About Me

Kerukunan Umat Beragama di Sipirok



(Penulis berada di Depan Masjid Taqwa Muhammadiyah Pasar Sipirok. Di Kecamatan Sipirok, terdapat kehidupan umat yang rukun dan damai).


Kerukunan Umat Beragama dan Kondisi Toilet
(catatan kecil perjalanan ke Sumatra Utara)
Oleh : Haidir Fitra Siagian


Sejak awal ketika saya ingin menjenguk ibu tercinta di Sipirok, sudah kuniatkan berangkat lewat Medan dengan jalan darat. Walaupun saya tahu, melalui postingan beberapa kawan dalam media sosial, ada jalanan di Batu Jomba yang rusak tidak bisa dilewati, saya tetap berupaya lewat jalan darat. Untunglah pihak taxi Sempati, yang saya hubungi dari Kuala Lumpur sesaat sebelum terbang ke Kuala Namu, menjamin bahwa dapat sampai ke Sipirok sekiranya pun jalanan rusak. Dimana jika rusak atau macet total, maka akan mencari alternatif lain yakni via Pangaribuan tembus keluar dari Simangambat, dengan menambah ongkos sebesar dua puluh ribu.

Harus lewat darat tentu dengan satu niat yang amat sederhana. Agar dapat melihat dan merasakan suasana kampung halamanku, Sumatra Utara. Terakhir saya lewat Medan adalah empat tahun lalu. Saya ingin mencoba membandingkan dan menikmati perubahan yang ada. Mencari sisi-sisi lain yang bisa dibagikan kepada berbagai pihak.

Maka berangkatlah kami dengan taxi Sempati pukul delapan malam menuju Sipirok. Beberapa hal yang saya temukan di perjalanan, ingin saya bagikan kepada teman-teman. Kiranya dapat menjadi pengetahuan bersama, diketahui oleh pengambil kebijakan dan mengambil langkah-langkah sebagaimana mestinya.

Sopir Medan, Takut Hidup

            Ini adalah pengalaman saya yang ketiga menggunakan taxi Simpati dari Medan ke Sipirok. Tahun 2011 saat ayahku meninggal dunia. Tahun 2013 sesaat setelah kembali dari Australia. Dan yang ketiga adalah tadi malam. Pengalaman naik pertama dan kedua sama saja dengan pengalaman naik taxi kali ini. Sama-sama menegangkan dan membuat hati degap-degup. Sekiranya saya ingat peristiwa naik taxi pertama dan kedua yang lalu, saya pasti tidak mau lagi naik taxi ini tadi malam.

            Luar biasa kencangnya. Tidak sekedar kencang, tapi lebih dari itu. Melambung semua kenderaan yang ada di depannya. Tampaknya sopir alergi menginjak pedal rem. Saya mencatat tidak kurang dari sepuluh kali memejamkan mata, tidak sanggup melihat gaya sopir mengendalikan stir. Bahkan beberapa kali pula saya seolah-olah ikut menginjak rem dan ingin mengambil alih kemudi. Padahal saya berada di jajaran kursi kedua. Tiada hentinya berzikir dan mengingat Allah SWT. Apakah sopir ini untuk sudah takut hidup? Saya tidak menggunakan “berani mati”, tapi untuk kasus ini, saya gunakan istilah “takut hidup”.

            Mulai dari Medan hingga ke Pematang Siantar, sesama sopir taxi saling berebutan, mendahului. Sempat ada percekcokan sesama sopir lain dari rute yang berbeda. Sopir yang membawa kami sama sekali tidak memberi kesempatan kepada sopir lain untuk melambung. Bahkan dianya yang selalu melambung. Termasuk melambung truk, bus, mobil mini. Bahkan anak muda yang balapan pun, dilambungnya. Saya membayangkan jika kami tabrakan dengan kenderaan dari arah yang berbeda atau tiba-tiba menabrak kenderaan di depan yang jaraknya hanya seperempat meter, akibatnya bisa fatal. Sambil berzikir terus, ku berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan yang keselamatan kepada kami.

