(Foto: Taman Makam Pahlawan Simagomago Sipirok. Sahala Muda Pakpahan dimakamkan di sini)
Westerling, Anjingnya Tetanggaku, dan Singapura
Bagi
masyarakat Sulawesi Selatan, nama
Westerling merupakan seorang musuh yang paling nyata. Dia adalah komandan
tentara Belanda yang dianggap paling kejam. Bagaimana tidak, 40 ribu jiwa
penduduknya tewas dibantai oleh pasukan Westerling pada masa peralihan
pengakuan kedaulatan RI oleh Pemerintah Belanda pada sekitar tahun 1949-1950.
Bahwa banyak versi yang hingga saat ini masih kontroversi, namun di Makassar
terdapat sebuah monumen yang disebut dengan “Monumen Korban 40 Ribu Jiwa”. Ini
menandakan perlakukan yang dilakukan oleh Westerling tersebut sangat melukai
hati rakyat Sulawesi Selatan.
Saya
memperoleh informasi bahwa oleh Pemerintah Belanda, keberadaan seorang
Westerling itu tidak diakui. Bahkan ada pula informasi yang mengatakan bahwa,
atas perlakukan
Westerling tersebut, Pemerintah Belanda
menganggapnya sebagai suatu kesalahan. Okelah, nasi sudah menjadi bubur.
Korban 40 ribu yang tewas tersebut tidak mungkin dihidupkan kembali, termasuk
pula adanya permintaan maaf dari mereka. Kira-kira, apa pendapat kita atau
bagaimana perasaan rakyat Sulawesi Selatan jika Pemerintah Belanda mengangkat
Westerling sebagai seorang pahlawan? Namanya dipajang dalam negara dalam
berbagai bentuk dan kegunaan?
Anjingnya Tetanggaku
Di
Sipirok, tempat kelahiran saya, sekitar akhir tahun 1980-an, adalah seorang
pemilik warung yang memiliki anjing. Warnanya putih, kecil dan suka
menggonggong. Dari rumahku ke rumahnya, sekitar seratus meter. Entah karena
apa, sang pemilik warung memberi nama anjing itu dengan nama “Nova”.
Menurutnya, nova itu berasal dari bahasa Rusia, yang artinya anjing. Jadi,
setiap dia memanggil anjingnya, dengan sebutan nova. Berkali-kali saya dengar
panggilan itu. Ketika saya lewat depan warungnya, apakah berbelanja, atau
sekedar lewat saja, nama panggilan tersebut sering terdengar.
Tidak
jauh dari rumah kami, masih dalam satu desa, seorang temanku yang masih
sama-sama kanak-kanak, adalah yang bernama Nova Hutasuhut. Saya tidak tahu
persis siapa nama sebenarnya. Tapi dari dulu itulah nama panggilannya. Dia
lebih tua setahun dari saya. Kami bersekolah di tempat yang berbeda, dia SD
Negeri 5, saya sendiri SD Negeri 4, tetapi kedua sekolah ini masih
berdampingan, satu pagar dan satu pintu gerbang.
Ketika
mengetahui bahwa si pemilik warung tersebut memberi nama anjingnya dengan
“Nova”, alangkah kagetnya mereka, termasuk orang tua dan saudara-saudaranya.
Kita juga kaget, masyarakat juga kaget. Koq teganya memberi nama anjing dengan
nama orang? Kan sudah duluan anak itu dipanggil nama Nova? Kenapa dia tega
memberi nama anjingnya persis sama dengan nama seorang anak di desa tersebut?
Tak ada yang berani menentang. Maklumlah, dulu itu, yang namanya pemilik
warung, selalunya dianggap lebih kaya dan lebih berada. Bahwa itu adalah
haknya, ya. Tapi dimana perasaannya?
Namun
demikian, hingga saat ini, saya tidak tahu, apakah ada kejadian atau persoalan
karena nama tersebut. Entahlah. Setelah beberapa saat, teman kami yang bernama
Nova tersebut, pergi merantau ke Jakarta dalam usia masih dini. Sedangkan anjingnya
tetanggaku itu tetap bersama dengan sang pemilik warung, tidak tahu juga saya
kelanjutannya, karena saya juga segera merantau ke Makassar. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya mendapat
kabar bahwa sang pemilik warung sudah meninggal dunia dan, si Nova teman kami
juga dikabarkan sudah meninggal dunia. Sementara anjingnya, saya tidak tahu
persis.
