About Me

Perlukah Negara Mengurusi Toilet?








(Bangunan khusus toliet untuk anak-anak di Cowandilla Primary School, Adelaide, tempat tiga orang anak saya pernah sekolah).

Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh dua status yang berbeda dari dua orang teman saya di media sosial. Pertama, seorang dosen UIN Alauddin Makassar menulis statusnya tentang tidak adanya air dalam toilet di kampusnya. Selain itu, toilet itupun busuk dengan kotoran manusia yang tidak disiram. Status kedua, ditulis oleh teman saya dosen Universitas Hasanuddin. Mirip dengan status pertama, dia juga menceritakan ketidaktersediaan air di toilet dalam kampusnya, sehingga untuk bersuci, mesti menahan air hujan yang menetes dari atap bangunan  yang bocor.
            Saya termasuk orang yang paling suka menggunakan  toilet. Dalam satu atau dua jam, selama tidak tidur, mesti masuk ke toilet. Dimanapun berada, baik kendaraan maupun di pesawat. Dalam penerbangan Makassar – Kuala Lumpur, misalnya, selama penerbangan dengan durasi tigam, paling sedikit dua kali saya ke toiliet. Ketika saya berada di Adelaide, Australia Selatan antara bulan Maret hingga Juli 2013, saya paling khawatir tidak menemukan toilet kalau lagi ke luar rumah. Sebelum keluar rumah, saya harus ke toilet dulu. Setelah sampai di tujuan, saya mesti cari toilet dulu, baik di pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, di lapangan olah raga, maupun di rumah teman. Apalagi dalam suasana yang sangat dingin, dan suka minum, menambah keharusan untuk menggunakan jasa toilet.
Tentang toilet, saya punya pengalaman unik. Suatu ketika, saya pernah ditegur oleh seorang guru di sekolah anak-anakku saat mengantar mereka. Saya masuk ke toilet anak-anak untuk buang air. Rupanya itu adalah yang kesekian kalinya, sang guru melihat saya masuk ke toilet anak-anak. Saya masuk ke situ, karena sebelumnya, saya pernah tanya kepada seseorang di kawasan sekolah itu, dimana ada toilet? Lalu menunjukkan toilet anak-anak tersebut. Guru yang menegur saya itu, meminta saya jangan lagi masuk ke situ. Dia mempersilahkan saya masuk ke toilet yang terdapat di ruangan kantor guru. Katanya, orang tua tidak boleh masuk toilet anak-anak. Karena, anak-anak biasa kaget kalau ada orang dewasa dan khawatir terjadi pecelehan terhadap anak-anak. Rupanya ada seorang murid yang melaporkan kejadian itu, ketika saya masuk toilet anak-anak, kepada orang tuanya, lalu orang tuanya melaporkan itu kepada pihak sekolah. Sebenarnya, saya merasa tidak bersalah, karena di depan toilet itu tidak ada tanda-tanda khusus untuk anak-anak dan tidak ada larangan masuk bagi orang dewasa. Sejak saat itu, pihak sekolah memberi tanda khusus untuk toilet anak-anak.


(Ini adalah fotoku di salah satu taman terbuka di Kota Adelaide. Di belakang sana, dekat mobil putih, ada papan biru. Itu adalah tulisan yang menunjukkan arah toilet umum. Bersih, dan gratis).      

 Masih di Adelaide, suatu malam, sekitar pukul sebelas malam, kami pulang dari Handorf, tempat kediaman orang-orang Jerman, satu kawasan rekreasi di daerah pegunungan. Dalam bus, beberapa anak muda mendatangi sopir. Satu orang diantara anak muda itu, minta supaya bus berhenti di pinggir jalan, karena akan buang air. Awalnya sopirnya tidak mau karena itu adalah jalan tol, dilarang berhenti. Lalu beberapa anak muda lainnya mendatangi sopir, kalau tidak mau berhenti, mereka akan buang air dalam bus. Akhirnya, sang sopir mengalah, dan meminggirkan busnya. Anak-anak muda itu berlarian turun. Tentu untuk buang air. Setelah itu, mereka masuk ke dalam bus, tak lupa mengucapkan terimakasih kepada sang sopir.

