Pasar Kaki Lima Tanpa Sampah
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Sejak kecil kita selalu diajarkan tentang kebersihan, bahkan disebutkan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Ungkapan ini bolehlah kita maknai bahwa orang-orang yang beriman pastilah mereka yang mencintai kebersihan. Mencintai tidak hanya dalam konteks diucapkan, diceramahkan, diseminarkan, dipajang dalam kelas, atau diyakini semata, tetapi harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, manakala ada orang yang mengaku beriman kepada Allah Swt., maka dengan sendirinya ia memiliki lingkungan, rumah, halaman, kantor, dan tempat bekerja yang bersih dari sampah maupun kotoran lainnya. Jika tidak, maka tingkat keimanannya masih perlu ditingkatkan setinggi-tingginya.
Rektor UIN Alauddin Makassar periode 2011-2015 lalu, Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT., M.S., pernah mengatakan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai tenaga kebersihan adalah bagian dari upaya melaksanakan keimanan kepada Allah Swt. Bekerja membersihkan masjid, rumah, kantor dan seterusnya, tidak boleh dipandang remeh. Boleh jadi mereka adalah pejuang keimanan dalam hal kebersihan. Mereka memiliki dua kelebihan sekaligus. Pertama, bekerja membersihkan mendapatkan rezki untuk menghidupi keluarganya. Kedua, bekerja membersihkan adalah membantu orang lain agar nyaman dalam bekerja. Pun merupakan manifestasi dari ungkapan tersebut di atas.
Satu diantara berbagai hal yang menjadi tolok ukur negara maju adalah dari aspek kebersihan. Dari beberapa negara maju yang pernah saya tinggali, hampir semua memiliki tingkat kebersihan yang tinggi. Negara mampu membuat regulasi yang “memaksa” warganya untuk hidup bersih dalam lingkungan masing-masing. Warga memiliki keinginan untuk hidup bersih, karena yakin bahwa regulasi yang dibuat pemerintah tentang kebersihan itu adalah bagian dari upaya menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman. Jadi inilah yang menjadi syarat utama sehingga satu negara itu berhasil dalam menangani masalah kebersihan: negara mampu membuat regulasi yang baik dan warganya memiliki kesadaran yang tinggi.
Hari ini, pagi hari sampai sebelum Jum’at, saya dengan keluarga jalan-jalan ke pusat Kota Wollongong, New South Wales, Australia. Tepatnya di Crown Street Mall. Boleh dikatakan ini adalah kilometer nolnya kota ini. Persis di depannya, ada jalanan lebar yang tertutup untuk kenderaan umum. Hanya pejalan kaki saja yang boleh lewat. Pemerintah kota sengaja menutup jalanan ini sebagai tempat umum (public space). Lebarnya sekitar 12 meter dan panjang kurang lebih tiga ratus meter. Pada sisi kiri dan kanan adalah perkantoran dan pusat bisnis. Ada bank, ada mall besar, toko pakaian, penjual kaca mata, café, restoran, kantor real esteta dan seterusnya. Bahkan ada satu gereja tua yang berdiri kokoh tersendiri di atas lahan yang tidak terlalu luas.
Sebenarnya sepanjang hari kerja, jalanan ini selalu dipadati warga yang akan melakukan aktivitas, baik di kantor ataupun di mall. Di beberapa tempat terdapat kursi panjang dengan meja. Boleh diduduki siapa saja. Bahkan ada satu peti besi persis di tengah jalan. Peti besi itu adalah berwarna hitam, tertutup tapi tidak terkunci. Isinya adalah buku-buku bacaan, terutama buku sejarah, perjalanan, majalah, novel dan cerita anak-anak. Ini adalah semacam perpustakaan mini. Tak ada penjaganya. Siapa saja boleh baca, setelah dibaca, tentu kembalikan ke dalam lemari besi itu. Besar kemungkinan perpustakaan ini diperuntukkan untuk mereka yang sementara istirahat atau menunggu seseorang, dan lain-lain.