Bagaimana
pendapat kita terhadap kasus tersebut? Di satu sisi, memberi nama adalah hak
pribadi. Tapi di sisi lain, dimana diletakkan perasaan dan hati nurani kita?
Sebagai seorang umat Islam, sebagai orang yang bertetangga, sebagai orang yang
ingin rukun hidup, sebagai tokoh masyarakat, sebagai sesama warganegara, apakah
tega memperlakukan orang lain dengan cara tersebut?
(Foto: Berada di depan Masjid Sultan, Singapura tahun 2012 lalu. Awalnya, masjid ini dibangun antara lain oleh perantau dari Bugis-Makassar)
Kapal TNI AL dan Singapura
Dalam
satu dua hari ini, pemerintah Indonesia disibukkan dengan keberatan Pemerintah
Singapura tentang pemberian “Usman
Harun” sebagai nama kapal perang milik TNI Angkatan Laut. Pemerintah Singapura
mengecam pemberitan nama tersebut, dengan alasan bahwa akan mengorek luka lama.
Dimana nama Usman dan Harun adalah nama anggota pasukan marinir Indonesia yang
membom kawasan perkantoran di Singapura pada tahun 1965. Pemboman tersebut
telah menewaskan beberapa orang dan melukai banyak orang. Kedua orang ini telah
dieksekusi mati oleh Pemerintah Singapura dan jenazahnya diserahkan ke
Indonesia lalu dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata Jakarta. Keduanya
pun diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Ada
dua hal yang berbeda dalam memandang posisi kedua orang ini. Pemerintah
Singapura menganggap mereka adalah penjahat yang membunuh warganya. Sehingga
mereka merasa keberatan jika nama kedua orang itu diabadikan sebagai nama
sebuah kapal. Bahkan Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam dalam
pernyataan tertulisnya Rabu (05/02) malam, akan mengorek kembali luka lama
warga Singapura, "terutama keluarga para korban".
Sedangkan
pemerintah Indonesia mengangkat keduanya sebagai pahlawan nasional karena
“berjuang” atas perintah negara. Pemerintah Indonesia tampaknya tidak bergeming
dengan rencana tersebut. Bahkan juru bicara TNI Laksamana Muda Iskandar
Sitompul mengatakan tak soal ada keberatan itu ditujukan pada Indonesia, karena
menilai ini sekedar beda persepsi antara dua negara (lihat http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/02/140206_kriusmanharun.shtml).
Saya tidak tahu persis apakah sesungguhnya yang terjadi di belakang kasus ini.
Apakah ini sedang terjadi perang dingin atau perang urat syaraf antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura? Entahlah ya.
Meskipun saya
bukan warganegara Singapura dan saya adalah seorang aparat negara, namun saya
mencoba memahami perasaan pemerintah Singapura. Memang kita sering mendengar
bahwa Singapura merupakan “musuh tersembunyi” bagi Indonesia, dalam banyak hal,
walaupun sulit dibuktikan secara nyata. Namun sebagai negara yang bertetangga,
tidak ada salahnya kita mendengar keberatan mereka. Saya mencoba membandingkan
kasus ini dengan dua contoh yang sudah saya kemukakan di atas.
Ketika
tetangga kita keberatan, apa salahnya kita mencoba memahami perasaan mereka.
Betul bahwa itu adalah hak kita. Sebagai sebuah negara kita tidak boleh didikte
atau diiintervensi oleh negara lain, termasuk Singapura. Namun demikian, dalam
pandangan saya memahami perasaan mereka adalah merupakan satu sikap yang sangat
beradab dan bersahabat. Masih banyak nama pahlawan lainnya yang boleh dijadikan
nama kapal tersebut, misalnya nama kakekku, Sahala Muda Pakpahan, pahlawan dari
Sipirok yang menembak mati Jenderal Spor, komandan tentara Belanda di Aek
Kambiri, Simago-mago pada masa perang kemerdekaan. Atau nama-nama pahlawan
lainnya. Wallahu’alam.
Semoga ada
manfaatnya.
Wassalam,
Aras Lima Flat Hentian Lima, PHK, Selangor D.E., Ba’da Subuh, 7-2-14
3 Comments
Saya sepakat dengan ini:
ReplyDeletehttp://us.dunia.news.viva.co.id/news/read/480920-singapura--soal-usman-harun--indonesia-tidak-peka
Singapura: Soal Usman Harun, Indonesia Tidak Peka
"Kami meminta kepada Indonesia untuk mempertimbangkan kembali."
