About Me

Seorang "Lelaki" yang Mengaku Bersalah Harus Bertanggung jawab










Anggito Abimayu adalah seorang Lelaki

            Banyak orang yang mencela Anggito Abimayu karena melakukan plagiat atas artikelnya yang dimuat pada salah satu harian nasional.  Saya termasuk orang  yang mengacungkan jempol kepada beliau atas tiga perkara. Pertama, dia mengakui bahwa telah terjadi kesalahan dalam mengutip dari artikel orang lain. Kedua, dia telah meminta maaf kepada pemilik artikel itu, yakni Hotbonar Sinaga. Ketiga, sebagai pertanggungjawaban akademik, beliau telah mengundurkan diri dari posisinya sebagai dosen Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (Selengkapnya baca di sini:
            Dalam hal ini, sesungguhnya dia adalah seorang lelaki. Sama halnya dengan Andi Alfian Mallarangeng, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menpora karena telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus Hambalang. Baik, Anggito maupun Alfian, dalam pandangan saya adalah dua contoh lelaki sejati, lelaki dalam arti yang sesungguhnya. Berbeda dengan, misalnya Ratu Atut, Gubernur Banten yang sudah dijeploskan ke tahanan KPK atas tuduhan korupsi, hingga saat ini belum kedengaran bahwa dia mengundurkan diri. Bahkan dengan terang-benderang mengatakan dirinya tidak bersalah. Ya, Ratu Atut adalah seorang perempuan, baik ditinjau dari jenis kelaminnya (maaf), maupun dari sikapnya yang tidak mau mundur dari gubernur meski sudah berada pada posisi yang terjepit. Hal yang sama saya tujukan kepada semua pihak, pejabat maupun anggota dewan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, masih tetap tidak mau mengakui dirinya bersalah dan belum mau mengundurkan diri dari jabatannya. Misalnya, Wawan, seorang anggota DPR yang sudah di tahanan KPK, tetap masih menyandang status sebagai anggota dewan terhormat. Demikian pula dulu, mantan putri  Indonesia, Anggelina Sondak, walaupun sudah disidang di pengadilan, belum mundur dari anggota DPR, bahkan masih menerima gaji sebagai anggota dewan. Nanti divonis baru mundur.
            Kembali ke kasus Anggito Abimayu. Bahwa dalam dunia akademik, kejujuran adalah perkara yang sangat penting. Mengutip karya orang lain tanpa menyebut sumbernya, adalah tindakan yang salah. Tetapi seorang Anggito sudah mengakui itu adalah salah, dan sudah memperlihatkan bentuk tanggungjawabnya dengan mengundurkan diri sebagai dosen. Apalagi?  Masihkah kita terus mencelanya? Apakah lagi bentuk pertanggungjawabannya yang paling tinggi supaya orang tidak mencelanya lagi? Bagaimana dengan pihak-pihak lain yang melakukan plagiat dengan berbagai dalih, yang hingga sekarang masih terus bekerja sebagai dosen atau pejabat publik?
            Saya mencoba memahami penjelasan dari seorang Anggito Abimayu. Bahwa dia telah salah dalam mengutip karya orang lain. Hal ini sebenarnya mudah diterima dengan akal sehat. Hal serupa pernah menimpa seorang tokoh masyarakat di Yogyakarta, bergelar doktor dan dosen di salah satu perguruan tinggi Islam di kota pelajar tersebut. Dimana dia juga menulis artikel di surat kabar dengan mengambil tulisan orang lain tanpa menyebut nama sumbernya.  Salah satu dampak kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, antara lain adalah mudah sekali mengambil tulisan orang dengan melakukan copy paste.  Sebenarnya ini tidak masalah, karena data dari orang lain boleh saja dipakai jika dilakukan dengan prosedur yang tepat. Saya sering mengcopy paste tulisan orang lain. Kadang kala yang dicopy hanya tulisan saja, tidak mengcopy sumbernya dan tempat tulisan itu dimuat. Sepatutnya, dalam mengcopy artikel, ada beberapa hal yang perlu diambil; yakni artikelnya sendiri, penulisnya, dimana dimuat, kapan dimuat dan kapan dicopy. Karena satu dan lain hal, tidak jarang kita lupa atau lalai dalam menulis salah satunya itu. Kelalaian seperti ini, akibatnya bisa fatal, seperti yang dilakukan oleh Anggito ini, tuduhan plagiat.
            Dalam konteks ini, saya lebih cenderung memperhatikan motif dari seseorang untuk melakukan plagiat. Walau bagaimanapun plagiat tidak boleh dilakukan. Namun hukuman bagi seorang plagitor, dalam pandangan saya, haruslah mempertimbangkan motifnya. Jika melakukan plagiat untuk memperoleh kenaikan pangkat, kenaikan status sosial, dan kenaikan gaji, tentu hal ini tidak boleh ditolelir. Misalnya, sebuah disertasi untuk progam doktor, tesis, skripsi, karya ilmiah di forum akademik berskala nasional maupun internasional, tulisan dalam bentuk buku, dan sebagainya. Ini tidak boleh ada plagiat.
Sedangkan dalam kasus Anggito Abimayu ini, saya pikir motifnya bukan untuk hal itu. Terlalu kerdil seorang Anggito melakukan itu.  Bahkan seorang Hotbonar Sinaga, sang penulis artikel yang sebenarnya, merasa tidak dirugikan dengan kasus ini. Bahkan dia senang, karena ide-idenya mendapat sambutan dari banyak kalangan. Apalagi substansi dari tulisan itu adalah untuk kemaslahatan orang banyak.  Saya percaya ini, adalah satu kekhilafan yang memang pantas untuk dihukum, kerana ini ranah akademik. Dan, seorang lelaki yang bernama   Anggito Abimayu sudah menghukum dirinya sendiri. Sudah cukup berat, jangan ditambah lagi. ***
Mohon maaf bagi yang tidak sependapat dengan saya.
Bilik Karel 6 PTSL, UKM Bangi, mati lampu ba’da Duhur. 18 Februari 2014














