadi sebagai manusia yang bebas menentukan sikap dalam konteks demokrasi.
Kedua. Membocorkan rahasia pribadi bahwa tidak mau memilih salah satu calon dengan alasan apapun, sesesungguhnya tidak baik terlebih manakala hal tersebut disampaikan kepada masyarakat luas. Sebab itu akan menjadi contoh yang tidak baik. Bila berpandangan kepada alasan pada poin satu di atas, maka boleh jadi orang akan enggan atau malas berpartisipasi dalam pemilihan umum. Kalau alasannya tidak bisa menentukan pilihan diantara calon yang sama-sama baik, maka semua orang akan dapat beralasan yang sama. Misalnya, semua calon presiden yang akan dipilih dalam pemilihan umum tahun 2014. Pastilah semua calon presiden memiliki program yang baik. Coba baca semua program kerja, visi dan misa, calon, pasti baik semua, tidak ada calon yang tidak baik. Jika semua programnya, baik, untuk apa lagi saya ikut memilih. Tinggal menunggu siapa yang akan menang. Toh, semuanya baik?
Ketiga. Bersikap seperti di atas, apalagi dilakukan oleh public figur, memberikan kesan terkait dengan konsistensi, kualitas dan kepribadian individu yang bersangkutan. Dengan sengaja membatalkan suara, karena merasa semua calon adalah baik, dapat dipandang sebagai tindakan mencari posisi aman dan  tidak mau mengambil resiko negatif. Untuk apa? Ingin mendapat kedudukan? Tak mau merusak hubungan silaturrahim dengan ketiga kandidat? Tak ingin dikatakan berat sebelah atau tidak adil kepada sesama teman atau keluarga besar salah satu dari calon tersebut?
            Perbuatan yang dengan sengaja membatalkan suara, substansinya adalah sama saja dengan sikap “golput” atau golongan putih, yakni tidak mau ikut memilih. Yang berbeda adalah golput, terang-terangan tidak mau datang memberikan hak pilihnya.  Semua itu memang menjadi hak setiap pribadi untuk mengambil tindakan sesuai dengan hati nuraninya. Semua orang memiliki alasan untuk berbuat, untuk memilih, untuk tidak memilih, dan untuk dengan sengaja membatalkan pilihan. Namun demikian, memberitahukan rahasia pribadi kepada orang lain dengan sengaja, untuk tujuan dan dengan alasan apapun, adalah perkara yang kurang tepat dilakukan oleh seorang pemimpin! ***
Wallahu ‘alam
Makmal Komputer Aras II FSSK UKM, Bangi, 28 Januari 2014

Post a Comment

0 Comments

close