(Gedung Perguruan Muhammadiyah Desa Sabatolang Kecamatan Sipirok Tapanuli Selatan Sumatra Utara)
Jokowi-JK Tanpa Menteri dari Muhammadiyah dan Rokoknya Sang Menteri
Setelah Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo,
mengumumkan susunan kabinet kerja pada 2 Muharram 1436 H bersamaan 26 Oktober
2014 M yang lalu, ramai komentar di media sosial, khususnya dari kalangan warga
Muhammadiyah yang menunjukkan perasaan tidak puas hati, mempertanyakan sekaligus
menyesalkan tidak terlibatnya, satupun kader tulen Persyarikatan Muhammadiyah
yang masuk dalam susunan kabinet periode ini. Bahkan diantara komentar-komentar
yang menyesalkan tersebut, ada juga yang mengkritik keberadaan beberapa kader
Muhammadiyah yang duduk dalam susunan tim kampanye Jokowi-JK dalam pemilihan
presiden lalu, khususnya kepada tim Relawan Matahari Indonesia (RMI) yang
dipimpin Mas Muhammad Izzul Muslimin. Kritikan senada juga ditujukan kepada
tokoh-tokoh senior Muhammadiyah yang pontang-panting ikut mendukung Jokowi-JK.
Mereka dianggap tidak mampu memberi “tekanan” atau mendekati Jokowi-JK dalam
rangka mendudukkan kader tulen Muhammadiyah dalam susunan kabinet.
Memang sudah banyak diketahui bahwa, walaupun
Persyarikatan Muhammadiyah secara kelembagaan atau secara resminya tidak
mendukung calon presiden dalam pilpres yang lalu, namun beberapa kader dan
senior Muhammadiyah secara personal telah menjadi bagian dari tim kampanye
mereka. Dengan keberadaan mereka itu, dan posisi Persyarikatan Muhammadiyah
sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini, maka sepantasnyalah ada kader
Muhammadiyah yang duduk dalam susunan kabinet, sesuai ekspektasi warga
Muhammadiyah. Sejak pengumuman KPU tentang pemenang pilpres sehingga menjelang
pelantikan presiden medio Oktober lalu, dalam berbagai media massa, terdapat beberapa
nama yang muncul, disebut-sebut sebagai kader Muhammadiyah yang layak duduk
sebagai calon menteri, misalnya Dr. Irwan Akib, Prof. Abdul Munir Mulkan, Dr.
Abdul Mukti, Prof. Bambang Setiadi, Prof. Agus Suradika, lagipun Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin, disebut sebagai kandidat
kuat yang akan membantu presiden lima tahun ke depan.
(Pembangunan Rumah Sakit Unismuh Makassar di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan)
Dalam kenyataannya, kita tidak melihat adanya
kader-kader tersebut yang duduk dalam susunan kabinet. Oleh itu, sebagian warga
Muhammadiyah menjadi kecewa. Haruskah kita kecewa dan mengapa harus kecewa?
Untuk menutupi kekecewaan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan
keterangan pers bahwa meskipun tidak ada kader tulen Muhammadiyah yang masuk
dalam susunan kabinet, namun ada juga anggota kabinet yang merupakan usulan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti Menteri Kesehatan, Nila F. Moeluk. Di
samping itu, terdapat pula beberapa anggota kabinet yang memiliki “hubungan
darah” dengan Muhammadiyah.
Bagi saya secara pribadi, tidak terlalu penting
mempersoalkan ada atau tidaknya kader Muhammadiyah yang duduk dalam susunan
kabinet. Karena akan terjadi perbedaan persepsi tentang manfaat dan peranannya
bagi Muhammadiyah. Juga akan memperdebatkan tentang definisi kader tulen Muhammadiyah
itu sendiri. Sebab tanpa adanya kader dalam kabinet, tidaklah menjadikan gerakan
dakwah dan jalannya roda Persyarikatan terhenti atau mundur. Kita memang akan
senang jika ada kader yang masuk dalam kabinet. Sebab masuknya kader
Muhammadiyah dalam susunan kabinet, dipandang akan turut membantu gerakan
dakwah Persyarikatan dalam ranah politik. Walau bagaimanapun, kita juga boleh
senang dan berbangga sebagai kader Persyarikatan akan mengawal gerakan dakwah
tanpa harus menggantungkan diri kepada kabinet. Pengalaman dalam kabinet SBY
yang lalu, meskipun tanpa kader tulen Muhammadiyah, tidak menjadikan
Muhammadiyah berhenti bekerja. Justeru yang terjadi adalah sebaliknya,
Persyarikatan terus berjalan, amal usaha berkembang, dan gerakan dakwah tetap
berlangsung dengan baik
(Suasana Shalat Idul Adha 1435 H di Kabupaten Majene Sulawesi Barat)
Meskipun tidak “berhasil” masuk atau memasukkan
kader tulen Muhammadiyah dalam jajaran kabinet, saya tetap memberikan hormat
dan bangga kepada teman-teman dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berusaha masuk
ke dalam tim pemenangan pilpres yang lalu. Sepatutnya memang demikian. Sebagian
kader Muhammadiyah harus masuk dalam ranah politik; baik dalam partai politik
mahupun dalam jajaran kampanye politik. Kader Muhammadiyah perlu membagi diri.
