Karangan Bunga non Muslim depan Masjid
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Kurang setengah jam sebelum masuk waktu jumat, saya dengan putraku Sudah tiba di depan Masjid Omar, Kota Wollongong, sekitar dua kilometer dari kampus UoW, arah ke pusat kota. Saat itu sayup-sayup kumandang azan pertama sudah terdengar dari dalam masjid. Kulihat ke dalam masjid dari luar sudah ada beberapa jamaah. Suara azan hanya boleh ke dalam, tak terdengar ke luar kecuali dengan suara yang amat kecil.
Ketika turun dari bus, terdapat beberapa lelaki perawakan Arab yang berjalan di depan kami. Ternyata mereka juga hendak ke masjid shalat jumat. Memang sebagian besar jamaah adalah dari Timur Tengah. Ada juga perawakan Afrika, India, Bangladesh. Hanya beberapa orang dari Indonesia dan Malaysia.
Setiba di dalam masjid, azan pertama sudah selesai. Jamaah dari Arab justru mencari tempat di samping pinggir melingkar. Bukan mencari saf pertama. Mereka justru mencari dinding agar bisa bersandar. Sebagian besar jamaah yang masuk selalu mengucapkan salam.
Persis pukul 12.50, khatib naik ke mimbar. Mimbar berada di sudut depan sebelah kanan. Bukan di tengah sebagaimana di masjid-masjid Indonesia dan Malaysia. Mungkin alasannya adalah supaya banyak jamaah yang masuk mengingat masjid ini ukurannya kecil. Sekitar 5x15 meter saja, berbentuk rumah memanjang. Sepintas tak kentara bahwa ini adalah bangunan masjid.
Setelah mengucapkan salam, seorang muazzin, maaf, mirip preman di Indonesia, mengumandangkan azan kedua dengan suara yang amat merdu. Mengapa saya katakan mirip preman karena dia pake jeans, jaket coboy, kaos kaki, tanpa peci, cambang dan kumis lebat. Mukanya berperawakan Arab. Rupanya dia adalah salah seorang pengurus masjid ini. Ketika khatib batuk-batuk, dia tadi pergi ke belakang mencari tissu dan memberikan ke khatib.
Dalam khutbahnya berbahasa Arab dan Inggris, khatib sedikit menyinggung kelompok syiah. Kemudian dia menjelaskan keutamaan Ramadhan yang sebentar lagi akan berakhir. Katanya berbuat baik dan beribadah jangan hanya bulan ramadhan, justru harus dilaksanakan setiap saat sepanjang masa. Khatib juga menjelaskan proses pembayaran zakat fitrah dan shalat id minggu depan. Katanya sambil menunggu pengumuman dari Mufti Australia.
Di sela-sela khutbah, sang khatib yang mungkin sudah berusia di atas 70 tahun ini sempat meminta jamaah merapat ke depan. Karena masih banyak jamaah di luar yang belum masuk. Jamaah membludak, sehingga disiapkan terpal di tempat parkir sebelah kanan sebagai sajadah. Cukup banyak jamaah yang shalat di situ.
Durasi khutbah cukup lama. Hampir 40 menit. Hal ini memang di sengaja karena sambil menunggu jamaah lain dari berbagai penjuru Kota Wollongong. Rata-rata jamaah datang dengan mobil pribadi dan naik bus umum. Naik bus dari kampus UoW ke sini adalah gratis. Jika rute lain adalah membayar. Muslim yang bermukim dekat masjid ini adalah terbatas.
Setelah khutbah, sebelum shalat jumat dimulai, khatib meminta agar saf dirapatkan, agar dapat menampung jamaah lebih banyak. Saya menikmati kerapatan dan kesesakan berjamaah sholat yang pertama ini. Mirip dulu sholat jumat atau magrib di atas kapal laut Pelni tahun 1990an.
Secara umum proses shalat jumat di sini dengan di Indonesia hampir sama. Azan dua kali dengan jarak azan pertama dan kedua adalah setengah jam. Rukun shalat jumatnya sama. Tadi bacaan Al Fatihah dan surah tanpa memperdengarkan lafaz Basmallah atau disembunyikan. Tidak ada doa bersama. Zikir juga sendiri-sendiri. Semua berdoa masing-masing.
Sang imam menghadap ke jamaah duduk di atas kursi plastik. Masih ada satu orang jamaah di samping saya yang shalat lagi empat rakaat dua kali tahyat. Apakah dia jamak Ashar atau shalat dhuhur lagi, kurang jelas bagi saya.
Setelah selesai shalat jumat. Saya masih tinggal di masjid ini beberapa sambil menunggu waktu ashar. Tampak beberapa jamaah juga masih tinggal. Ada yang tadarrus ada juga yang diskusi dengan sesama temannya. Saya sempat berkenalan dengan dua orang dari Indonesia. Satu asal Jawa dan satu asal Padang. Keduanya adalah pelajar UoW, dan mengenal nyonyaku setelah saya memperkenalkan diri.
Dua orang anak-anak keturunan Arab mendekat ke saya. Menanyakan peci hitam yang kami pakai. Dia mungkin heran barusan lihat jamaah dengan peci hitam. Saya memang sengaja pakia peci hitam ini sebagai ciri khas Muslim di kawasan Nusantara. Saya mengaku dari Indonesia. Keduanya adalah keturunan Arab yang berusia 12-13 tahun dan sudah lama menetap di sini.
Di depan Masjid Omar ini beberapa waktu yang lalu penuh dengan karangan bunga. Para warga non muslim dan penduduk lokal Australia sengaja datang membawakan karangan bunga ke masjid dan menumpuknya dekat pintu depan masjid.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada umat Islam di Australia. Juga sebagai tanda turut berduka cita atas penembakan umat Islam dalam masjid di Selandia Baru beberapa waktu yang lalu. Hingga saat ini, saya berpandangan bahwa warga Australia adalah warga yang terbuka atas berbagai perbedaan dan menerima budaya yang berbeda atas dasar kemanusiaan.
Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Gwynneville, NSW, 31.05.19 ba'da Ashar.
0 Comments