            Saya fikir hal ini jangan dibiarkan. Dengan alasan apapun. Alasan mengejar target, ingin cepat sampai, atau mencari penumpang. Sopir harus dilatih mentalnya, nuraninya, mendahulukan kepentingan pun keselamatan penumpang. Demikian pula bukan hanya keselamatan dirinya sendiri, tetapi ketenangan anak-istri juga keluarganya yang lain. Saya dapat pastikan sopir yang demikian ini, tak boleh menyetir di luar negeri yang berperadaban tinggi.

Polisi Tidur di Jalan Poros

            Sejatinya tugas seorang aparat keamanan di negara manapun, adalah untuk mengayomi masyarakat. Dalam hal ini, mengayomi maksudnya termasuklah memberikan rasa aman dan gembira dalam segala suasana. Demikianlah tugas seorang aparat kepolisian yang diharapkan oleh rakyat banyak. Ya, bukan hanya di negara kita, tetapi itu pun menjadi sesuatu yang diinginkan oleh masyarakat internasional.

            Tetapi cerita kali ini, bukanlah cerita tentang polisi yang sesungguhnya. Ini hanyalah cerita yang orang sebut sebagai “polisi tidur”. Entahlah apa sebab disebut polisi tidur, mungkin karena ada kesamaan tugas, meski secara fisik jauh berbeda. Secara umumnya, polisi tidur adalah segunduk aspal atau beton yang dipasang melintang di tengah jalan, dari pinggir kiri ke pinggir kanan. Fungsi utamanya adalah untuk mengurangi kecepatan lalu lintas. Memberi peringatan kepada sopir yang membawa mobil atau motor agar lebih hati-hati. Biasanya polisi tidur dipasang di kawasan perumahan atau kompleks yang padat penduduk, depan bangunan sekolah, terutama yang ramai anak-anak. Dalam konteks ini, kita dapat memakluminya.

            Akan tetapi, jika polisi tidur dipasang di jalan poros negara, jalanan yang dilalui kenderaan untuk menghubungkan antar propinsi, itu adalah langka. Saya sendiri mendatangi berbagai provinsi di negara ini, termasuk di luar negeri, tidak ada yang namanya polisi tidur dipasang di jalan poros. Jikapun satu kawasan itu perlu ada kehati-hatian, maka yang dipasang adalah rambu-rambu lalu lintas, tentu sesuai dengan Undang-Undang Lalu Lintas yang berlaku di negeri ini.

            Dalam perjalanan Medan – Sipirok kemarin malam, saya mendapati satu kawasan terdapat beberapa polisi tidur yang cukup berdekatan. Kalau tidak salah lima hingga enam polisi tidur.  Mungkin jaraknya hanya seratusan meter. Saya tidak tahu persis dimana lokasinya ini. Yang jelas kiri-kanan tampak cukup banyak rumah dinas seperti rumah dinas militer. Jika itu adalah rumah dinas tentara, maka kemungkinan itu adalah kompleks perumahan militer, atau tidak jauh dari markas kesatuan militer.

Belum pasti memang ini apakah jalan negara atau atau tidak. Karena kami lewat malam. Umumnya, jika satu jalanan dilewati bus-bus besar, truk-truk dan mobil angkutan antra propinsi, adalah jalan poros nasional. Kalau tidak salah, tak lama setelah melewati polisi tidur ini, taxi yang kami tumpangi singgah rehat dan makan di sebuah rumah makan di Kota Pematang Siantar.

            Untuk jalan poros nasional, guna menghindari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, sebaiknya janganlah menggunakan polisi tidur. Perlulah dibuat rambu-rambu lalu lintas resmi. Sebab polisi tidur, selain itu adalah tindakan yang tidak resmi, juga sebenarnya cukup membahayakan. Berbahaya bagi sopir dan penumpang, juga bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.


Toilet yang Tak Nyaman

            Salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi setiap insan yang berperadaban modern adalah toilet. Saya ingin mengulangi adalah “insan yang berperadaban”. Sesungguhnya, toilet atau tandas dalam istilah teman-teman di Malasyia, adalah tempat yang paling penting bagi kita. Hampir tiap hari, bahkan dua, tiga, hingga empat kali orang akan selalu mengunjungi toilet, sebagaimanapun suasana dalam toilet tersebut.