Ada yang mengurus Persyarikatan, ada pula yang masuk ke wilayah yang lebih
luas. Saya meyakini, mereka keberadaan mereka dalam tim, meskipun dikatakan
sebagai atas nama pribadi, tentunya mereka sebagai kader yang darah
Muhammadiyah sudah mengalir deras dalam jiwa raganya, akan membawa misi dakwah Islam yang sebenar.
Bahwa mereka belum berhasil masil dalam jajaran kabinet, tak perlu dirisaukan.
Saya yakin mereka akan mendapat ganjaran yang pantas atas jerih payahnya nanti.
Insha Allah.
Terhadap
susunan kabinet Jokowi-JK kali ini, saya memberikan catatan tersendiri. Ada
memang beberapa nama menteri dipandang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Tapi
harus dipahami bahwa posisi menteri adalah jabatan politis, tidak menjadi satu
keharusan mutlak pertimbangan latar belakang profesinya. Beberapa tokoh yang
sempat diprediksi masuk kabinet, malah tidak masuk, misalnya Prof. Kamaruddin
Hidayat. Justeru saya senang dengan adanya nama Pak Lukman Hakim Syaifuddin
sebagai Menteri Agama. Kinerjanya selama beberapa bulan ini cukup baik,
menggembirakan dan dekat dengan semua kalangan serta mampu merangkulnya. Coba
lihat ketika Sidang Isbath tahun ini, beliau berhasil mendatangkan Prof. Din
Syamsuddin, walaupun disebut sebagai perwakilan Majelis Ulama Indonesia, tapi
nama Muhammadiyah tentu melekat pula di dalamnya. Bayangkan kalau Menteri Agama
dijabat oleh seseorang yang dulu pernah disebarkan sebagai pentolan aliran
tertentu yang oleh banyak pihak disebut bertentangan dengan ajaran Islam. Jika
dia masuk, inikan bisa menjadi masalah besar bagi negeri ini. Dan seterusnya.
Kita mesti memberi kesempatan kepada Jokowi-JK bersama dengan para anggota
kabinetnya untuk kerja, kerja, dan kerja sesuai dengan amanah rakyat Indonesia.
Sebagaimana pesan Buya Syafii dan Prof. Amien Rais.
Tugas kita sebagai warga Muhammadiyah dan sebagai
warganegara adalah mengawal pemerintahan ini agar berada pada koridor yang
benar, berlaku adil kepada semua pihak, dan komitmen untuk meningkatkan taraf
kesejahateraan rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Jangan hanya
terfokus di satu pulau saja. Mesti terjadi pemerataan yang lebih kongkrit,
bukan sekedar wacana maupun kabar angin sorga, sehingga goncangan-goncangan
politik bisa diminimalisir. Bibit-bibit konflik pun akan bisa dihindari.
(Perguruan Muhammadiyah Pekan Baru, Provinsi Riau)
Satu hal yang sempat mengganjal di hati saya adalah
tentang apa yang disebut sebagai “moralitas” beberapa anggota kabinet. Saya
tidak tahu persis apakah ini berkaitan dengan moral atau bukan, sebab tentunya
akan terjadi perbedaan persepsi terhadapnya. Ada nama menteri dikabarkan adalah
orang yang antisosial, karena selama lima tahun tinggal dalam satu kompleks di
rumahnya yang begitu mewah, tak ada satu tetangganya yang mengenalnya. Memang
ini adalah fenomena yang terjadi di daerah perkotaan, tapi untuk kapasitas
seorang menteri, saya pikir hal ini tidak baik. Bahwa ada pejabat yang
antisosial, bukan hal baru. Jangankan pejabat negara, mungkin saja diantara
kader Muhammadiyah, ada yang masuk kategori antisosial, tidak pernah bergaul
dengan masyarakat sekitarnya karena mungkin sibuk mengurus organisasi. Lalu, sempat
pula terdengar kabar seorang anggota kabinet yang pernah disebut melakukan
plagiat. Ada pula menteri yang dikabarkan merokok di tempat umum, bahkan di dalam
kompleks istana negara, sehingga ditegur oleh pasukan Paspampres. Jika ketiga
contoh di atas adalah benar, maka saya sangat menyayangkannya.
Bagi sebagian orang, sikap kehidupan yang
antisosial, kasus plagiat, merokok di depan publik, mungkin adalah hal yang
biasa. Itu mungkin pula dikaitkan dengan masalah pribadi, masalah hak asasi
pribadi, cara pandang yang berbeda, dan seterusnya. Boleh saja berlaku perkara seperti
itu, sepanjang itu adalah untuk kepentingan pribadi sendiri, dalam rumah
sendiri, atau minimal tidak diketahui oleh publik. Jika sudah menjadi
pengetahuan publik, maka itu menjadi hal yang sangat tidak pantas, bertolak
belakang dengan budaya ketimuran kita. Sebab menteri adalah pejabat publik, dia
akan menjadi contoh bagi masyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan perkara
tersebut sebagai media pembenaran kepada rakyat Indonesia, yang kekuatan
aqidahnya belum sempurna, untuk melakukan hal yang sama. Kalaulah ini terjadi,
dimana lagi letak moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan kita sebagai Bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila?
Wassalam
Haidir
Fitra Siagian
Mantan
Aktivis AMM Sulsel dan warga Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, saat ini
sementara bermukim di Kajang, Selangor Darul Ehsan, Malaysia. Inilah adalah
pendapat pribadi.
0 Comments