Semangat Mahasiswa
dan tentang Hak Jawab Itu
Dalam setiap awal
perkuliahan, saya sentiasa mengatakan kepada para mahasiswa agar memiliki
kreatifitas dan mobilitas yang tinggi. Jangan seperti katak di bawah tempurung.
Mahasiswa tidak boleh hanya mengharapkan apa yang dipelajari dalam kelas. Itu
hanya sedikit. Jauh dari apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang kalangan
terpelajar, apalagi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi dan Jurusan Jurnalistik,
yang harus memiliki sifat proaktif dan berjiwa kosmopolitan.
Oleh karena
itu mahasiswa harus aktif di luar kampus. Banyak bergaul, banyak diskusi, dan
banyak membaca. Juga mahasiswa harus banyak terlibat dalam organisasi. Masuklah
ke dalam organisasi apa saja, baik intra maupun ekstra. Tetapi saya tidak
pernah mengarahkan mahasiswa masuk ke organisasi tertentu, karena bagi saya
semua organisasi yang ada di kampus itu adalah baik.
Jika dosen
tidak datang, maka pergilah ke perpusatakaan. Bacalah buku dan literatur yang
ada di sana. Bukan hanya buku yang terkait dengan mata kuliah, termasuk
buku-buku ilmiah lainnya. Jika ada
seminar, ikutlah seminar. Bila perlu prakarsailah membuat seminar ilmiah, tapi
jangan hanya sibuk jadi panitia mengurus ini dan itu, lalu capek sendiri. Justru
pantia harus mendapat ilmu dari seminar tersebut. Jika ada pelatihan, ikutilah
kegiatan tersebut. Mahasiswa tidak boleh hanya datang ke kampus lalu pulang ke
kost bikin rujak dengan teman-temannya. Sudah itu main game dan nonton sinetron
India. Itu bukanlah tipe mahasiswa yang diharapkan mengisi masa depan yang
lebih gemilang di hari-hari yang akan datang.
Saya juga
meminta kepada mahasiswa untuk banyak menghasilkan karya. Karena mahasiswa saya
adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang didalamnya juga termasuk jurusan
Jurnalistik, maka saya minta mahasiswa minimal memiliki blog pribadi. Jika
tidak bisa buat blog pribadi, buatlah blog bersama. Isilah blog itu dengan berbagai tulisan. Baik
berupa berita, laporan perjalanan, artikel maupun puisi. Diantara blog
mahasiswa itu adalah ini : http://jurnalkekinian.blogspot.co.id/
dan ini : http://jurnalpro16.blogspot.co.id/.
Ini adalah penting
bagi mahasiswa agar mereka terlatih dalam mengungkapkan gagasan dan ide-idenya
secara tertulis. Di dalam blog itu terdapat curahan hati mereka terhadap
kehidupan dunia kampus, termasuk fasilitas yang mereka terima dan hubungan
dengan dosen. Misalnya tentang panasnya ruangan perkuliahan dan tidak
berfungsinya LCD. Ada juga mahasiswa yang memprotes cara saya dalam mengajar
lewat tulisan dalam blog tersebut. Ada tulisan mahasiswa yang mengatakan saya
tidak kreatif dalam mengajar. Tak apa-apa, justru itu adalah kritik yang
membangun untuk saya. Dalam blog tersebut, semua mahasiswa boleh menulis
tentang berbagai hal, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Saya sadar
bahwa tulisan-tulisan mahasiswa itu masih jauh dari tulisan yang baik dan
sesuai standar penulisan karya jurnalistik. Banyak kekeliruan, baik dari
penggunaan bahasa yang tidak tepat dan penggunaan tanda baca. Tidak jarang
mahasiswa hanya menjiplak dari karya orang lain, ada juga yang mengarang dengan
sumber yang tidak jelas. Walaupun berkali-kali diingatkan bahwa plagiat itu
tidak boleh dan sumber berita harus akurat, tetap saja tulisan seperti itu
terdapat dalam blog.
Hikmah dari
sering menulis dalam blog tersebut, beberapa mahasiswa saya sudah terlibat
dalam media, baik media online, media cetak, maupun media elektronik. Bahkan
diantara mereka ada yang masuk dalam media arus utama di negeri ini. Mereka
magang di sana, baik atas kemauan sendiri maupun karena tugas kuliah dalam
bentuk PPL. Ada yang menjadi reporter, kameramen dan ada pula yang menjadi
fotografer. Karena memang, saya selalunya menganjurkan mereka agar berupaya
masuk dan berkarir di media arus utama. Bagi saya, jika ada mahasiswa yang
sudah berhasil masuk ke dalam media arus utama, itu adalah satu prestasi yang
membanggakan. Tentu harus dimulai dari bawah dan seterusnya. Tidak mungkin
mereka langsung jadi pemimpin dalam media tersebut. Mereka akan menghadapi
berbagai masalah, cobaan dan gangguan. Tidak mungkin mereka langsung menjadi
jurnalis yang profesional, apalagi bagi yang baru bekerja seumur jagung.
