About Me

Upaya Palaguna Menghibur Warga Muhammadiyah


Perbedaan Idul Fitri, Palaguna Ziarahi Ulama Muhammadiyah 
(Mengenang 5 : H.Z.B. Palaguna, mantan Gubernur Sulawesi Selatan, bagian terakhir dari lima tulisan)
Oleh : Haidir Fitra Siagian

Dalam penentuan hari-hari besar Islam, utamanya penetapan awal bulan puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri tanggal 1 Syawal dan tanggal 1 Dzulhijjah menjelang hari raya Idul Adha, terdapat beberapa kali perbedaan diantara umat Islam, termasuk di Indonesia. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh sudut pandang dan cara yang dipakai dalam menentukan awal bulan Kamariah. Ada yang dengan menggunakan metode ru’yat (melihat) dan ada pula dengan cara hisab (menghitung). Alhamdulillah, dalam catatan penulis, selama ini perbedaan tersebut sudah sering terjadi, dan dewasa ini sudah mulai dapat diterima dan dipahami oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia.

Muhammadiyah secara organisasi memiliki cara menetapkan awal bulan Kamariah. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa istimbath hukum perintah melakukan rukyat adalah perintah berillat (beralasan). Hal ini karena illat perintah rukyat disebabkan  umat pada zaman Nabi Saw. adalah umat yang ummi, belum kenal baca tulis sehingga boleh jadi tidak dapat atau tidak mengenal namanya  hisab. Sementara dalam kaidah fiqhiyah, ”hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya illat”. Oleh itu, jika ada illat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat.

Manakala illat tidak ada (sudah ada ahli hisab), sehingga perintah rukyat tidak berlaku lagi. Dengan demikian harus kembali kepada semanggat umum Al-qur‟an yaitu melakukan hisab dalam memulai dan mengakhiri awal bulan Kamariah. Hal inilah yang menyebabkan Muhammadiyah memilih hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Muhammadiyah memandang bahwa kriteria ini lebih memberikan kepastian dari pada kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal terlihat) maupun kriteria yang lainya (Basori, 2012).

Demikian pula dengan pemerintah dan organisasi Islam lainnya, tentu memiliki cara tersendiri. Dasar hukum dan pemikiran mereka pun adalah kuat dalam pandangan masing-masing. Argumentasi yang disampaikan untuk mendukung pandangan ini  pun sangat ilmiah dan rasional. Ada kalanya penetapan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan pemerintah, bersamaan waktunya. Tidak ada perbedaan. Baik awal bulan Ramadhan maupun perayaan dua hari raya. Dilaksanakan dan dirayakan secara bersama. Persamaan perayaan tersebut tentunya lebih sering terjadi. Ada pula kalanya terjadi perbedaan waktu yang ditetapkan untuk mengawali awal bulan dimaksud.

Apabila terjadi perbedaan, maka tidak jarang terdapat  sorotan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang “tidak patuh” kepada ulil amri atau pemerintah. Menurut pandangan ini, seharusnya Muhammadiyah mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga terjadi persamaan dalam melaksanakan ibadah, ada rasa persatuan sesama umat Islam, dan ghirah keagamaan dalam satu keluarga lebih nikmat terasa. Padahal dalam pandangan Muhammadiyah, tidaklah sesederhana itu. Karena  perkara ibadah kepada Allah Swt., adalah merupakan satu keyakinan yang didasarkan kepada pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.

Melaksanakan ibadah tentu harus ada rujukan maupun dasar hukumnya yang kuat, yang diyakini kebenarannya, tidak menimbulkan keraguan sedikitpun. Jangan melakukan sesuatu ibadah tanpa dasar hukum yang diyakini dengan benar. Jika sudah yakin berdasarkan ilmu yang benar, maka harus segera dilaksanakan. Jangan ditunda-tunda meskipun dengan alasan kebersamaan. Urusan ibadah kepada Allah Swt., tidak terkait secara langsung dengan urusan pemerintahan. Sedangkan dengan urusan kehidupan sosial, bermasyarakat, ekonomi, politik, keamanan, dan administrasi kenegaraan lainnya, maka harus dipatuhi karena kita berada dalam satu negara yang sama. (sebagai tambahan bahan bacaan terkait dengan masalah ulil amri ini, dapat dibaca karya ilmiah ini : Analisis Ulil Amri dalam Konteks Penetapan Awal Ramadhan dan ‘Idaini (Idul Fitri dan Adha) dalam Perspektif Persatuan Islam, dalam  http://eprints.walisongo.ac.id/7784/1/skripsi%20full.pdf).