            Itulah sebabnya di berbagai tempat di berbagai negara yang pernah saya kunjungi, toilet dibangun dengan perasaan yang indah. Karena dibangun dengan perasaan yang indah, maka dalam penggunaan toilet juga terasa indah. Cobalah teman-teman pergi ke sebuah hotel berbintang lima. Toiletnya dibuat secantik dan seindah mungkin. Rasanya kita enggan untuk membuang hajat di toilet yang begitu indah. Enggan rasanya mengotori tempat yang sangat bersih.

            Demikian pula di negara-negara maju, seperti Australia. Toilet umum yang terdapat di pusat kota, sangat indah, bahkan memiliki konsep seperti dalam hotel. Untuk toilet yang lebih sederhana, ada di negara tetangga kita. Malaysia, Thailand dan Singapura, khususnya di tempat-tempat yang saya datangi, kondisi toilet begitu menggembirakan. Seharusnya memang demikianlah, karena, toilet menggambarkan kondisi kejiawaan seseorang. Rumah yang indah, bukan karena penuh hiasan dari Timur Tengah yang dibawa oleh mereka yang pulang dari umrah. Bukan pula karena terdapat banyak bunga dengan berbagai jenis, atau foto keluarga yang dipasang dengan bingkai besar.

Tetapi rumah yang indah adalah yang memiliki toilet yang nyaman digunakan. Ada air yang cukup, penerangan dan ventilasi udara, juga peredaran air yang sempurna. Tidak ada kotoran yang tinggal dan kalau hujan tidak bocor. Itulah rumah yang indah. Itulah tempat rehat yang nyaman. Itulah kantor yang berperadaban.

            Bagaimana kondisi toilet umum di Sumatra Utara? Dalam perjalanan Medan – Sipirok kemarin malam, setidaknya saya lima kali menggunakan toilet di lima tempat yang berbeda. Pertama di loket taxi Simpati. Kedua, di tempat pengisian BBM atau galon, masih sekitar Medan. Ketiga di tempat rehat sejenak membeli makanan ringan di Pasar Bengkel.  Keempat, di sebuah rumah makan di Kota Pematang Siantar. Kelima di sebuah rumah kopi di sekitar Pangaribuan.

Dari kelima kondisi toilet tersebut, dalam pandangan saya, tidak ada satupun yang memenuhi toilet dengan standar yang berperadaban sebagaimana tersebut di atas. Tidak elok jika saya menyebut kondisi masing-masing toilet. Akan tetapi secara umum, kondisi kelima toilet tersebut adalah : gelap, kotor, jorok, kurang ventilasi, air tidak mengalir, lantai tergenang, ada yang pipis bukan di closet melainkan di lantai atau dinding.

Bukan berarti kelima toilet itu persis semua seperti itu. Tentu berbeda. Di toilet yang satu penuh air, tetapi gelap. Di tempat yang satu, ada air dan terang, tetapi jorok penuh sampah dan bahkan ada bangkai tikus. Itulah gambaran toilet di Sumatra Utara yang saya dapat semalam. Kondisi toilet tersebut sebenarnya memprihatinkan. Satu antara cara untuk mengetahui gambaran peradaban sebuah negara, lihatlah toiletnya. Jangan salahlah jika orang luar akan menilai kondisi negara atau kampung kita dari keadaan toiletnya.

            Saya bandingkan dengan kondisi toilet di Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi, bahwa toilet di Sumatra Utara, harus segera diperhatikan. Tidak hanya tugas pemilik rumah makan atau pemilik SPBU, tetapi untuk toilet umum perlu ada perhatian khusus dari pemerintah. Kok urusan toilet harus diurus negara? Bukan berarti pak Camat, Bupati, atau pak Gubernur yang harus membersihkan toilet. Bukan itu maksudnya. Melainkan seorang pemimpin dengan penuh kharisma dan ciri kepemimpinannya membuat orang memperhatikan toilet. Tidak harus mengeluarkan Pergub dan sejenisya. Tapi silahkan pihak pemerintah berkaca ke daerah lain atau mungkin pula studi banding ke luar negeri. Contoh sederhana, lihatlah terminal di Malaysia, tepatnya di Terminal Bersepadu Selatan atau di Terminal Larkin. Toiletnya cukup indah dan nyaman dipergunakan. Toiletnya seperti layaknya toilet di kamar hotel berbintang empat.