Beberapa hari lalu, seorang teman saya yang baik hati, namanya Agus Edi Permadi, mengatakan kepada saya bahwa di jalan ini ada pasar pagi, semacam pedagang kaki lima. Buka mulai jam delapan pagi sampai pukul dua siang. Buka hanya setiap hari Jum’at. Itulah makanya kami datang ke sini tadi pagi. Kebetulan anak-anak masih libur sekolah. Nyonyaku yang sudah satu tahun lebih tinggal di sini, tidak tahu akan hal ini. Beberapa teman yang sudah lama di sini, pun tak tahu akan adanya pasar pagi ini. Padahal jarak dari rumah kami hanya sekitar tiga kilometer, naik bus selama lima belas menit dan gratis pula. Memang khusus dari depan kampus University of Wollongong, ada bus gratis ke kota setiap sepuluh menit. Tak membayar dan berlaku untuk siapa saja, bukan hanya mahasiswa.
Kami menyaksikan sendiri keadaan pasar kaki limanya. Saya perhatikan jumlah pedagang yang menjajakan jualannya pada meja di sepanjang jalan, ada sekitar lima puluh hingga tujuh puluh pedagang. Pedagangnya adalah warga lokal atau pendatang. Bermacam dagangan dijual. Mulai dari sayur-sayuran, buah, buahan, pakaian bekas, batu akik yang cantik, bibit sayuran, roti, minuman dingin, dan lain-lain. Yang tidak kalah menariknya adalah penjual roti canai dan martabak Turky. Kedai ini dijaga oleh dua orang perempuan berjilbab setengah tua. Mereka menjual makanan khas Turky yang berbahan daging. Tentu dagingnya halal. Insya Allah.
Selain itu, terdapat satu panggung di pinggir jalan. Panggung itu dilengkapi dengan terpal tertutup bagian atas dan belakang. Satu orang lelaki setengah tua dengan rambut pirang menyandang gitarnya. Mengalunkan lagu-lagu barat popular terkini dan tembang kenangan masa lalu. Di depan panggung, dia menaruh beberapa set kursi untuk pengunjung yang mau menonton. Tak jauh dari tempatnya berdiri, pada bagian depan ada satu koper terbuka. Saya perhatikan beberapa pengunjung memasukkan uang Dollar ke dalam koper. Ternyata demikian inilah cara seniman lokal mengamen dalam kota. Tidak memaksa, dan tidak mengganggu orang yang makan di restoran.
Satu hal paling penting adalah tentang kebersihan. Benar ini pasar kaki lima cukup ramai. Baik penjual maupun pembeli. Tapi tak ada terlihat sampah bertebaran yang signifikan. Di beberapa sudut ada kotak sampah. Putriku yang baru saja membeli martabak dan kebab Turky, makan di kursi batu besar. Setelah makan, sampahnya dibuang ke kotak sampah yang tersedia. Mereka sudah terbiasa demikian. Jika sudah makan, maka sampahnya tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus dibawa ke tempatnya. Demikian pula orang lain. Mereka makan ramai-ramai sambil mendengar musik sang pengamen tadi. Setelah makan, bekas makanan dibuang di tempat sampah.
Ini boleh jadi adalah salah satu wujud bahwa kebersihan itu bagian dari iman. Bagi mereka yang bukan Muslim, tentu tidak menganggapnya sebagai demikian. Bahkan mereka tak tahu apa itu iman. Tetapi soal kebersihan, mereka lebih patuh dan mencintainya. Pertanyaannya adalah kapan lingkungan kita, kampus, kantor, pasar, jalanan, bahkan rumah ibadah kita, bisa bersih?
Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Crown Street Mall, Wollongong, 19.07.19 qabla Jumat
artikel ini juga dapat dibaca pada :
https://klikmu.co/perspektif-haidir-4-antara-keimanan-dan-kebersihan-catatan-dari-australia/
artikel ini juga dapat dibaca pada :
https://klikmu.co/perspektif-haidir-4-antara-keimanan-dan-kebersihan-catatan-dari-australia/
0 Comments