Walaupun demikian, tetap saja ada kritikan-kritikan kepada pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah dalam hal penetapan hari-hari dimaksud. Termasuk kepada organisasi Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tahun 2001 atau sekitar delapan belas  tahun yang lalu, terjadi perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri. Secara organisasi Muhammadiyah, menetapkan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1422 H jatuh pada hari Ahad tanggal 16 Desember 2001. Sedangkan pemerintah menetapkan jatuh pada hari Senin tanggal 17 Desember 2001. Beberapa organisasi keagamaan Islam lainnya juga menetapkan bersamaan dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, Muhammadiyah melaksanakan hari raya lebih duluan sehari dibandingkan dengan pemerintah dan organisasi Islam lainnya.

Di seluruh Indonesia, secara keseluruhan warga Muhammadiyah telah melaksanakan hari raya Idul Fitri hari Ahad tanggal 16 Desember 2001, termasuk pula di Makassar dan menyebar ke seluruh pelosok di kabupaten-kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Inipun tidak lepas dari pandangan yang kurang positif dari beberapa kalangan masyarakat kepada Muhammadiyah. Intinya adalah adanya anggapan Muhammadiyah tidak mencintai persatuan, tidak patuh kepada ulil amri, dan adapula yang mengatakan Muhammadiyah ingin menunjukkan kekuatan politik. Wallahu’alam.

Karena adanya anggapan tersebut semakin berkembang, maka seolah-olah Muhammadiyah dianggap selalu ingin berbeda atau tidak patuh kepada pemerintah. Sebenarnya hal ini sudah dicoba diberikan pencerahan kepada masyarakat melalui berbagai cara. Bahkan Muhammadiyah Sulawesi Selatan mengirim surat ke lembaga-lembaga terkait,  dan tokoh masyarakat tentang masalah ini.  Walaupun demikian masih ada pihak yang tidak dapat memahaminya. Muhammadiyah pun melaksanakan sendiri shalat Idul Fitri tanpa ada dukungan nyata dari pemerintah. Sebab pemerintah daerah lebih mengikuti penetapan yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI di Jakarta.  

Maka Gubernur Sulawesi Selatan saat itu, H.Z.B. Palaguna mencoba menghibur warga Muhammadiyah khususnya di Sulawesi Selatan. Dalam salah satu sesi wawancara (sekitar bulan Februari 2013) saya dengan mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Drs. K.H. Nasruddin Razak, beliau menceritakan kedatangan orang nomor satu itu ke rumahnya. Bersilaturahmi dalam rangka hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1422 H atau tepatnya hari Ahad tanggal 16 Desember 2001.

Kisah Pak Kiyai Nas, setelah membawakan khutbah Idul Fitri, bersama keluarganya kembali ke rumahnya di Kawasan BTN Hartaco Jl. Paccerakkan Daya, Makassar. Untuk ukuran sembilan belas tahun lalu, kawasan ini boleh dianggap sebagai kawasan yang cukup terpencil. Berada di kawasan pinggiran, sekitar dua puluh kilometer dari pusat Kota Makassar. Menjelang siang hari sebelum duhur, tiba-tiba saja dia menerima panggilan telepon dari seseorang. Menanyakan dimana posisi Pak Kiyai sekarang. Mengabarkan bahwa Pak Palaguna akan datang silaturahmi. Lalu Pak Kiyai pun menjelaskan alamat rumahnya. Sempat juga kalang kabut Pak Kiyai saat itu.