Indahnya Pemandangan Indonesia

            Rusaknya jalanan di kampung Batu Jomba dari arah Tarutung ke Sipirok, ternyata membawa hikmah bagi saya. Betul kata orang bijak, sebagaimanapun ada masalah, tentu ada sisi positif yang diambil dari masalah tersebut. Terpulang kepada kita masing-masing untuk mengambil hikmahnya. Jika sesuatu itu dipandang dari sudut yang positif, maka hikmah yang baik akan ditemukan.

            Demikian halnya dengan apa yang kami alami semalam. Gegara rusak jalanan di Batu Jomba, maka para sopir taxi mengambil inisiatif dari jalur lain, yakni masih dari Siborong-borong Tapanuli Utara menuju Kecamatan Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara selanjutnya masuk ke arah jalan Simangambat Kabupaten Tapanuli Selatan. Walaupun jarak tempuh semakin jauh, tetapi saya sedikit bersyukur dalam hati. Karena niat saya memang menggunakan jalan darat dari Medan ke Sipirok adalah untuk menikmati alam Indonesia.

            Betul saja, ketika memasuki wilayah Pangaribuan, jelang shalat subuh, sekitar dua belas taxi yang mengambil jalur alternatif tadi, singgah di sebuah kode kopi yang masih tertutup. Di belakang ada mushalla kecil tapi cukup bersih dalam ukuran saya, walaupun masih sederhana. Kami singgah shalat subuh. Sedangkan yang tidak shalat subuh, langsung masuk ke warung yang baru dibuka setelah digedor. Setelah shalat subuh, saya masuk ke dalam warung memesan dua gelas kopi susu panas. Heran saya, ketika membayar, hanya lima ribu rupiah per gelas. Karena dua gelas menjadi sepuluh ribu rupiah. Sungguh murah, karena di Makassar harga segelas kopi susu sudah mencapai lima belas ribu rupiah.

            Setelah itu, semua taxi melanjutkan perjalanan secara beruntun seperti jejeran ternak itik, satu per satu menelusuri jalan kecil yang kadang baik kadang rusak. Rusak berlubang dengan genangan air. Ada juga yang mulus, tampaknya baru selesai diperbaiki. Dalam kondisi demikian, masih ada saja taxi yang suka ngebut untuk mendahului.

            Dalam perjalanan ini, saya benar-benar menikmati pemandangan yang indah. Kiri-kanan terdapat lembah yang jauh di ujung sana sedangkan di atasnya masih terdapat kepulan awan putih bersih. Hutan yang indah dengan pepohonan yang rindang menambah sahdunya pemandangan membuat mata menjadi terpesona. Pada saat melewati perkampungan penduduk, menikmati rumah-rumah tempo dulu walaupun terlihat tua dan rusak, hakikatnya masih tetap indah. Gemercik air dan suara burung yang berkicau, seolah-olah nyanyian alam yang tiada terkira. Anak-anak terlihat berlari-lari kecil saling kejaran dengan teman-temannya. Beberapa ibu setengah tua sambil menggendong anaknya berjalan menuju warung. Mungkin mau beli rokok untuk suaminya. Sebagai bekal suami tercinta yang akan ke sawah menanam padi.

            Inilah pemandangan yang sungguh indah. Benar ini, lebih indah dari pemandangan yang pernah kulihat di negara orang. Karena bagi saya inilah Indonesia yang sesungguhnya. Indonesia yang damai dan rukun. Tidak ada gesekan-gesekan yang mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Sekiranya pemandangan yang indah ini dikelolah dengan baik pun serius, maka bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang mencintai keindahan yang alamiah. Jalanan dari Pangaribuan sampai ke Simangambat ini, bisa menjadi altenatif sebagai jalan nasional jika memang jalanan dari Aek Latong tidak dapat lagi dilalui.

