About Me

Memahami Propaganda Politik para Politisi




Sekali lagi, Tentang Bang Ali Muchtar Ngabalin

Sebagai manausia biasa, bukan sebagai paranormal, saya tidak tahu persis apa gerangan yang terjadi dan yang akan terjadi. Saya percaya akan Kemahakuasaan Tuhan, meyakini akan adanya takdir baik dan takdir buruk. Tetapi takkan pernah tahu persisnya, kapan hal itu akan terjadi. Mengapa dalam satu minggu terakhir ini, sudah dua kali saya menemukan atau bersentuhan sesuatu yang dapat menyebabkan munculnya ingatan saya kepada Bang Ali Muchtar Ngabalin.
Pertama adalah pada Ahad, tiga hari lalu, 10 Juli 2018. Ketika saya bertugas ke kantor Muhammadiyah Jl. Gunung Lompobatttang No. 201 Makassar. Di samping kantor tersebut, ada sebuah rumah tua, yang kami sewa sebagai warung jualan sembako 28 tahun lalu.
Sekitar tahun 1990-1992, di warung itu, saya sering meladeni Bang Ali saat belanja keperluan sehari-hari. Dalam kesempatan lain, ketika Bang Ali belanja, beliau tidak langsung pulang. Cerita panjang lebar dengan kami, sambil menikmati siaran radio Bharata FM, yang memutar drama serial Tutur Tinular. Sebelum pamit, bang Ali sering menasihati saya, agar jangan melupakan shalat dan terus belajar.
Hubungan saya dengan Bang Ali boleh dikata cukup baik. Di Masjid Ta'mirul Muslimin, tak jauh dari Sekretariat Pelajar Islam Indonesia (PII), dia sering jadi imam, kami jadi ma'mum. Kadang kala sebaliknya. Kami sedikit punya kesamaan. Sama-sama perantau di negeri orang. Saya Batak, dari Sumatera Utara dan Bang Ali dari Sorong Papua saat itu masih disebut Irian Jaya. Jarak dari Ujung Pandang ke Papua hampir sama jaraknya ke Sipirok kampung halaman saya, 338 km dari Medan. Kedekatan kedua adalah karena kami sama-sama aktivis organisasi Islam. Dia aktif di PII sedangkan kemudian saya aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM).
Peristiwa kedua, adalah hari ini. Tak kuduga sebelumnya, tiba-tiba saja facebook saya, menampilkan foto kenangan, yang di dalamnya ada wajah Bang Ali dengan surban putihnya. Dalam foto itu bang Ali kelihatan hampir terjepit, hendak menerobos orang, sepertinya untuk mendekat ke pak SYL, Gubernur Sulsel.
Facebook menampilkan foto yang empat tahun lalu saya unggah ketika masih aktif sekolah di Malaysia. Sebenarnya saat saya unggah, tak ada kaitannya dengan Bang Ali. Foto itu diunggah untuk mengumumkan kedatangan Gubernur Sulawesi Selatan, H. Syahrul Yasin Limpo ke UKM Malaysia, 14 Juni 2014. Saat itu saya bertindak sebagai ketua panitia syarahan atau kuliah umum SYL di Persada Canselori UKM.
Foto itu sendiri dijepret akhir tahun 2012, tepatnya 1 Desember 2012 oleh abang Ilham Hamid DM, yang pernah menjadi Staf Ahli Rektor UIN Alauddin Makassar. Itulah kali terakhir saya ketemu, enam tahun lalu. Ketika itu adalah menghadiri pemakaman ulama sepuh Muhammadiyah, alm. H. Abd. Qadir Sarro, di Kompleks Pesantren Hizbul Wathan Desa Belapunranga, Kec. Parangloe Kab. Gowa. (sebagai catatan: dulunya pesantren ini adalah milik yayasan almarhum, namun sejak tahun 2017, pesantren ini telah diserahkan penuh kepada persyaritakan Muhammadiyah Sulawesi Selatan, termasuk kepemilikan tanah sekitar dua hektar dan pengelolaan sekolah, serta seluruh bangunan yang ada di dalamnya).
Kala itu, saya sempat bincang-bincang dengan Bang Ali. Katanya, sebagai ketua umum BKPRMI pusat, dia mestinya ke Manado, melantik pengurus BKPRMI Provinsi Sulawesi Utara. Tapi dia justru serahkan ke pengurus lain, karena mendengar gurunya meninggal dunia. Secara berkelakar beliau mengatakan kira-kira begini: “Apa jadinya kalau guru meninggal, muridnya tidak mau datang? Murid apa itu?” Bahkan beliau dengan sengaja datang ke pekuburan ini, walaupun agak jauh dari Makassar, itu karena sangat menghormati gurunya ini ketika masih aktif di IPM Cabang Makassar di Ta’mirul Masajid Jl. Banda Makassar tahun 1980-an.
Foto ini juga mengingatkan atas disertasiku di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 2015. Pada bagian pembahasan dalam bab IV, sengaja kupasang foto ini. Ini adalah untuk menguatkan gambaran dalam penelitian saya tentang hubungan para ulama selaku opinion leader di Sulawesi Selatan dengan Gubernur SYL saat itu.
Sekedar tambahan bahwa disertai saya berjudul "Kesan Penyertaan Pemimpin Pendapat dalam Menyokong Pembangunan Nasional di Provinsi Sulawesi Selatan". Jadi, jika kita berkunjung ke UKM Bangi, datanglah ke Perpustakaan Tun Sri Lanang lantai 5 bagian koleksi khusus. Di sana akan ditemukan tesis saya tersebut,  pada bab IV akan ditemukan foto SYL dan serta Bang Ali hampir terjepit lengkap dengan seorang putihnya. Insya Allah, kalau tidak ada halangan, tak lama lagi akan terbit dalam versi buku, yang  sudah disetujui oleh pihak penerbit Universitas Kebangsaan Malaysia.
Artikel saya yang pertama terkait bang Ali berjudul "Ali Muchtar Ngabalin dan Warung Tulang", terbit kemarin, ternyata sampai juga ke Bang Ali, atas budi baik Kak Rahmat Nour. Beberapa saat kemudian, saya mendapat pesan dari Bang Ali, diajak ikut serta buka puasa bersama dengannya di sebuah restoran di Makassar pada Selasa, 12 Juni 2018. Sayang sekali, saya tak sempat hadir, karena sudah terlanjur berangkat mudik ke Majene, mau lebaran dengan ibu mertua.
Beberapa waktu lalu, saat Bang Ali diangkat sebagai pegawai istana negara, membantu Presiden Jokowi, ada beberapa pihak yang menyesalkannya. Tentu dengan berbagai alasan yang cukup politis, yang sedikit cenderung emosional. Walaupun ilmuku masih terbatas, tetapi sebagai dosen yang mengajarkan tentang komunikasi politik, dapat memahami posisi Bang Ali.
Saya justru gembira beliau masuk ke Istana. Sebab dengan kedekatan tersebut, peluang untuk menjalankan risalah dakwah, berpotensi untuk lebih mengena. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentu tidak bisa sim sala bim. Tidak mungkin langsung tampak seperti membalikkan telapak tangan. Perlu proses, juga waktu. Harus optimis, tidak langsung skeptis.
Insya Allah.
Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Leppe, Majene, 130628, jelang dhuhur.



(catatan : artikel ini sudah pernah dipulikasikan melalui berbagai media sosial beberapa waktu lalu).

Post a Comment

0 Comments

close