(Salah satu sudut Kota Adelaide Australia Selatan. Negara ini tidak mengatur agama rakyatnya. Berbeda dengan Indonesia, yang telah menetapkan adanya enam agama yang diakui oleh Negara secara resmi. Foto diambil tahun lalu).
KTP tanpa Agama, Upaya Menjauhkan Agama
Dalam beberapa hari terakhir ini,
berbagai media massa memberitakan pernyataan Menteri Dalam Negeri RI, yang akan membolehkan mengosongkan kolom agama
dalam kartu tanda penduduk (KTP). Antara alasannya adalah untuk menghargai atau
melindungi warganegara minoritas penganut kepercayaan yang tidak memiliki agama.
Dimana selama ini mereka terpaksa menulis nama salah satu agama dalam KTP-nya,
sementara mereka bukanlah penganut agama tersebut, karena peraturan memang
mengharuskan adanya nama agama dalam kolom KTP. Tentu agama yang diakui oleh
Pemerintah di negeri ini, berdasarkan Penjelasan
Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu
(Confusius)”.
Sepintas lalu, memang ada benarnya
pernyataan Mendagri tersebut. Karena seolah-olah negara turut memaksakan kepada
warganya untuk menganut satu agama yang diakui oleh negara. Padahal tentang agama,
adalah masalah pribadi, yang tidak boleh dicampuri negara.
Persoalannya menurut saya adalah, mengosongkan kolom
agama dalam KTP akan memberikan persoalan mungkin saja lebih rumit dan dapat
disalahgunakan.
Pertama,
mengosongkan agama dalam KTP, tentunya adalah pelanggaran, karena Undang-Undang
mengharuskan ada agama tertulis dalam KTP tersebut. Jika dikosongkan, berarti
dengan sendirinya melanggar undang-undang atau tidak patuh kepada
undang-undang.
Kedua,
orang yang tidak mahu memasukkan nama agama dalam KTP-nya, tentu dapat dinilai
sebagai atheis atau orang yang tidak beragama. Padahal di negeri ini, semua
warganegaranya harus memiliki agama. Jika dikosongkan, bagaimana mengetahuinya?
Dengan kata lain, mengosongkan kolom agama dalam KTP memberi peluang tumbuh dan
berkembangnya paham atheis di negeri ini.
Ketiga,
identitas tanpa agama, memberi kesempatan terjadinya persoalan di masyarakat.
Misalnya, seseorang yang akan menikah dengan orang Islam. Bagaimana
mengetahuinya dia agamanya secara hukum kalau bukan dari KTP-nya? Karena dalam
Islam, persoalan agama adalah sangat penting. Kemudian bisa jadi seseorang
dengan seenaknya memasuki rumah ibadah agama tertentu yang boleh jadi memiliki
maksud tertentu dan bisa menimbulkan permasalahan besar. Misalnya, rumah ibadah
umat Islam, tidak boleh dimasuki oleh orang yang beragama lain tanpa adanya
kebenaran atau izin dari pihak umat Islam.
Keempat,
manakala ada satu dan lain hal terjadi kepada seseorang, misalnya, ada orang
meninggal dunia di satu tempat yang orang tidak ada seorangpun yang mengenalnya.
Bagaimana mengetahui tata cara perawatan jenazah dan pengebumumiannya?
Tentunya masih banyak hal lain yang
akan menjadi persoalan manakala identitas seorang warga tidak lengkap, terutama
identitas agama yang sangat penting dalam kehidupan kita sebagai masyarakat
yang sudah beragama sejak berabad-abad yang lalu. Seyogiyanya, pemerintah dalam
hal ini Mendagri dalam rangka mengakomodir satu pihak, tentunya
mempertimbangkan banyak hal, tidak hanya berdasarkan kemauan mereka semata.
Jika pemerintah ingin mengakomodir
warga negara minoritas yang ingin mencantumkan aliran kepercayaannya dalam KTP,
saya pikir silahkan saja sepanjang sesuai dengan undang-undang. Janganlah pemerintah membuat suatu kebijakan,
yang katanya untuk menghargai dan menjaga toleransi, akan tetapi dapat membawa
masalah besar kepada pihak lain. Terkait bagaimana mengakomodir warga minoritas
tersebut, saya memiliki saran sebagai berikut:
Pertama,
wacana pengosongan agama dalam KTP janganlah sampai diwujudkan.
