KADER
MUHAMMADIYAH, BERGERAK DALAM KESUNYIAN
(Mengenang Drs. Abd. Muin MD, Mantan Ketua Umum DPD
IMM Sulawesi Selatan)
Sudah menjadi salah satu ciri khas seorang kader Muhammadiyah adalah berbuat
yang terbaik untuk sesama tanpa mengenal kedudukan dan tingkatan dimana dan
kapan pun berada. Istilah
populernya adalah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, ber-fastabiqul khaerat. Ajaran luhur seperti
inilah yang ditanamkan kepada kader sejak awal, baik dalam pendidikan formal di
sekolah, dalam pengkaderan maupun nasihat para ulama-ulama Muhammadiyah dalam
setiap pengajian atau pertemuan lainnya. Pokoknya berbuatlah, apa saja yang
bisa diperbuat untuk Muhammadiyah. Selagi masih ada kemampuan dan kesempatan,
dimanapun berada. Menyediakan tenaga, pikiran, bahkan materi untuk gerakan
dakwah.
Jangan
memandang apa jabatannya, melihat tingkat kedudukan, apakah di tingkat Ranting,
Daerah atau Wilayah. Jangan malu berbuat kebaikan. “Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya Allah akan melihat (membalasnya)”.
Konsep inilah yang menyuruh kita berkerja, berusaha, berbuat kebaikan demi
kemaslahatan umat sesuai amanah Persyarikatan. Semata-mata karena Allah Ta’ala,
setelah itu bertawakkal kepada-Nya.
Filosofi
ini sudah lama diperpegangi oleh kader Muhammadiyah sejak didirikan KH. Ahmad
Dahlan satu abad yang lalu. Salah satunya adalah oleh almarhum Drs. Abdul Muin
MD, mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Sulawesi Selatan periode 1991-1993.
Innalilla
wainna ilaihi rajiun. Kemarin, Selasa, 10 Desember 2019, beliau telah menghadap
Sang Khalik di Makassar dalam usia lima puluh tahun lebih dan sudah dimakamkan
di kampung halamannya, Lapri, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Prototipe
seperti inilah yang menjadi pelajaran penting dan dapat menjadi contoh teladan dari
almarhum. Sebagai kader Muhammadiyah yang bergerak mulai dari arus bawah dan
sudah berada pada level tingkat provinsi, alumni dan penggerak IMM di
Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) ini, tahu betul profil utama
kader Muhammadiyah. Sedikit bicara banyak bekerja. Sejak selesai melaksanakan
amanah sebagai Ketua DPD IMM Sulsel,
almarhum sudah mengamalkan filosofi ini.
Biasanya
setelah menjadi ketua organisasi otonom tingkat wilayah, maka akan berusaha
mengembangkan potensi diri pada jenjang berikutnya, misalnya masuk dalam
jajaran Persyarikatan Muhammadiyah pada tingkat wilayah, menjadi pengurus ortom
pusat, atau masuk ikut mengelola amal
usaha Muhammadiyah. Ada juga yang terjun ke dunia politik menjadi pengurus
partai politik dan menjadi pejabat dalam berbagai lembaga pemerintahan. Tidak pernah
kedengaran bahwa beliau meminta atau berusaha mendapatkan jabatan ini dan itu,
bahkan diskusi di warung kopi hingga tengah malam. Tetapi almarhum mengambil
posisi yang berbeda, tidak banyak yang tahu bahwa ayah tujuh orang anak ini, memilih
berada pada tingkat bawah, diam-diam tetap bergerak mengemban misi dakwah
Persyarikatan. Misi yang menjadi ruh perjuangan gerakan Muhammadiyah.
Beliau
pertama kali mengambil peran dalam pembangunan Masjid Muhammadiyah “Umar bin
Khattab” Cabang Tello Baru di depan kampus UVRI, Antang pada pertengahan tahun
1990-an, atas amanah Ketua Cabang, Haji Lala Rasang. Bersama dengan Andi Harun,
saat itu Ketua PC IMM KMUP, beliau bolak-balik ke kantor PWM Sulsel mengurus
dana untuk pembangunan masjid tersebut. Membuat laporan pertanggungjawaban
keuangan dan dikirim ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Setelah pembangunan
selesai, beliau menjadi salah seorang pengurusnya, menjadi imam dan guru
mengaji di masjid ini. Aktivitas mulia ini terus dilakukan almarhum sampai
akhir hayatnya.