Demikian pun, saya tetap berharap mereka menjadi lebih matang di kemudian hari.
Menurut
ingatan saya, sudah ada beberapa mahasiswa alumni Komunikasi/Jurnalistik yang
sudah menjadi wartawan di media arus utama di Makassar, seperti di Fajar, Tribun Timur, Kompas TV, SCTV,
Detik.Com, dan lain-lain, termasuk menjadi reporter di daerah seperti
Bulukumba, Palopo dan Mamuju. Tentu saya sebagai dosen, merasa senang dengan
apa yang mereka capai. Bahkan menurut data yang masih perlu dibuktikan
keakuratannya, beberapa pemegang kebijakan tingkat menengah dalam berbagai
media di Makassar, sudah dipegang oleh alumni UIN Alauddin Makassar, tidak
hanya dari alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi, melainkan dari berbagai
fakultas. Dalam hal ini peranan media mahasiswa UIN, Washilah, adalah sangat penting.
Kasus Mahasiswi UIN yang Jadi
Wartawati
Sabtu
26 Mei 2018, kemarin, dalam sebuah media nasional yang terbit di Makassar, ada
berita yang tidak mengenakkan bagi sebagian dosen di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar. Salah satu berita judul beritanya adalah
“Segera Realisasikan Rumah Sakit Pendidikan” terdapat kalimat yang patut diduga
terdapat ketidakakuratan atau dapat dikatakan sebagai berita yang tidak benar.
Dikatakan tidak benar, karena setelah ditanyakan kepada mahasiswa yang menjadi
narasumber dalam berita tersebut, bahwa dia tidak pernah mengatakan demikian
dan tidak pernah bertemu dengan reporter yang menulis berita tersebut. Diantara
data yang saya pastikan tidak benar adalah kalimat yang mengatakan uang UKT
masuk ke rekening dosen. Kebetulan nyonyaku di rumah adalah salah seorang dosen
Fakultas Kedokteran, tentu saya tahu, jalur keluar-masuk keuangannya. Tak ada
itu dia pernah terima uang UKT dari mahasiswa. Saja jamin seratus persen.
Kebetulan
sekali, reporter yang meliput berita ini adalah Ecce (nama samaran), mahasiswa
Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
Awalnya saya tidak kenal dia. Setelah kasus ini mencuat dalam satu grup WA,
saya coba cari tahu siapa dia. Dia mengaku pernah saya ajar, dua semester lalu
dalam mata kuliah “Teknik Peliputan dan Penulisan Berita”. Tapi saya tak ingat
persis dia, namanya tidak familiar dalam ingatan saya, terutama karena dia
adalah seorang perempuan. Jarang mahasiswa perempuan yang saya kenal orang dan
ingat namanya, walaupun mereka sering menyapa saya saat berpapasan di jalan.
Dalam
kasus ini, beliau bertindak sebagai seorang reporter yang berkerja pada sebuah
media. Walaupun statusnya masih sebagai reporter magang, artinya belum menjadi
wartawan tetap dalam media itu, tetapi semua pekerjaaannya adalah tanggung
jawab media tersebut. Dia ke sana adalah kemauan sendiri, mendaftar untuk
menjadi repoter dari pengumuman yang dibuat
oleh media tersebut. Dia magang bukan karena mengikuti mata kuliah magang atau
Praktek Kerja Lapangan yang biasanya memang diambil oleh mahasiswa semester
akhir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status Ecce dalam meliput dan
menulis berita tersebut adalah kapasitasnya sebagai reporter, bukan sebagai
mahasiswa.
Bolehkah Ecce diperkarakan ke
Komdis UIN?