Tak lama kemudian rombongan Pak Palaguna pun tiba di kompleks perumahan Hartaco. Lalu rombongan dipersilahkan masuk ke dalam rumah Pak Kiyai yang sebenarnya tidak terlalu luas. Saya biasa ke rumah itu, lebih banyak buku-buku dalam lemari di ruang tamu. Rumah yang sangat sederhana. Akan tetapi tiba-tiba kedatangan tamu, orang nomor satu di Sulawesi Selatan. Pak Palaguna pun menjelaskan maksud kedatangannya bersama rombongan yang terdiri dari pejabat tinggi di lingkungan pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan. Tidak lain adalah silaturahmi saja, istilahnya “ziarah”, sebagai orang Bugis kepada sesama umat Islam yang merayakan Idul Fitri.

Karena saat itu, sedang lebaran, istri Pak Kiyai pun menyajikan minuman dan makanan ala kadarnya. Kue-kue lebaran khas Bugis-Makassar. Pak Kiyai mempersilahkan para tamu-tamu terhormat ini mencicipi makanan ala kadarnya. Pak Palaguna mengucapkan terimakasih dan mengatakan bahwa mereka belum berlebaran, dan masih melaksanakan ibadah puasa Ramadhan pada hari terakhir.

Bagi Pak Kiyai Nas, ini adalah pertama kali dan satu-satunya seorang gubernur datang ke rumahnya. Bersilaturahmi, bertatap muka dalam suasana santai dan saling menggembirakan. Sesuatu yang cukup atau sangat langka. Kedatangan seorang pemimpin kepada ulama tanpa ada maksud politik tertentu. Misalnya mencari dukungan untuk pemilihan gubernur berikutnya. Tidak. Palaguna datang dengan maksud yang baik tentunya. Dalam catatan penulis pun, dimana pernah aktif sebagai staf yang mendampingi tiga orang ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, inilah satu-satunya tokoh Muhammadiyah di Sulawesi Selatan yang didatangi oleh Gubernur hanya untuk ziarah lebaran. Setelah itu, tidak pernah lagi. Wallahu’alam.

Bagian dari kisah ini dapat dibaca pada buku saya yang berjudul “Komunikasi Politik Pemimpin Pendapat  (Kajian Penyertaan Ulama dalam Pembangunan di Sulawesi Selatan” pada sekitar halaman 160-190. Buku yang diterbitkan UKM Press tahun 2018 ini saya tulis bersama tiga orang pembimbing ketika masih mengambil program doktor pada Pusat Kajian Media dan Komunikasi Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia, yakni Prof. Madya. Moch. Yusof Hj. Abdullah, Prof. Madya. Dr. Normah Bt. Mustaffa, dan Prof. Madya. Dr. Fauziah Ahmad. Buku tersebut dapat dibaca di Perpustakaan UNI Alauddin Makassar, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Makassar dan Perpustakaan Universitas Hasanuddin, Tamalanrea.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Pak Palaguna telah kembali berpulang menghadap Sang Pencipta pada awal bulan Oktober 2019 ini. Beliau juga saya kenal cukup dekat dengan para ulama di Sulawesi Selatan. Satu hal lagi yang saya ingat adalah pada tahun 1995, beliau pernah menitip senjata “badik” kepada Gubernur Aceh, melalui  Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, K.H. Djamaluddin Amien yang akan berangkat ke Banda Aceh mengikuti Muktamar Muhammadiyah. Semoga Allah Swt. menerima segala amal ibadahnya dan menempatkannya di tempat yang paling mulia bersama orang-orang yang beruntung. Amiin ya Rabbal ‘alamien.

Gwynenville, NSW, Australia, 19.10.2019 ba’da subuh

Foto : Drs. K.H. Nasruddin Razak, sebelah kanan memakai peci hitam, mendampingi saya ketika masuk ke dalam Masjid Ridha Allah Somba Majene tanggal 10 Agustus 2003 ketika akan melangsungkan akad nikah.

Post a Comment

0 Comments

close