Kerukunan umat Beragama

            Dalam mata kuliah “Komunikasi Antrabudaya dan Agama” yang saya ajarkan di Universitas Muhammadiyah Makassar, dikenal istilah toleransi dan pluralisme. Kedua istilah tersebut sebenarnya adalah bermakna positif. Hanya saja dalam realitasnya, kedua istilah ini sering diputarbalikkan maknanya. Atau sengaja dipaksakan dengan makna tertentu atas tujuan tertentu pula. Jika itu terjadi, maka cenderung untuk mengaburkan makna hakiki dari kedua istilah tersebut.

            Di negara kita, cukup sering terjadi keributan atau konflik antar umat beragama. Bahkan dulu pernah terjadi pertumpahan darah di beberapa kawasan Timur Indonesia. Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, sebenarnya tidak ada satupun ajaran agama yang menganjurkan konflik atau permusuhan kepada agama lain. Justru sebaliknya, yang ada adalah ajaran kebersamaan, kerukunan, keadilan, dan persabahatan. Jadi kalau ada konflik antarumat beragama, dalam pandangan saya, itu adalah terdapat aspek lain, terutama aspek ekonomi dan politik. Bahkan dari kalangan akademik pun terdapat beberapa pihak yang mencoba mengambil keuntungan di dalamnya. Akan panjang ceritanya kalau itu dibahas dalam tulisan sederhana ini.

            Sipirok adalah kecamatan yang sangat majemuk. Terdapat dua agama besar di lembah Sibual-buali ini. Yakni agama Islam sebagai agama terbesar, kemudian Protestan dan lain-lain. Sepanjang ingatan saya, seluruh umat beragama di Sipirok rukun dan damai. Tidak pernah terdengar ada masalah-masalah terkait dengan agama. Dalam arti masalah, adalah masalah yang berarti besar. Bahwa ada satu dua riak kecil, jarang terjadi, kalaupun pernah terjadi, dapat diselesaikan dengan baik. Saling memahami dan menghormati masing-masing umat beragama.

            Begitu masuk Desa Sipogu, saya melihat terdapat beberapa masjid dan gereja yang berjejer. Berdekatan sekali, dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Demikian pula di Desa Bunga Bondar dan Desa Sibadoar, terdapat masjid dan gereja yang tidak jauh. Di Kota Sipirok, terdapat masjid besar dan gereja besar yang jaraknya juga cukup dekat, kira-kira seratus-dua ratus meter. Tepatnya di Kelurahan Bagas Na Godang.

            Ketika saya masih SMP Negeri 1 Sipirok tahun 1987-1990, ketua kelas kami adalah beragama non Muslim. Padahal siswa yang paling banyak adalah beragama Islam. Yang non Muslim bisa dihitung jari, ketika pelajaran agama Islam mereka istirahat keluar dari kelas. Saat kelas I, ketua kelas kami bermarga Sinaga dan ketika kelas tiga bermarga Hutabarat.

Saya pun ingat ketika masih kecil, sekitar tahun 1980-an, ayah dan ibuku pergi ke Desa Padang Matinggi, tidak jauh dari Desa Panggulangan, kampung kakek dan nenekku. Di sana ada peresmian gereja yang di atasnya terdapat patung ayam jantan berkokok. Ibu dan ayah, bersama dengan umat Islam lainnya saling membantu mengerjakan urusan dapur sebagai persiapan peresmian gereja. Mereka ikut memasak, mengatur kursi, membersihkan, dan seterusnya. Itulah bentuk nyata dari sikap toleransi yang sesungguhnya, tanpa perlu menafsirkan lebih jauh dan berbelit-belit.

            Demikian pula sekitar kelas II SMP, tahun 1988, saya pergi rumah Tulang saya Amaran Pakpahan di Desa Parau Sorat. Saat itu menjelang Natal dan Tahun Baru. Oleh tetangga yang bersebelahan rumah, beragama Protestan, kami dikirimi hadiah kue-kue. Ibu guruku yang bermarga Lubis, non Muslim juga demikian. Kami diajak ke sawahnya di Desa Sibadoar, membantu mencangkul, menanam padi,  dan seterusnya.

