About Me

Doa Ibu dan Ayah dari Lautan Lepas


Wisuda yang Mengkhawatirkan 090999

Oleh : Haidir Fitra Siagian


Pagi itu, akhir Agustus 1999, saya jalan kaki dari pintu satu ke Kampus Universitas Hasanuddin, sekitar delapan ratus meter, melewati trotoar depan masjid kampus dan danau buatan yang diresmikan mantan Menristek, pendiri ICMI, mantan Presiden RI, BJ Habibie. Hatiku saat itu adalah dengan perasaan was-was dan amat khawatir. Semalamnya saya mendapat kabar bahwa ibu dan ayahku sudah berada di atas kapal KM. Kerinci, perjalanan dari pelabuhan Sibolga ke Makassar. Kira-kira mereka pada hari  itu sudah berada di perairan Lampung, hampir melintasi Selat Sunda sebelum transit di Tanjung Priok, Jakarta. Durasi perjalanan Sibolga – Makassar adalah sekitar lima hari enam malam. Menyusuri lautan luas tak bertepi sepanjang terik matahari dan gemerlap purnama di malam hari.
Saya benar-benar merasa tidak nyaman. Karena kedua orang tua tercinta ini  akan datang ke Makassar adalah untuk menghadiri wisuda saya. Beberapa hari sebelumnya, kami pernah bicara melalui sambungan telepon jarak jauh dari Makassar ke Sipirok. Saya katakan, bahwa tanggal 9 September 1999 akan ada wisuda seluruh fakultas, tapi saya sendiri belum pasti ikut karena belum ujian tutup skripsi. Ternyata ibuku tanpa abc, langsung mengecek jadwal kapal laut, harus berangkat segera. Padahal keduanya masih capek sepulang dari Singapura, berkunjung ke keluarga, bouku, adik perempuan ayah. Jika tidak segera berangkat, mereka akan menunggu jadwal berikutnya, dan diperkirakan akan tiba melewati tanggal wisuda tersebut.
Inilah yang membuat diri ini menjadi sedih gelisah nan khawatir. Bagaimana bisa keduanya akan datang ke Makassar untuk menghadiri wisudaku, sementara belum ada kepastian? Bagaimana sekiranya saya tak bisa ujian tutup, tak wisuda. Apa kata dunia? Tentu sebagai anak, bisa jadi akan mengecewakan kedua orang tua. Dimana ibu dan ayah sudah sangat lama mengidam-idamkan akan ke Makassar lagi untuk menghadiri apa yang disebut sebagai wisuda sarjana. Bagi orang Sipirok saat itu, menghadiri wisuda seorang anak adalah hal yang sangat membanggakan bagi orang tua.
Di tengah kegalauan saya dalam perjalanan ke kampus pagi itu, sebuah vesva tua dengan suara agak keras berhenti tak jauh agak ke depan. Si pengendara membuka helmnya dan memanggil namaku. "Haidir"! Sapanya. Iya pak. Gimana skripsinya. Masih ada satu pembimbing yang belum tanda tangan, kataku. Apa sudah perbaiki rekomendasinya? Sudah pak. Baiklah katanya. "Nanti saya coba komunikasikan dengan beliau", sahutnya lagi sambil berlalu.
Saya tiba di Rektorat, agak pagi. Masih kurang sekali orang. Saya dengar ada berita duka. Ibundanya Pak Rektor, Prof. Radhy A. Gani, baru saja meninggal dunia di Soppeng. Jadi saya paham bahwa salah seorang pembimbing saya saat itu, pasti akan lebih sibuk dari hari-hari biasanya. Selain sebagai dosen dan pembimbingku, beliau juga punya jabatan penting di Rektorat. Benar saja. Saya sudah duduk di sofa depan ruangannya. Beberapa saat kemudian beliau datang. Dan menyapa saya. "Sebentar ya, ini kita lagi ada kedukaan". Iya, Pak, sahutnya dengan amat sopan. Tak lama kemudian, beliau bergegas keluar ruangannya. Saya tetap menunggu. Tak datang lagi. Saya tanya kepada seorang perempuan di situ. Dia bilang sang bapak yang saya tunggu ini akan segera ke Soppeng, melayat ibundanya Pak Rektor. “Tapi pulang ji itu. Datanglah esok pagi”, katanya.