Dalam
penelusuran saya, memang terdapat ketidakakuratan dalam berita yang dibuat oleh
Ecce. Saya sebagai yang pernah menjadi dosennya tidak akan menutup-nutupi,
bahwa memang ada kekeliruan di situ. Misalnya tentang nama narasumber, aliran
dana UKT, dosen yang absen dua kali padahal sekali masuk. Akibatnya beberapa pihak merasa dirugikan dan
menganggap terjadi pencemaran nama baik para dosen, termasuk nyonyaku, maupun
UIN Alauddin secara kelembagaan. Dalam kasus ini, maka sesuai dengan UU Pokok
Pers tahun 1999, sengketa yang terkait dengan pemberitaan pers mestilah mengacu
kepada Undang-Undang ini, yakni dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Jika
upaya penyelesaian sengketa pers tersebut tidak menemukan titik temu, maka pertanyaannya
selanjutnya adalah, apakah Ecce, yang meliput dan menulis berita tersebut,
dapat dilaporkan oleh pihak yang keberatan kepada pihak kampus dalam statusnya
sebagai mahasiswa? Dalam arti bahwa,
apakah Ecce sebagai mahasiswa UIN dapat diadili oleh Komisi Disiplin UIN dengan
kasus pencemaran nama baik UIN Alauddin atau tindakan menyebarkan kebohongan
tentang UIN Alauddin yang dimuat dalam media tersebut?
Dalam
pandangan saya, kasus yang ini memang jika dipandang perlu, maka harus
diselesaikan dengan jalur hukum. Mengingat bahwa ini terkait dengan pekerjaan atau
tugas jurnalistik, maka hukum yang menjadi acuan adalah UU Pers 1999. Jika
kemudian karena tidak ditemukan titik yang menggembirakan antara pihak UIN
dengan media tersebut, apakah akan menimpakan kesalahan ini kepada Ecce sebagai pembuat berita yang kebetulan
menjadi mahasiswa UIN?
Sebaiknya ini
tidak dilakukan. Ecce jangan sampai dibawa ke Komdis UIN. Walaupun pihak Komdis
UIN memiliki seribu satu alibi atau dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada
Ecce, maka saya tetap berpendapat bahwa hal ini jangan sampai terjadi.
Pertama, kasus ini murni terkait
dengan kegiatan pers, dimana ada aturan dan mekanisme penyelesaiannya
sebagaimana diungkapkan di atas. Beliau meliput dan menulis berita kemudian
dimuat dalam media massa resmi yang memiliki pengakuan/izin atau semacamnya
dari negara, adalah sebuah tugas jurnalistik.
Kedua, betul bahawa Ecce
mahasiswa UIN, tetapi membawa kasus ini ke dalam lingkup UIN sudah tidak
relevan. Karena saat berita itu dibuat dan dipublikasikan, dia bekerja sebagai
wartawan, bukan dalam kapasitas sebagai mahasiswa. Dia bekerja ke sana adalah kemauan sendiri.
Statusnya memang magang, tetapi bukan dalam artian dia ke sana untuk magang
dalam rangka mata kuliah yang direkomendasikan oleh Fakultas.
Ketiga, pihak luar terutama
kalangan media, baik media Indonesia bahkan media di seluruh dunia, akan
memandang bahwa UIN Alauddin dan dosen-dosennya tidak taat kepada aturan hukum
di negeri ini, dimana dalam kasus jurnalistik, bukan kewenangan Komdis untuk
menanganinya. Walaupun yang bersangkutan masih terdaftar sebagai mahasiswa
aktif. Tidak tertutup kemungkinan, pihak media akan membantu Ecce dalam
posisinya sebagai insan pers yang resmi, dan menyerang balik UIN. Dan ini bisa
berlanjut terus-menerus.
Keempat, dalam sturuktur media,
terdapat alur pertanggungjawaban ketika mengalami sengketa akibat pemberitaan.
Dimana biasanya dimulai dari reporter, editor, kordinator bagian, redaktur
pelaksana, redaktur, hingga pemimpin redaksi. Tergantung kepada kebijakan media
tersebut. Media juga memiliki aturan dan mekanisme dalam menangani kesalahan
yang dilakukan oleh wartawannya, bahkan bisa berupak pemecatan secara tidak
hormat.
Kelima, jika betul nanti kasus
ini dibawah ke Komdis, maka ini juga berarti kita menjalimi Ecce seorang diri. Menimpakan
kesalahan ini kepadanya. Walaupun dia
yang meliput dan menulis berita, tetapi media
itu adalah satu organisasi, satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama
lain. Dimana tidak mungkin seorang diri bisa melakukan perkejaan jurnalistik; meliput,
menulis dan menyebarluaskan berita, apalagi media arus utama. Oleh karena ini,
jika ada kekeliruan, maka semua pihak yang terlibat dalam proses produksi
berita itu, adalah mesti ikut bertanggung jawab, bukan hanya Ecce seorang diri.
Jika ini diadili Komdis, maka perangkat media lainnya akan bebas lenggang
kangkung di luar sana.
