About Me

Surat Cintaku untuk Prof. Habibie

Foto: Prof. Habibie, Presiden ke-3 RI. Sumber : Istimewa

Selembar Surat Cinta untuk Prof. Habibie
Oleh : Haidir Fitra Siagian


Sebagai penikmat informasi, awal tahun 1990-an, di Kantor Muhammadiyah Sulawesi Selatan, saya selalu membaca dua koran lokal Ujung Pandang setiap pagi. Harian Fajar dan harian Pedoman Rakyat. Beberapa waktu kemudian, kami juga berlangganan harian Republika. Dalam awal tahun tersebut, sering sekali memuat berita terkait dengan Prof. Habibie, baik selaku Menteri Riset dan Teknologi, sekaligus sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga sebagai pendiri dan Ketua Umum ICMI Pusat. Sehingga, nama Habibie begitu popular dibenak saya, ketika masih berusia sekitar 16-17 tahun.

Ketika saya masih kelas dua SMA Negeri 3 Ujung Pandang, masih pada  awal tahun 1990-an, terdapat kesempatan untuk bertemu Prof. Habibie. Saat itu, di papan pengumuman sekolah, ada tertempel pamflet lomba menulis artikel yang diselenggarakan oleh pengurus ICMI Pusat. Temanya tentang berbagai hal, salah satunya adalah "agama dalam pandangan saya". Terdiri dari beberapa kategori, termasuk untuk pelajar SMA. Dalam surat undangannya, yang bertanda tangan adalah Dr. Marwah Daud Ibrahim. Nama ini adalah teman sealmamater saya, sesama alumni Fisip Unhas, tetapi jauh di atas saya. Beliau pernah disebut-sebut akan menjadi bakal calon wakil presiden bersama dengan KH. Abdurrahman Wahid (alm) sekitar tahun 2004.

Tertarik akan tema tersebut, saya pun mencoba menulis artikel. Padahal saya sama sekali belum pernah ikut lomba sejenih ini. Ini adalah lomba pertama yang saya ikuti. Untuk mendapatkan data, saya beberapa kali ke perpustakaan wilayah di Jalan Sultan Alauddin depan Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, naik angkutan kota, pete-pete. Hampir satu bulan saya menulis artikel dimaksud. Setelah artikelnya selesai dikonsep, lalu diketik pakai komputer, kemudian saya perlihatkan ke guru bahasa Indonesia di sekolah kami untuk membacanya, mengoreksi dan meminta masukan. Lalu minta rekomendasi dari Kepala Sekolah. Saat itu, Pak Drs. Haji Lapong Mula. Beliau senang, atas inisiatif ini, karena saya yang ikut lomba. Apalagi saya adalah satu-satunya peserta dari sekolah kami.

Untuk pengiriman naskah ke panitia di Jakarta, bisa melalui pos. Bisa pula melalui sekretariat ICMI. Saya pilih ke sekretariat ICMI. Karena tak jauh dari sekolah kami, bisa jalan kaki ke  jalan Baji Ateka, rumah Prof. Syuhudi Ismail (alm). Saat itu menjabat sebagai sekretaris ICMI Orwil Sulawesi Selatan. Habis Ashar, saya antar ke rumahnya. Dengan penuh keyakinan, saya berharap bisa juara, baik juara satu maupun juara harapan.

Beberapa saat kemudian, datanglah surat dari panitia untuk saya. Dikirim melalui jasa pos, dialamatkan ke sekolah SMA Negeri 3 Ujung Pandang Jl. Baji Areng No. 8 Ujung Pandang. Surat dengan amplop besar. Saya senang bukan main menerima suratnya. Saat itu jika kita menerima surat lewat pos di sekolah, ada kebanggaan tersendiri. Apalagi kalau ada staf yang datang langsung mengantar ke kelas. Saya buka dengan perlahan. Ternyata surat pengantar dari panitia lomba yang masih di tanda tangani ibu Dr. Marwah Daud Ibrahim. Isinya adalah pengantar piagam penghargaan, karena telah berpartisipasi dalam menulis artikel dimaksud. Ternyata saya tidak berhasil memeroleh juara apapun, bahkan juara harapan pun tidak.