VIVAnews - Menteri Luar Negeri Singapura, K Shanmugam, menyarankan kepada Pemerintah Indonesia agar nama Usman Harun tidak disematkan sebagai nama kapal perang.
Dia menyarankan agar nama mantan kedua Korps Komando Operasi (kini disebut marinir) disematkan di sebuah bangunan di Indonesia saja.
Hal ini ucapkan Shanmugam saat diwawancara oleh stasiun berita Channel News Asia, Rabu 12 Februari 2014.
Menurutnya, dengan menyematkan Usman Harun di sebuah kapal perang, pesan dan gaung dari nama tesebut akan terbawa ke mana pun kapal itu berlayar.
"Oleh sebab itu kami meminta kepada Indonesia untuk mempertimbangkan kembali pemilihan nama tersebut sebagai nama kapal perang. Mungkin hal berbeda akan terjadi apabila nama itu disematkan di sebuah bangunan di Indonesia. Atau ketika mereka dimakamkan di taman makam pahlawan," ujar Shanmugam.
Tetapi, kata Shanmugam, pesan yang dikirim akan menjadi berbeda apabila nama tersebut disematkan di kapal perang. Pasalnya kapal itu berlayar ke tujuh samudera dengan bendera nasional berkibar di atasnya.
"Sehingga sulit bagi kami untuk bertindak seolah-olah tidak terjadi apa pun. Hasilnya, para petinggi TNI dan pejabat lainnya tidak menghadiri pameran dirgantara Singapura," kata dia.
Dia pun memahami bahwa hak dan kedaulatan masing-masing negara untuk menamai sebuah kapal perang sesuai dengan pilihan dan siapa pun yang memilihkan. Sayangnya, kata Shanmugam, hal tersebut tidak lantas memberikan jawaban atau solusi dalam kasus ini.
"Keputusan yang didasari kedaulatan dapat turut berdampak ke negara lainnya, dan dalam kasus ini Singapura," kata dia.
Selain itu, dalam kasus ini dapat bermakna bahwa Indonesia tidak menganggap serius masalah ini. Betapa warga Singapura, kata Shanmugam, terluka akibat rencana penamaan kapal perang itu.
"RI kurang peka mempertimbangkan bagaimana warga Singapura dapat mengartikan nama tersebut setelah apa yang dilakukan oleh anggota Angkatan Laut tersebut di Singapura," ujarnya.
Belum lagi, imbuh Shanmugam, warga RI seolah-olah malah mengagung-agungkan aksi pengeboman yang mereka lakukan di Singapura, ketimbang memandangnya sebagai dua orang pahlawan yang hanya menjalankan perintah yang diberikan kepada mereka.
"Oleh sebab itu diperlukan kepekaan di kedua negara untuk benar-benar memastikan bahwa masalah ini memang sudah kami lewati dan tidak kembali diungkit,"ujarnya.
Shanmugam mengatakan menyambut baik komentar yang disampaikan Menlu Marty Natalegawa yang diberikan pada Selasa kemarin.
"Pernyataan yang menyebut bahwa sama sekali tidak ada niat jahat di balik penamaan itu sangat konstruktif. Kami menyambut baik komentar itu. Namun, dalam konteks itu, penting untuk diketahui bagi kami bahwa kedua anggota AL itu tidak dihormati karena telah membunuh warga Singapura," kata dia.
Selain itu, Shanmugam turut meminta pengertian dari RI soal dampak dari penggunaan nama Usman Harun sebagai nama kapal perang. (eh)
Saya menghargai jasa Pak Usman dan Pak Harun karena telah menjalankan tugas negara. Namun saya menyayangkan akibat dari menjalankan perintah negara ini, telah memakan jiwa manusia-manusia yang tidak berdosa. Wallahu'alam.
ReplyDeletePerlu diperhatikan tulisan ini:
ReplyDeletehttp://www.utusan.com.my/utusan/Rencana/20140213/re_02/Kontroversi-KRI-Usman-Harun-perlu-selesai-secara-baik
Kontroversi KRI Usman-Harun perlu selesai secara baik
Oleh Azmi Hassan
PENULIS ialah Geostrategis Institut Geospatial dan Sekolah Perdana UTM.