            Inilah selintas gambaran umat beragama di Sipirok, aman dan damai. Tentram dan tiada kendala yang berarti. Dari dulu hingga sekarang. Saya kira ini adalah berkat dari sikap toleransi dan pluralisme yang diterapkan oleh masyarakat Sipirok. Boleh berbeda agama, tetapi tetap rukun, tidak saling menghinakan antara satu agama dengan agama lain. Inilah kekayaan orang Sipirok yang sejatinya. Konteks toleransi dan pluralisme itu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat saja, tidak boleh masuk dalam ranah ibadah agama. Urusan ibadah agama adalah urusan umat beragama itu sendiri, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, adalah urusan bersama, tanpa memandang apapun agamanya. Kami juga dulu pernah bertetangga sawah dengan seorang Pendeta. Kami sama-sama memperbaiki bendungan dan saluran air ke sawah, tepatnya di Saba Lampesong.

            Dari dulu hingga sekarang saya menikmati alam Sipirok dalam konteks kehidupan umat beragama. Bandingkan dengan sikap orang-orang di luar sana. Kadang melarang membangun masjid kadang melarang membangun gereja. Bahkan sesama Islam pun ada yang melarang membangun masjid katanya beda aliran. Ada yang menyoal suara azan. Ada pula yang menjelek-jelekkan agama lain baik melalui media sosial dan seterusnya. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi di Sipirok.

            Setiap hari ada suara azan dari masjid, juga tarhim atau mengaji menjelang azan. Semuanya berjalan dengan baik. Bahkan dengan suara yang keras dan lama. Misalnya sejak tadi subuh, saya dengar sendiri, sekitar satu jam sebelum azan subuh, ketika orang lain masih tidur nyenyak dan bermimpi indah, sudah ada suara mengaji dari masjid dengan sangat volume yang amat keras. Padahal di sekitarnya bukan hanya umat Islam, terdapat juga umat agama lain. Seperti halnya yang terjadi di Masjid Sri Alam Dunia, Kelurahan Bagas Na Godang. Volume tarhim dari masjid sangat keras, dan terdengar sampai Banjar Toba, kawasan pemukiman banyak non Muslim. Toh semua berjalan dengan baik tanpa masalah yang berarti.

Saya memandang bahwa selama ini kerukunan umat beragama di Kecamatan Sipirok sudah berjalan dengan baik. Bahkan boleh jadi menjadi barometer kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini perlu diteliti secara ilmiah dengan teori-teori akademik. Dengan harapan menjadi rujukan bagi kalangan akademik dan kepentingan yang lebih luas. Saat ini saya sedang menyusun satu proposal penelitian tentang pola komunikasi antar umat beragama di Kecamatan Sipirok. Proposalnya sudah saya ajukan ke pihak kampus dimana saya mengajar. Semoga proposal ini dapat diterima. Amin.

Akhir kata sekali dari catatan yang sudah saya tulis ini,  adalah bagaimana kita semua berpartisipasi dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas dari  apa yang saya kemukakan di atas. Jika ada yang jelek mari kita sama-sama perbaiki. Untuk hal yang baik, mari kita jaga dan lestarikan. Tentu sesuai dengan kapasitas dan kewenangan kita masing-masing.

Kepada pihak yang memiliki akses ke pengambil kebijakan, mohon bantuannya agar catatan ini  disampaikan kepada mereka. Baik kepada Bapak  Gubernur, Bupati, Kepala Dinas terkait, Anggota DPR, maupun pihak lain yang berkompeten. Dengan harapan dapat dijadikan rujukan atau informasi awal dalam hal pengambilan kebijakan. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf jika kurang berkenan.***

Wassalam
Sipirok, 28 Oktober 2018 jelang tengah malam

Hormat saya,
Haidir Fitra Siagian
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Alauddin Makassar/Kelahiran Sipirok, 20 Oktober 1974








Post a Comment

0 Comments

close