Kedua,
untuk memasukkan agama lain atau aliran kepercayaan lain dalam KTP-nya, agar
segera dibuat undang-undang atau peraturannya, tanpa adanya pihak yang
kemungkinan akan merasakan kerugian atasnya.
Ketiga,
jika misalnya belum ada undang-undang atau peraturan yang membolehkannya,
pemerintah dapat membuat kartu identitas tersendiri bagi pihak yang menganut
agama atau aliran minoritas, misalnya surat keterangan yang fungsinya sama atau
setara dengan KTP. Bila perlu, Presiden membuat Perpu tentang hal ini, kalau
memang dianggap sangat mendesak.
Keempat,
manakala dengan adanya nama agama dalam KTP dipandang berpotensi terjadinya ketidakadilan, maka yang
perlu dilakukan adalah berusaha untuk memperlakukan keadilan bagi semua
warganegara tanpa harus menyangkutpautkan dengan agama. Saya tidak percaya
adanya ketidakadilan adalah karena ada nama agama dalam KTP. Yang membuat seseorang
tidak adil adalah karena dia memiliki kepentingan tertentu atas
ketidakadilannya tersebut. Inilah yang perlu diberantas pemerintah, bukan
menghilangkan nama agamanya.
Mudah-mudahan ke depan, pihak pemerintah dan
segenap komponen bangsa ini, dalam membuat satu kebijakan, agar jangan sampai
menjurus kepada upaya yang seolah-olah ingin memisahkan kehidupan keagamaan
dari warganegara. Sebab dalam beberapa waktu belakangan ini, upaya menggerogoti
umat beragama, khususnya kalangan umat Islam mulai tampak. Misalnya wacana
penghilangan kementerian agama, penikahan berbeda agama, makanan halal, jihad
atau teorisme, dan seterusnya.
Semoga Allah SWT melindungi kita
semua. Amiin.
==================
http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/detail/mendagri-penganut-kepercayaan-boleh-kosongkan-kolom-agama-di-ktp
Mendagri: Penganut Kepercayaan Boleh Kosongkan Kolom Agama di KTP
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, warga negara Indonesia (WNI)
penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah
boleh mengosongkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk elektronik.
"Itu
kepercayaan, sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera
ketemu Menteri Agama (Lukman Hakim) untuk membahas ini. Pemerintah
tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk keyakinannya sepanjang
itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum," kata Tjahjo di
Gedung Kemendagri Jakarta, Kamis (6/11/2014).
Dengan
demikian, artinya WNI pemeluk keyakinan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan,
Kaharingan, dan Malim tetapi di KTP tertera sebagai salah satu
penganut agama resmi, boleh mengoreksi kolom agama mereka.
Dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa agama
yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui pemerintah.
Dengan demikian, untuk mengisi kolom agama dengan keyakinan memerlukan waktu untuk melakukan perubahan atas UU tersebut.
"Dalam
undang-undang jelas ada enam agama yang boleh dicantumkan dalam e-KTP,
sehingga kalau ingin ditambah akan memerlukan waktu untuk mengubahnya.
Tapi kalau mereka mau mengosongkan kolom itu, ya tidak masalah," tambah
politisi PDI Perjuangan tersebut.
Sementara
itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)
Irman mengatakan, pihaknya sudah mendiskusikannya dengan kelompok agama
mengenai kolom keyakinan tersebut.
"Kami
sudah pernah membahasnya dengan MUI dan NU serta diundang oleh
Wantimpres. Memang ada perdebatan yang di satu pihak mengatakan semua
boleh dicantumkan, tetapi sebagian besar menyatakan negara berhak
melakukan pembatasan agama yang bisa didaftarkan. Sehingga,
kesepakatannya adalah dalam kolom agama di KTP hanya untuk agama yang
sudah diakui," jelas Irman.
0 Comments