Dalam pengamatan saya, pemerintah setempat sangat memperhatikan toilet. Di tempat-tempat keramaian, selalu ada toilet. Di taman-taman, di pinggir jalan-jalan utama, di pusat kota, pasti ada toilet. Hanya bagi orang baru, atau pelancong yang pertama kali datang, memang akan agak sulit menemukannya toilet, apalagi kalau malas bertanya. Semua semua toilet di Adelaide,  bersih dan ada airnya. Dari sekian toilet yang saya masuki, tidak ada yang tergenang. Bahkan ada satu toilet di dekat Rundle Mall yang sangat unit. Semua otomatis. Pintu masuk dan keluar otomatis, air mengalir otomatis, dan ada musiknya. Satu lagi, semuanya gratis. Tak pernah saya membayar masuk ke toilet. Semua urusan toilet ini, menjadi tanggung jawab pemerintah.
            Hal yang hampir sama saya dapati di Malaysia. Di tempat-tempat keramaian, selalu ada toilet. Hanya memang berbeda dengan yang ada di Adelaide. Di Malaysia, dalam satu dua, ada juga yang kelihatan jorok, penuh dengan tulisan dengan kata-kata porno, terutama di perhentian-perhentian bus antar kota. Namun demikian, dari segi ketersediaan air, toilet di Malaysia lumayan baik. Yang kedua, di beberapa tempat, masih ada toilet yang membayar masuk. Utamanya di stasiun komuter dengan bayaran 30 sen sekali masuk atau sekitar seribu rupiah.
Ada juga yang agak aneh dengan toilet di Malaysia.  Di beberapa pusat perbelanjaan, toilet di lantai atas, gratis. Sedangkan toilet di lantai bawah, membayar. Ada pula pusat perbelanjaan di bawah menara Petronas. Ada toilet yang membayar ada pula yang gratis. Tentu fasilitas toilet yang membayar dan yang gratis berbeda. Tapi dalam pandangan saya, sama saja, atau tidak jauh beda. Hanya di lantai III yang membayar itu, tempat menjual barang-barang mewah.  Mengapa membayar di lantai III? Karena orang-orang kaya akan malas turun ke lantai I, hanya untuk buang air. Lebih baik membayar dua ringgit, daripada turun ke lantai I dan tentu akan memakan waktu. Ada juga hal yang menarik di Malaysia. Iklan untuk menjaga kebersihan toilet. Di beberapa stasiun televisi, beberapa kali saya menyaksikan adanya iklan dari pemerintah agar rakyat Malaysia menjaga kebersihan toilet. Hal ini katanya, untuk menjaga agar para pelancong senang datang ke Malaysia.
Bagaimana dengan Indonesia?
            Sudah lumrah bahwa toilet yang bersih dan tersedia airnya adalah di kamar-kamar para pejabat. Cobalah lihat di gedung rektorat sebuah universiti, bangunan bank, atau kantor pejabat pemerintah. Toilet untuk pejabatnya, pastilah bersih dan harum. Bandingkan dengan toilet umum untuk mahasiswa, untuk pelanggan, untuk masyarakat lainnya. Apakah bersih? Tentu ada juga yang bersih, tapi tidak semua, bahkan lebih banyak yang tidak bersih. Sekitar dua minggu lalu, saya berada di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Ada toilet di bagian luar bangunan sebelum pintu masuk. Saluran air buang air kecilnya, buntu. Air tergenang dalam kloset.
            Ketika kita masuk ke pusat perbelanjaan, hampir semua ada toiletnya. Ada yang bersih ada pula yang kotor. Ada yang gratis ada pula yang membayar. Di Mall Ratu Indah, tolietnya bersih dan gratis. Di Mall Panakkukang, toiletnya bersih tapi membayar. Makanya, jangan heran di sekitar Mall Panakkukang, oleh sebuah media online menulis, terdapat bau pesin (kencing) di beberapa sudut. Kenapa? Maaf, para sopir dan sebagai pengunjung, yang enggan membayar, lebih suka kencing di berbagai sudut bangunan. Kondisi seperti ini banyak ditemukan di berbagai tempat, bukan hanya di situ. Masih tersebut, terdapat satu mushalla. Tapi di mushalla itu tertulis “Tidak Ada Toilet”. Dalam pengetahuan saya, satu-satunya mushalla yang tidak ada toiletnya hanya di situ. Mengapa tidak ada toilet di mushalla itu? Supaya orang yang mau buang air, hendaknya pergi ke toilet yang membayar.
            Nah, kembali ke pertanyaan dalam judul di atas. Perlukah negara mengurusi toilet? Jawabannya tentu perlu. Tapi mengapa perhatian negara terhadap toilet masih kurang baik atau tidak menjadi perhatian serius? Sulit menjawab dengan pasti, perlu ada penelitian tentang itu. Namun dalam benak saya, paling tidak ada dua penyebab sehingga perhatian negara ini terhadap toilet tidak sama, misalnya dengan Pemerintah Australia. Pertama, urusan buang air adalah urusan pribadi. Karena itu urusan pribadi, maka pemerintah tidak mau terlalu campur tangan mengurusinya. Dia lupa bahwa, urusan buang air itu, berkaitan dengan kesehatan. Dia lupa, bahwa urusan kesehatan warganegara adalah menjadi kewajiban pemerintah, di negara manapun. Kedua, mengurus toliet, karena menimbulkan bau, tidak banyak orang yang mau bekerja membersihkan toilet. Mungkin karena gajinyanrendah, menurunkan drajat seseorang, atau dapat menimbulkan penyakit. Kita lupa, bahwa di Australia, semua masalah itu dapat ditangani dengan baik. Ketiga, mungkin karena pemerintah merasa tidak mendapat keuntungan secara finansial dari mengurusi toliet itu. Dia lupa bahwa, keuntungan tidak hanya diukur dengan keuangan saja. Ketenangan warganya dalam buang air, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit, merupakan keuntungan yang sangat besar.***
Kampus UKM, Makmal Komputer, FSSK, 27-1-14

Post a Comment

0 Comments

close