Esok paginya saya pun datang lagi. Lebih pagi dan sangat pagi. Masih belum banyak orang. Saya sudah duduk di sofa depan ruangan bapak dosen pembimbingku ini, lantai tiga Rektorat Universitas Hasanuddin. Pukul delapan pagi lewat sedikit, beliau pun datang. Dia tak melihat ke saya. Beberapa saat saya coba mendekat ke ruangannya. Memang beliau masih sibuk. Saya dengar dia beliau sedang menelepon beberapa orang, beberapa guru besar. Karena saya dengar sendiri kata-kata “prof”, “prof”, dan “prof” lagi. Beliau menyampaikan undangan menghadiri ta’ziyah kedukaan atas berpulangnya ke rahmatullah ibundanya Pak Rektor. Acaranya akan diadakan di rumah jabatan rektor Jl Kartini No. 17 Makassar, depan lapangan Karebosi tak persis di samping Rumah Sakit Bersalin Sitti Khadijah III Muhammadiyah Cabang Makassar.
Saya sudah bulatkan tekad, hari ini harus temui beliau. Karena batas pendaftaran wisuda sisa beberapa hari lagi. Sementara saya belum ujian tutup. Ibu dan ayahku sudah di lautan menuju Makassar, ingin menghadiri wisuda. Detik demi detik, waktu demi waktu, dhuhur pun tiba. Saya pergi salat ke lantai enam Rektorat dekat kantor Identitas, sambil was-was jangan sampai beliau pergi saat saya salat. Ternyata setelah saya kembali duduk di sofa, kuintip sedikit ke ruangannya. Masih ada beliau. Sudah mau ashar pula. Saya belum makan. Jam kantor hampir menunjukkan angka empat. Saya masih menunggu. Setengah lima lewat, saya belum salat ashar. Hati pun jadi tambah gelisah. Beberapa karyawan dari ruangan lain sudah mulai berpulangan. Saya tetap setia menunggu di sofa. Di antara staf ada yang menanyakan urusanku, dan saya menjawab sedang menunggu dosen pembimbing.
Akhirnya bapak dosen pembimbing saya ini pun keluar dari ruangannya, sudah siap mau pulang. Menunggu giliran turun depan pintu lift. Saya mendekat dan menyapanya. Lalu dia mengajak saya kembali ke ruangannya. “Mana yang saya suruh tambah”, tanyanya. “Ini pak” sambil memperlihatkan data yang kutambah dalam bagian bab dua skripsiku. Sebelumnya, beliau meminta agar bagian skripsinya senior saya yang bernama Abdul Halik tentang netralitas media, menjadi bagian dari kerangka teori skripsiku. Saya pun berusaha mencari seniorku tersebut dan meminta salinan skripnya. Kemudian pembimbingku ini pun membaca beberapa saat, dan menanyakan, mana lembar pengesahan. Lalu menandatanganinya. Alhamdulillah. Plong rasanya hati ini.
Dua hari kemudian, saya sudah bisa ikut ujian tutup skripsi. Alhamdulillah, saya dapat mempertahankan skripsi saya di depan panitia ujian. Masing-masing, jika tidak keliru, adalah Drs. M. Iqbal Sultan, M.Si, selalu penguji satu, Drs. Sudirman Karnay, penguji dua. Ketua sidang Drs. AR. Bulaeng, M.S (alm)., Sekretaris sidang Drs. Mursalim, dan pelaksana adalah Muliadi Mau, S.Sos. Sebagai pembimbing satu adalah Drs. Mansyur Semma, S.IP., M.Hum, dan pembimbing dua adalah Drs. Hasrullah, M.A. Melalui kesempatan ini, kepada semua panitia ujian, penguji dan pembimbingku, kembali saya mengucapkan terimakasih banyak dan jazaakumullahu khaeran katsiran. Termasuk kepada saudaraku, Syarifuddin Jurdi atas perhatiannya. 
