Mengapresiasi
Himbauan Gubernur
Oleh
: Haidir Fitra Siagian
Surat edaran
Gubernur Sulawesi Selatan nomor 338/8744/B.Kesbangpol tanggal 26 Desember 2018,
yang ditandatangani oleh Wakil Gubernur, Andi Sulaeman Sudirman, mendapat
sambutan beragam dari masyarakat. Sebagaimana lazimnya sebagai sebuah kebijakan
yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin, tidak lepas dari pihak yang setuju dan
yang tidak setuju. Ini pun ditandai dengan beragam argmentasi yang menguatkan
pandangan masing-masing pihak.
Surat edaran
tersebut adalah bersifat himbauan. Isi himbauan tersebut antara lain adalah
berisi agar masyarakat Sulawesi Selatan tidak merayakan pergantian tahun dengan
membakar petasan, menyalakan kembang api, dan panggung hiburan malam. Justru pemerintah
menghimbau agar perayaan dilaksanakan dengan
kegiatan yang positif, seperti memberi bantuan sosial kepada korban bencana
alam, maupun kegiatan positif lainnya.
Himbauan
sejenis juga datang dari beberapa kepala daerah tingkat provinsi maupun
kabupaten/Kota. Di media sosial, beredar himbauan dari Gubernur Sumatera Utara,
Riau, Lampung, dan Kalimantan Utara. Untuk tingkat kabupaten ada dari Bupati
Enrekang, Bupati Soppeng, Bupati Barru, Walikota Makassar, Bupati Pinrang, dan
lain-lain. Sedangkan Kapolda Sulsel dan Kapolda Sulbar, justru tidak sekedar
himbauan, tetapi larangan bagi anggota kepolisian untuk merayakannya pergantian
tahun baru dengan cara yang sifatnya hura-hura.
Pada
pandangan saya tentu himbauan tersebut adalah sangat-sangat positif. Ada
beberapa aspek positif yang dapat diambil dari himbauan seperti ini, yakni
aspek kesehatan, keamanan, ketertiban, keagamaan,
dan sosial.
Pertama,
aspek kesehatan. Tentunya dapat dipahami bahwa pengunaan petasan dan kembang
api akan rentan terhadap masalah kesehatan. Terutama jika terjadi kesalahgunaan
dalam membakar petasan tersebut. Kemungkinan terjadinya luka bakar kepada
anak-anak, tentu akan berkurang ketika masyarakat melaksanakan himbauan
pemerintah agar tidak merayakan tahun baru dengan petasan dan kembang api. Saya
memperoleh kabar dari teman di salah satu rumah sakit bahwa tingkat kecelakaan
pada hari ini yang datang berobat adalah jauh berkurang dibandingkan dengan
tahun-tahun lalu.
Kedua,
aspek keamanan. Persoalan paling sering terjadi pada saat perayaan malam tahun
baru adalah seringnya terjadi perkelahian dan tindak kriminal lainnya. Bagi
anak-anak muda yang merayakan pesta kembang api dan petasan tersebut, biasanya
dibarengi dengan mengkonsumsi minum-minum keras dan obat-obat terlarang. Hal
inilah yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan keamanan di lingkunan
masyarakat. Pada hari ini, perkelahian antar remaja dan tindakan kriminal,
tidak begitu banyak terjadi.
Ketiga,
aspek ketertiban. Penggunaan petasan dan kembang api, pengalaman pada
tahun-tahun lalu, kerap menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat yang
berpotensi adanya gesekan antar tetangga. Misalnya ketika ada tetangga yang
membunyikan petasan, sedangkan tetangga lain sudah ingin tidur atau ada
keluarganya yang sakit. Pada tahun ini, hal yang demikian dapat diminimalisir.
Keempat,
aspek keagamaan. Bagaimanapun kecenderungan menggunakan petasan dan kembang api
dengan biaya yang sangat besar adalah satu kemubazziran dan perbuatan yang
sia-sia. Tidak ada satupun aspek yang mendukung adanya hikmah positif dari
perbuatan demikian. Ia tidak dapat dikatakan dapat meningkatkan amal saleh yang
boleh meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Allah Swt. Justru kegiatan
seperti ini adalah dilarang agama, karena membakar uang dalam satu malam untuk
tujuan yang sifatnya hura-hura adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam
agama apapun.