Walaupun saya tidak berhasil juara, tetapi saya sangat senang dan bangga. Turut mengharumkan nama sekolah, SMA Negeri 3 Ujung Pandang. Di dalam surat itu, dicantumkan semua nama-nama peserta dari seluruh Indonesia, lengkap dengan nama sekolahnya. Kemudian, ya,  karena mendapatkan satu lembar piagam. Warna dasar hijau, kertas tebal, seukuran kertas kwarto dengan tulisan warna hitam. Yang membuat saya lebih merasa senang adalah karena yang bertanda tangan adalah Prof. BJ. Habibie, selaku Ketua Umum ICMI Pusat. Dimana pada saat itu nama beliau sangat populer. Sebagai menteri, sebagai pendiri ICMI, dan banyak disebut-sebut sebagai calon pemimpin masa depan. Yang tercapai beberapa tahun kemudian sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3 tahun 1998. Piagam ini masih tersimpan dengan rapi dalam map istimewa dalam rumah kami di Bakung Balda Sakinah Samata Gowa.

Sekitar tiga tahun kemudian, saya berkesempatan mengikuti kuliah umum Prof. Habibie di Baruga Andi Pangeran Petta Rani Kampus Universitas Hasanuddin Tamalanrea. Jika tidak keliru awal tahun 1995, saya masih semester-semester awal Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas. Beliau ceramah tentang perkembangan teknologi dan informasi dunia Islam. Sempat memperlihatkan benda sepanjang satu jengkal. Katanya, dengan benda itu, tersambung langsung ke satelit. Melalui benda itu, dia bisa berbicara langsung dengan Presiden Soeharto. Belum banyak orang yang bisa memilikinya. Benda itulah yang kemudian saat ini dikenal sebagai telepon genggam.

Setelah ceramah umum, kami para mahasiswa diberi kesempatan bertanya. Hanya beberapa orang yang mendapat kesempatan. Saya sendiri tidak sempat, karena banyak orang yang mau bertanya. Padahal saya sudah angkat tangan dan sedikit maju ke depan. Oleh Gubernur Sulsel saat itu, Pak HZB Palaguna, mengatakan bagi yang tidak sempat bertanya langsung, dapat menulis dalam secarik kertas. Saya pun menulis pertanyaan dalam secarik kertas. Waktu itu menyanyakan tentang daerah otorita Batam. Kertas itu langsung saya serahkan langsung ke Prof. Habibie di pintu keluar, dan memberikan memberikan kepada ajudannya. Tak jelas apakah beliau sempat membacanya atau tidak.

Bagi saya memang tak ada foto dengan beliau. Tapi dengan adanya piagam yang ditandatangani dan sempat menulis surat untuknya, menjadi kenangan tersendiri dengan Presiden Ke-3 negara ini. Memang banyak hal yang bisa dikenang dari beliau. Salah satunya adalah ketika seorang politisi dari negara tetangga mengkritik Prof. Habibie dengan sebutan yang kurang pantas, terkait dengan lepasnya Provinsi Timor Timur. Harian Fajar Makassar pernah meminta tanggapan saya tentang hal itu. Sayang sekali, saya beberapa kali cek, tidak ketemu lagi.

Terkait dengan piagam pengharaan dari Prof. Habibie ini, ternyata baru saja nyonyaku mengaku, bahwa dia juga ikut lomba menulis artikel di atas. Dia juga mendapat piagam dari Pak Habibie, dan masih tersimpan di rumah orang tua di Somba Majene Sulawesi Barat. Dia mewakili SMA Negeri 1 Majene. Tak disangka tak diduga. Tak pernah tahu dan tak pernah janjian. Satu dari SMA 3 Ujung Pandang dan satu peserta dari SMA 1 Majene, sama-sama ikut lomba menulis artikel tersebut, dan sekarang sudah menjadi pasangan suami-istri. Lengkaplah sudah, kami berdua punya kenangan indah dengan almarhum. Insya Allah husnul khatimah.

Wassalam
Haidir Fitra Siagian
Gwynneville, 12 September 2019 ba'da subuh

Post a Comment

0 Comments

close