About Me

Pendidikan Politik Berbasis Masjid


Opini - 05 Mei 2018, 11:29:33

Masih ada yang mengkhawatirkan penggunaan masjid sebagai sarana kampanye politik.
Oleh: Haidir Fitra Siagian
Dosen Komunikasi Politik Islam, UIN Alauddin Makassar
Kekhawatiran itu antara lain, terjadinya politisasi dalam masjid berupa penggunaan ayat-ayat suci untuk kepentingan politik. Dalam pandangan pihak yang mengkhawatirkan ini, menadang bahwa ayat-ayat suci merupakan sesuatu yang harus dijaga kemurniannya. Masjid tidak boleh dimanipulasi untuk menaikkan citra seseorang atau upaya menimbulkan kebencian kepada pihak lain. Masjid sebagai tempat yang mulia, semestinya hanya dilakukan untuk urusan agama saja, beribadah dan bersilaturahmi antara sesama umat Islam.
Kekhawatiran lainnya adalah konflik antar sesama jamaah ketika terjadi perbedaan pandangan terhadap isi ceramah yang disampaikan oleh para penceramah atau muballigh, terutama yang memiliki afiliasi dengan kepentingan politik tertentu. Isi ceramah yang demikian ini dipandang mampu menimbulkan gesekan di kalangan para jamaah. Terlebih lagi jika isi ceramahnya memberikan dukungan kelompok politik tertentu dan menyudutkan pihak yang lain. Dimana dalam masjid dapat dimaklumi tidak semua jamaah memiliki sikap politik yang sama.
Terhadap kekhawatiran tersebut, beberapa kalangan terutama aktivis demokrasi, telah berusaha membangun opini dan bahkan mengampanyekan agar semua pihak menghindari penggunaan masjid sebagai lokasi kampanye politik. Bahkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia nomor 4 tahun 2017 tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota, pada pasal 68 (1) dengan tegas melarang menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye.
Walaupun PKPU tersebut yang dilarang adalah tempat ibadah, tetapi yang paling banyak kena adalah masjid. Karena sudah menjadi aturan, tentunya aturan tersebut harus dilaksanakan. Namun demikian sebagai sebuah aturan, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan diskusi dari berbagai sudut pandang. Diantara hal yang paling penting untuk didiskusikan adalah ceramah politik atau kampanye seperti apa yang dilarang dalam rumah ibadah? Jika ini tidak dijelaskan secara rinci dan disosialisasikan dengan baik, akan menimbulkan kesan yang tidak baik, bahkan dapat menimbulkan pertentangan terhadap nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan Politik
Dalam agama Islam, masjid berfungsi sebagai tempat beribadah. Masjid berfungsi sebagai tempat sosial dan pendidikan. Dalam hal ini, di samping pendidikan keagamaan, juga pendidikan dalam lingkup yang mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk juga pendidikan politik, ekonomi, dan seterusnya. Ada juga larangan aktivitas di dalam masjid, misalnya jual-beli, mencari barang hilang, dan segala sesuatu yang dilarang berdasarkan syariat Islam.
Pada pandangan penulis, pendidikan politik dapat dilakukan melalui masjid, karena tidak ada larangannya dalam Islam bahkan sesuatu yang perlu digalakkan. Ini penting, agar umat Islam mengetahui perkembangan politik nasional dan dunia internasional. Pengetahuan politik perlu agar umat Islam tidak hanya diperlukan saat kepentingan politik meraup dukungan semata. Pendidikan politik yang dipelajari dengan berbasis masjid adalah upaya yang harus dilakukan umat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan nasional yang sedang dijalankan oleh negara.
Bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan masjid untuk kepentingan politik tertentu, memang patut untuk didiskusikan secara menyeluruh, apa latar belakang dan motivasinya. Yang paling penting untuk dilaksanakan adalah mencerahkan umat Islam. Umat Islam perlu sadar akan politik nasional, tidak mudah terprovokasi dengan isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk kepentingan politik kelompok tertentu, termasuk oleh yang seolah-olah memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Berdasarkan pemahaman di atas, perlu untuk didiskusikan kembali beberapa hal. Pertama, kampanye larangan berpolitik dalam masjid harus diperhalus, jangan semua urusan politik dilarang dilakukan di masjid. Bahwa menghina, memfitnah, mencaci maki pihak-pihak tertentu memang itu adalah hal yang dilarang dalam Islam. Bukan hanya di masjid, bahkan di luar masjid pun dilarang. Jadi tidak pada tempatnya jika kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu semata yang dijadikan sebab pelarangan berpolitik dalam masjid.
Kedua, untuk menghindari terjadinya konflik dalam masyarakat, maka pendidikan politik menjadi sangat perlu. Para ulama, muballigh juga tokoh agama lainnya perlu dilibatkan dalam pendidikan politik warga. Diantaranya adalah dengan mendidik masyarakat agar melek politik. Masyarakat harus dididik agar mengerti dan memahami apa sesungguhnya politik itu, untuk apa berdemokrasi, dan kaitan antara pemilhan umum dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Tempat yang paling mudah umat Islam belajar politik, adalah masjid dimana para ulama atau cendekiawan muslim sebagai yang paham politik Islam sebagai fasilitatornya.
Ketiga, hal yang sama, perlu juga para elit politik, mulai dari pengurus partai politik, juru kampanye, aktivis demokrasi, pejabat pemerintahan dan semua elemen masyarakat yang terlibat politik, agar lebih memahami makna politik yang sebenarnya. Bahwa berpolitik memiliki etika, nilai-nilai moral dan komunikasi politik yang elegan. Elite politik juga harus tahu dan ikhlas melaksanakan bahwa berpolitik yang luhur adalah untuk mengemban amanah rakyat, membawa segenap warga negara Indonesia mencapai cita-cita sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut di atas tentang politisasi masjid akan terhindari. Insyaallah.(*)
Catatan : Artikel ini telah dipublikasikan pada harian Fajar edisi Sabtu, 5 Mei 2018
http://fajaronline.co.id/read/48410/pendidikan-politik-berbasis-masjid



Post a Comment

0 Comments

close