Keenam, ini akan menjadi preseden
buruk bagi mahasiswa jurusan Jurnalistik yang akan berkiprah di media. Sebab
kesalahan diri pribadinya dalam media, ternyata akan diadili oleh pihak kampus.
Anjuran kami sebagai dosen, agar mahasiswa Jurnalistik banyak berkirpah dalam
media, sedikit-banyaknya mendapat tantangan. Demikian juga, upaya dan kerja
keras Ketua Jurusan, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi serta niat Prof Azhar
Arsyad, mantan Rektor UIN, ketika mendirikan Jurusan Jurnalistik tahun 2005,
yang ingin menghasilkan para jurnalis yang handal dan memiliki pengalaman yang
profesional serta jurnalis yang Islami, akan
sedikit terganggu.
Lantas, Solusi Apa?
Jika
pihak kampus dan para dosen yang merasa dirugikan dengan pemberitan tersebut,
maka solusi yang paling tepat dan sesuai Undang-Undang adalah dengan tetap
melanjutkan kasus ini sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, yakni merujuk
kepada UU Pers. Bila belum puas juga, maka dapat dilaporkan ke Dewan Pers di
Jakarta.
Berdasar
kepada kasus-kasus yang sudah terjadi, umumnya penyelesaian yang dimediasi oleh
Dewan Pers akan diterima kedua belah pihak. Rekomendasi dari pihak Dewan Pers,
sentiasa dilaksanakan oleh pihak media. Hanya memang, sering kali tindakan
media dalam menjalankan rekomendasi Dewan Pers, tidak sesuai dengan harapan
pihak penggugat. Misalnya, media akan mengaburkan pemberitaan, tidak fokus ke
masalah yang dipersoalkan, justru ke arah. Dalam pandangan media, itu sudah
sesuai dengan rekomendasi Dewan Pers.
Lalu,
jalan berikutnya adalah melaporkan ini ke pihak berwajib. Kemudian dibawa ke
Pengadilan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, pengadilan biasanya
akan memerintahkan pihak penggugat untuk melaksanakan hak jawab dan hak
koreksi, sebagaimana diatur oleh UU Pers 1999.
Solusi
berikutnya adalah pihak kampus membuat siaran pers atau konferensi pers.
Menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Kirimlah itu berita ke berbagai
media cetak maupun media sosial. Viralkan tanggapan pihak kampus terhadap
masalah ini. Artinya kita dapat juga melakukan klarifikasi sendiri dengan data
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini setidaknya dapat membantu
memulihkan atau memperbaiki citra Universitas dan dosen-dosen yang merasa
terfitnah dengan berita yang dibuat Ecce tersebut.
Bagaimana dengan
Ecce sebagai wartawan media tersebut. Itu adalah menjadi urusan tanggung jawab
media dalam memberikan sanksi atau teguran kepada yang bersangkutan. Berbeda
halnya dengan jika Ecce melakukan pencemaran nama baik melalui media sosial
pribadinya atau dia menulis surat pembaca di media, membuat selebaran, dan
lain-lain yang menyudutkan lembaga, maka itu dapat diadili oleh pihak kampus.
Dalam
kapasitas kita sebagai lembaga pendidikan, tetap ikut bertanggung jawab secara
moral kepada Ecce, dengan tetap mengingatkan dan mengontrol kerja-kerja
jurnalistiknya agar sentiasa tetap berada di jalur yang benar. Sesuai dengan
kode etik junalistik, relevan dengan peran dan tanggung jawab jurnalis Muslim,
dan menjadi bagian dari dakwah Islam dalam menyebarkan kebaikan-kebaikan kepada
khalayak. Bahkan bila memungkinkan, pihak universitas dapat menyediakan dana
kepadanya agar bisa magang dan menimba pengalaman jurnalistik di media arus
utama di Jakarta, misalnya. Sebab bagi saya Ecce adalah tipe mahasiswa yang
ingin maju dan bekerja keras, walaupun kesandung dengan masalah yang mungkin
sulit untuk dimaafkan bagi sebagian orang.
Saya secara
pribadi tidak setuju, jika karena kasus ini, ada upaya untuk menjatuhkan sanksi
akademik kepadanya, karena yakin sesuai dengan kapasistas ilmu yang saya
miliki, itu bukan yang terbaik, justru memperpanjang masalah. ***.
Bakung Samata, 29 Mei 2018
Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Dosen Mata Kuliah “Teknik
Peliputan dan Penulisan Berita” pada Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Tulisan ini adalah pendapat pribadi, boleh
dibagikan atau dimuat di media sosial untuk kebaikan bersama.
(catatan : artikel ini sudah pernah dipublikasikan melalui berbagai media sosial bulan Mei 2018 lalu).
0 Comments