Kelima,
aspek sosial. Himbauan pemerintah tersebut sebenarnya mengajak kita semua untuk
lebih mengedepankan kepekaan sosial. Dimana saat ini musibah masih terjadi di
berbagai pelosok di negeri ini. Mereka sedang berduka dan memerlukan bantuan.
Mereka sedang sedih, kita pun turut merasakan kesedihan. Jangan memperlihatkan
kegembiraan yang berlebihan di hadapan saudara-saudara kita yang sedang terkena
musibah. Bukankah kita sebagai bangsa Indonesia adalah bersaudara? Artinya apa
yang mereka rasakan seharusnya kita rasakan juga. Kita mesti menunjukkan empati
dan sensitivitas sebagai cerminan sisi kemanusiaan kepada mereka.
Dengan
demikian, pada pendapat saya, tidaklah pada tempatnya jika ada sebagian
diantara kita yang pesimis bahkan cenderung melakukan perlawanan terhadap
himbauan pemerintah tersebut. Bukankah sebagai warga masyarakat yang baik,
apapun yang dihimbau oleh pemerintah, sepanjang itu sesuai mekanisme yang
berlaku, positif dan bermanfaat untuk kemaslahatan bersama, adalah sewajarnya
dibantu dan didukung.
Melalui
status sosial dan pemberitaan media online, saya mendapati beberapa pihak yang
cenderung menunjukkan perlawanan atau rasa tidak senang kepada himbauan
dimaksud. Mereka adalah kalangan terdidik dari beberapa perguruan tinggi
terkemuka dan sering menjadi narasumber dalam berbagai seminar. Ada pula yang
statusnya adalah aparat keamanan negara. Bahwa memang tidak dapat dipungkiri
himbauan tersebut masih terdapat kekurangan dan belum optimal. Walaubagaimanapun
jika ada kekurangan saat ini, marilah kita berikan masukan kepada pemerintah
untuk memperbaikinya untuk masa yang akan datang. Bukan justru sebaliknya.
Diantara
hal yang mereka katakan adalah bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mau
melaksanakan himbauan tersebut. Bahkan masih terdapat anak muda yang menyalakan
petasan di depan rumah jabatan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Tentulah tidak
semua orang akan melaksanakannya. Satu kebajikan yang diajarkan oleh seluruh
ajaran agama apapun, tidak semua umat beragama mau mengamalkannya. Bahwa tidak
sedikit himbauan agama, dikali nol oleh
umatnya. Misalnya, ibadah shalat, puasa, zakat dan seterusnya adalah ajaran
agama Islam. Akan tetapi masih amat sangat banyak umat Islam yang tidak mau
melaksanakannya, termasuk mereka-mereka yang sering disebut sebagai aktivis
maupun akademisi.
Namun
demikian, di beberapa kawasan, himbauan tersebut sudah terlaksana. Di kompleks
kami, Bakung Balda Sakinah Samata Gowa, hampir tidak masyarakat yang menyalakan
petasan, kecuali satu orang, itupun anak yang usianya masih sekolah dasar. Yang
ada adalah bunyi petasan dan kembang api dari kompleks perumahan lain. Di
Kabupaten Selayar, teman saya melaporkan pun hampir tidak ada bunyi petasan dan
kembang api. Tentunya masih ada kawasan lain yang demikian.
Oleh
karena itu, mengatakan bahwa himbauan gubernur tersebut tidak berarti, adalah
kurang tepat. Bahwa memang belum sepenuhnya efektif. Kurang efektifnya pun
adalah disebabkan oleh berbagai hal. Antara lain adalah kurangnya dukungan dari
pejabat tingkat, kalangan aktivis, maupun tokoh masyarakat. Mungkin karena
menganggap hal itu bukan urusannya.
Terimakasih
Pak Gubernur, Wakil Gubernur. Akibat himbauannya, semalam kami dapat berzikir
dengan baik dan tidur dengan pulas. Wallahu’alam.
Wassalam
Bakung
Samata Gowa, 01 Januari 2018
Haidir
Fitra Siagian
Dosen
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
(catatan
dapat dibagi/dimuat dimedia lain tanpa harus minta izin kepada saya).
0 Comments