Post a Comment

1 Comments

  1. Saya setuju dengan pak Mahfud:
    Mahfud MD Tidak Yakin Anggito Sengaja Plagiat
    http://id.berita.yahoo.com/mahfud-md-tidak-yakin-anggito-sengaja-plagiat-103339412.html

    Jakarta (Antara) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tidak yakin bila dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unversitas Gadjah Mada (UGM)Â Anggito Abimanyu sengaja melakukan plagiatisme.

    "Saya tidak yakin Anggito sengaja melakukan itu," kata Mahfud saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

    Pasalnya, pihaknya mengenal Anggito sebagai sosok yang berintegritas. Pihaknya pun mengapresiasi langkah Anggito yang memutuskan untuk mundur dari institusi tempatnya mengajar sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah dilakukan.

    "Dia mengambil karya orang lain tanpa sengaja, hanya keliru copy paste ambil file, dia merasa bertanggung jawab dan mundur," katanya.

    Sebelumnya, Anggito Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unversitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, menyatakan mundur dari institusi tempatnya mengajar setelah dituduh plagiat.

    "Demi mempertahankan kredibilitas UGM, dengan nilai-nilai kejujuran, integritas dan tanggung jawab akademik, saya telah menyampaikan mundur sebagai dosen," kata Anggito dalam jumpa pers di Kampus UGM Yogyakarta, Senin (17/2).

    Anggito mengatakan pengunduran dirinya terkait dengan artikel opini berjudul "Gagasan Asuransi Bencana" yang ia tulis di harian Kompas pada 10 Februari 2014.Â


    Anggito mengakui ada kesalahan pengutipan referensi dalam dokumen di komputer miliknya dalam penulisan artikel tersebut.

    "Telah terjadi pengutipan referensi dalam sebuah folder di komputer pribadi saya yang belakangan diketahui merupakan kertas kerja yang ditulis oleh saudara Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan," kata dia.

    Dia menyatakan menyesal dan memohon maaf kepada seluruh civitas akademika UGM. "Saya mengaku khilaf dan memohon maaf sebesar-besarnya khususnya kepada saudara Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan," katanya.(tp)

    ReplyDelete

close