About Me

Hadiah Shalat untuk Anak-anak dan Orang tua

(Anak-anak ketika akan diajak shalat tidak salah memberikan hadiah. Kepada para orang tua yang tidak terbiasa shalat, boleh saja diberikan hadiah tapi jangan selalu...Foto: Anakku Luqman ketika menunggu bus di Adelaide, hendak pergi shalat jum'at).



Shalat Berhadiah, Melihat dari Sisi Positifnya
Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan, menjadi buah bibir dalam pemberitaan media massa dalam satu bulan terakhir ini. Penyebabnya karena ia mengadakan semacam sayembara berhadiah bagi orang yang menghadiri shalat di masjid dengan sejumlah syarat. Tak ayal, pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam perdebatan di media sosial, tidak jarang memberikan komentar yang bernada miring terhadap program yang baru pertama kali diadakan ini. Adapun dalam media massa, sang Wali kota berkata, tidak ada maksud lain dari program shalat berhadiah tersebut kecuali niatan ingin menjadikan Kota Bengkulu sebagai Kota Relijius yang dimulai dari Islam lalu akan diikuti oleh penganut agama lainnya.
            Saya sangat setuju bahwa dalam melaksanakan shalat itu adalah dengan keikhlasan, kesadaran sendiri, tak boleh ada paksaan, dan tentu sebaiknya bukan karena ada iming-iming. Melaksanakan shalat adalah panggilan nurani sebagai wujud ketaqwaan seorang umat Islam kepada Allah SWT. Sebagai bentuk daripada rasa syukur dan tawaddu kita kepada-Nya. Sebagai bentuk kepatuhan kita kepada-Nya. Jadi shalat mestinya dilaksanakan dengan panggilan nurasi seorang muslim yang merasa dirinya adalah hamba yang patuh dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.
            Meskipun saya dapat memahami berbagai penolakan atas program shalat berhadiah ini, namun tetap boleh dipandang dari aspek  positifnya.  Sebagai seorang pemimpin, Walikota ini memang ingin melihat warganya patuh dalam melaksanakan ibadah. Mengajak orang untuk shalat tentunya boleh dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan memberikan hadiah. Saya sebenarnya berharap agar seluruh bupati, gubernur, hingga presiden, memiliki program dan upaya nyata untuk meningkatkan gairah beribadah bagi seluruh warganya. Bahawa dalam hal ini ada kekurangan dan kejanggalan, inilah yang perlu dibenahi.
            Saya jadi teringat dengan cerita seorang rekan saya yang bernama, Ruslan Ramli. Dia adalah seorang jurnalis Harian Fajar Makassar, sekitar dua tahun lalu. Dia pernah bercerita kira-kira begini:  Dalam liputan ke  desa dalam satu kabupaten di Sulawesi Selatan, seorang bupati berkunjung ke rumah pak desa menjelang magrib. Tiba di rumah pak desa, sang bupati dan rombongan disuguhi makanan ringan, tentunya kue-kue tradisional. Tak lama kemudian, adzan magrib berkumandang dari masjid. Maka bergegaslah semua orang dalam rumah tersebut pergi ramai-ramai ke masjid. Yang tertinggal hanya dua orang, sang bupati dan satu orang ajudannya. Bayangkan, seorang bupati tidak merasa risih, tidak merasa malu, ketika semua orang pergi shalat, dia tetap saja tidak tergerak hatinya untuk ikut pergi shalat. Karena apa, tentu jawaban yang paling mudah adalah karena tidak ada hidayah dari Allah SWT.
            Ada lagi cerita tentang pemilihan bupati dan wakil bupati di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Cerita ini tidak jelas asal muasalnya, tapi perlu menjadi pelajaran. Salah satu pasangan bupati/wakil bupati itu, diperkirakan akan menang, karena mendapat dukungan dari satu kelompok organisasi kemasyarakatan Islam di Kabupaten tersebut. Maklum, calon wakil bupatinya adalah anak dari seseorang yang pernah jadi tokoh agama Islam di kabupaten tersebut. Jadi diharapkan atau diperkirakan, semua anggota ormas tersebut akan memilihnya. Apa yang terjadi? Pasangan ini ternyata kalah. Usut punya usut, mereka kalah karena tidak mendapat dukungan dari ormas Islam ini, disamping mungkin saja ada variabel lain. Mengapa ormas Islam tidak mendukung mereka? Alasannya sederhana bagi orang tapi sangat substansial bagi pengikut ormas Islam ini. Mereka mahu mendukung calon wakil bupati, tapi tidak mau dipimpin oleh bupatinya. Kenapa? Karena sang calon bupatinya, pernah menjadi camat di salah satu kecamatan dalam kabupaten tersebut. Ketika itu, banyak saksi yang melihat sang camat ini ketika itu, tidak pergi shalat jum’at. Dia masih tetap berada di kantor ketika orang sudah pergi ke masjid dan masih tetap di situ ketika orang sudah kembali dari masjid. Hal ini berulang kali terjadi dan dapat dinyatakan bahwa sang camat ini sudah sering tidak shalat jum’at.
            Demikianlah, semoga menjadi perhatian bagi kita semua. Kembali ke topik tentang shalat berhadiah, dalam pandangan saya lihatlah dari sisi positifnya. Saya juga heran kenapa di negara ini, kalau ada program yang berkaitan dengan agama, selalu dilihat dari sisi negatifnya dengan berbagai dalil dan provokasi. Termasuk dari mereka-mereka yang sesungguhnya beragama Islam namun ingin dikatakan toleransi, pluralisme, dan demokratis. Tapi saya tidak tahu, apakah mereka-mereka yang menolak ini sudah bagus pelaksanaan shalatnya atau tidak.  Hanya Allah SWT yang tahu. Bravo pemimpin yang mengajak warganya beribadah menurut agamanya masing-masing. Amiin.
Bilik Siswazah Mention, sambil menunggu jawaban jadwal konsultasi dari penyelia, jelang dhuhur, Senin, 24-2-14

Post a Comment

0 Comments

close