Ketika Jamaah Memarahi
Imam
Sepatutnya seorang imam adalah
penuntun dalam melaksanakan ibadah. Jika kita sudah mengangkat seorang imam,
hendaklah mengikuti apa yang dia perintahkan. Manakala ada kesalahan seorang
imam, Islam telah menjelaskan tata cara penegurannya yang dilakukan secara
santun dan bijaksana. Paling tidak, jika tidak mau mengikuti perintahnya, diam
saja atau tinggalkanlah secara pribadi, jangan mengajak orang lain, apalagi
kalau sampai memprovokasi jamaah lain.
Beberapa
malam lalu di Surau Asy Syakirin, Taman Tenaga, Kajang, Selangor Darul Ehsan,
Malaysia, saya mengikuti shalat magrib berjamaah. Setelah itu, dilanjutkan
dengan acara pengajian rutin, Magrib-Isya. Yang bertindak sebagai imam dan
melanjutkan mengisi pengajian malam itu adalah seorang syekh berparas orang
dari Timur Tengah. Saya tidak tahu persis dari negara mana dia berasal. Ceramah
disampaikan dalam bahasa Arab. Saya tidak paham betul apa yang dia sampaikan,
sedangkan jamaah sebagian besar memang adalah orang-orang yang juga berparas
Arab. Di beberapa bagian pinggir surau, tampaknya pelajar dari Indonesia dan
warganegara Malaysia sendiri.
Pengajian
berlanjut hingga memasuki waktu Isya. Bunyi alarm jam yang menunjukkan masuknya
waktu Isya, lewat begitu saja. Mungkin sekitar lima hingga sepuluh menit
kemudian, pengajian selesai. Sudah sering terjadi kalau pengajian melewati
waktu Isya, tidak ada lagi azan. Artinya langsung iqamah dan shalat. Imam
shalat Isya, masih tetap sang penceramah yang berparas Arab tadi. Sampai di sini
tidak ada masalah.
Begitu
selesai salam pertama dan salam kedua, saya agak heran melihat seorang
berpakaian putih, bertubuh tegap, maaf, kulit hitam pake kopiah. Tampaknya dia
adalah pelajar dari Afrika, entah dari negara mana. Dari luar, beranda surau,
dia masuk agak cepak. Biasanya selesai shalat, orang pada keluar. Dia justru
masuk. Kebetulan lewat dari shaf tempaku shalat. Tiba-tiba dia mengeluarkan
kata-kata, agak marah dan kesal kepada sang imam yang ceramah tadi. Dia
berbicara dalam bahasa Inggris. Inti
kemarahannya ada dua, pertama: kenapa ceramahnya panjang sekali, melewati waktu
shalat Isya, sudah banyak orang berdatangan untuk shalat. Kedua, kenapa ceramah
dalam bahasa Arab, sedangkan banyak orang yang tidak mengerti, terutama pelajar
dari negara-negara lain. Menurutnya, seharusnya ceramah tersebut diterjemahkan
ke dalam bahasa Malaysia atau bahasa Inggris, supaya jamaah memahaminya. Ketika dia masih mengeluarkan kata-kata
kekesalannya, beberapa pengerusi surau mendekati dan menepuk punggungnya.
Akhirnya dia berhenti bicara dan mengucapkan salam lalu pergi.
Inilah
kita umat Islam, baik di Indonesia, di Malaysia, maupun di negara-negara lain,
cepat sekali marah untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu dimarahi. Bahkan
untuk hal yang sangat baikpun masih dimarahi. Kalaupun itu salah, mengapa tidak
ditegur dengan cara yang bijaksana. Bagaimana perasaan seorang imam dimarahi
oleh seorang jamaah dihadapan jamaah lainnya? Yang kedua, seorang imam atau
penceramah sepatutnya memang memahami kondisi jamaah, baik aspek demokrasi,
psikologis maupun keadaan setempat lainnya. Kurang elok memang ceramah
dihadapan orang yang sudah bersiap akan melaksanakan shalat. Mesti dipahami
bahwa para jamaah tentu ada banyak urusan di luar yang sudah terjadwal
sebelumnya.
Namun
demikian, seorang jamaah pun tidak pantas memarahi imam atau penceramah. Sebab
selain kurang menghargai, juga hal itu tidak etis. Dalam surau atau masjid,
biasanya ada pengurus yang bertanggungjawab terhadap aktivitas di situ. Kepada
merekalah sepatutnya disampaikan keberatan apabila ada. Jangan
langsung-langsung tanpa a…b…c….d ….. memahari orang lain.***
Aras 2 PTSL, UKM, Bangi
24 Januari 2014
0 Comments