Besoknya, sehari setelah ujian tutup, saya harus ke pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, bersama dengan abangku, Ardol Rifai Siagian. Menjemput kedatangan ibunda Nursyawalinah Pakpahan dan ayahanda Muhammad Dollar Siagian, dengan perasaan hati senang. Tentu saya senang menjemput mereka dan memberi kabar bahwa saya sudah sarjana, sudah siap mengikuti wisuda. Berbeda dengan beberapa hari lalu, ketika mereka sudah di lautan, sementara kepastian ikut wisuda atau tidak, belum jelas. Ini adalah kedatangan ibu yang kesekian kalinya ke Makassar sejak saya merantau tahun 1990,sedangkan ayah, ini adalah pertama kalinya. Datang dengan bangga dan penuh semangat. 
Hari Kamis, tanggal 9 September 1999, tepat dua puluh tahun lalu, akhirnya saya benar-benar ikut wisuda. Setelah shalat subuh, kami sudah tiba di belakang Baruga Andi Pangeran Pettarani Kampus Unhas Tamalanrea. Beberapa orang tua dan calon wisudawan pun sudah tiba. Atas bantuan adinda Simin Palangi asal Gorontalo dan adinda Wahriyadi Kamaruddin asal Belawa Wajo, kami mencoba mencari posisi yang tepat untuk ibu dan ayahku. Dapat tempat yang cukup baik, di balkon belakang, dan dapat kursi di bagian depan. Saat namaku dipanggi naik ke atas mimbar menerima map ijazah, saya sempat menoleh ke atas. Saya melihat ibuku melambaikan tangannya ke arah saya, sedangkan ayahku kulihat samar-samar mengulum senyum di bibirnya.
Siang harinya, di tempat yang sama, diadakan acara ramah tamah khusus wisudawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dari seluruh program studi dan jurusan ikut bergabung. Termasuk seluruh keluarganya, juga para dosen dan karyawan Fisip. Saya kembali memeroleh berita yang sangat menggembirakan. Berita gembira yang membuat ibu dan ayahku kembali menjadi senang. Protokol menyebut pun memanggil namaku untuk naik ke panggung depan bersama dengan perwakilan prodi dan jurusan lainnya.
Tak kusangka tak kuduga. Sesuatu yang jauh dari ekspektasi saya. Ternyata saya dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Program Studi Jurnalistik Jurusan Ilmu Komunikasi, dengan masa studi empat tahun lebih dan IPK 3,2. Memang kelihatan agak lama dan IPK-nya rendah jika dibandingkan ukuran sekarang. Untuk ukuran saat itu, pencapaian saya sudah cukup baik. Buktinya saya jadi yang terbaik. Seingat saya, yang wisuda saat itu untuk angkatan 1994 Jurusan Ilmu Komunikasi sekitar lima orang dari 92 orang mahasiswa teman angkatan. Bahkan dari prodi Jurnalistik, saya termasuk orang ketiga yang selesai dari 50 orang teman seangkatan. Sisanya yang ikut wisuda angkatan sebelumnya, jika tidak keliru, ada Kanda Syafaruddin Ahmad, Kanda Mahading, Bang Maqbul Halim, dan seterusnya.
Wisudawan terbaik ini, tentu saya persembahkan kepada ibu dan ayahku. Saya ajak mereka ikut naik panggung menerima piagam dari Pak Dekan Fisip, Dr. H. Tahir Kasnawi, SU.  Saya sangat meyakini, keikutsertaan saya wisuda hari itu, dan terpilihnya saya menjadi salah seorang wisudawan terbaik adalah berkat doa mereka di tengah lautan. Mereka sudah berada di lautan, ketika saya masih belum memeroleh kepastian. Tetapi mereka tetap dengan keyakinannya, bahwa harus segera berangkat ke Makassar. 

Apa yang dicapai ini, bukanlah karena kepintaran atau kerja keras saja. Sama sekali tidak. Itu sangat jauh dari rasa cukup. Saya merasakan hebatnya doa dan kegigihan orang tua. Ini adalah berkat doa yang tulus dan murni dari keduanya. Doa yang dipanjatkan dalam setiap salatnya, di tengah malam, di atas kapal, di lautan lepas. Ibu dan ayah, yang selalu ingin merasakan dan berbuat yang terbaik untuk anaknya.***

Wollongong, Senin, 9 September 2019





Post a Comment

0 Comments

close