Dalam
kesehariannya, almarhum bekerja sebagai guru sekaligus sebagai Kepala Madrasah
Aliyah TPI Makassar, dengan status guru yayasan yang sudah mendapat sertifikasi.
Kepeduliannya terhadap nasib sesama pengajar
terlihat dalam suatu peristiwa. Menurut Dahlan Sulaeman, Kepala Madrasah
Aliyah Muhammadiyah Makassar, mereka pernah sama-sama ke Jakarta untuk
memperjuangkan nasib guru-guru honor. Tentu dengan biaya pribadi, dan dapat
dibayangkan nilainya mengingat beliau mengajar di institusi swasta yang tidak
semapan institusi lainnya.
Pada
tingkat Muhammadiyah Cabang, almarhum menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh.
Aktif berdakwah di tingkat ranting dan menjadi khatib tetap setiap Jum’at dan
ceramah tarwih bulan Ramadhan di masjid-masjid Muhammadiyah yang ada di
pinggiran Kota Makassar. Sama seperti Pak AR Fahruddin, lebih senang berdakwah
langsung di kalangan kaum marginal. Beliau juga tercatat sebagai pengurus
Lembaga Pelayanan Sosial Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan pada
periode ini.
Ketika
beliau menjadi Ketua DPD IMM Sulawesi Selatan, kami sudah saling mengenal dengan
baik. Dalam tugas saya sebagai staf bagian rumah tangga kantor Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan, saya banyak bersentuhan langsung dengan beliau.
Saya pulalah yang mengetik surat keputusan beliau sebagai pengurus. Sekretariat
IMM berada di bagian belakang kantor PWM Sulsel Jalan Gunung Lompobattang No.
201 Ujung Pandang (sekarang berubah menjadi Makassar). Kami sering makan
bersama, buka puasa, dan saya buatkan kopi atau teh untuk pengurus IMM jika
mereka akan rapat.
Membukakan
pintu saat tengah malam ketika dia pulang dari membawa materi acara pengkaderan
IMM di berbagai tempat di era tahun 1990-an. Jalan kaki hingga sepuluh
kilometer menyusuri gelapnya malam, bahkan kadang disertai hujan dan suhu yang
dingin. Saat itu saya masih usia muda, sekolah di SMA Negeri 3 Ujung Pandang. Sudah
menjadi kakak bagi saya, dan dia pun menganggap saya sebagai adiknya.
Tak
jarang datang bermalam di sekretariat IMM, membawa lauk-lauk yang sudah jadi,
dibelinya sepulang ceramah. Saya pun diminta memasak nasi, dan kami makan
bersama dengan teman-temannya sesama pengurus IMM Sulsel. Nama-nama yang sempat
saya ingat antara lain adalah Nuryani Muhallim, Muspida Saing Himo, Maulidia
Umar, Saharuddin, Lukman Basra (alm), Syamsuriadi P. Salenda, Mustaqim
Muhallim, Mursida, Jumiati Nur, Hasniar Basra, Sitti Suhada H. Ismail, Saprin Sagena,
Abd. Rakhim Nanda, Usman Abdali Watik, dan lain-lain.
Sejak
dari dulu pembawaannya memang tenang dan tak banyak bicara. Menurut salah
seorang karibnya di Cabang Manggala, Andi Amri Mansyur, dalam kesehariannya,
almarhum menampilkan sosok yang sabar dan bersahaja, zuhud, kalem dan tenang
dalam menangani masalah organisasi. Para jamaahnya di berbagai masjid dan
majelis taklim, menyenangi ceramah almarhum karena dibawakan dengan bil hikmah
dan kesantunan berbahasa yang mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.
Selesai
menjabat sebagai ketua IMM, jarang beliau tampil ke publik, termasuk dalam
acara-acara IMM maupun aktivitas Muhammadiyah tingkat wilayah. Jalur dakwah
yang beliau pilih ini terasa berbeda dengan jalur perjuangan pengurus inti organisasi
otonom tingkat wilayah lainnya. Terutama yang tinggal di Makassar, mereka
umumnya banyak berkiprah di Muhammadiyah tingkat wilayah atau masuk mengelola
amal usaha Muhammadiyah. Jika mereka tinggal di daerah, biasanya masuk dalam
jajaran pengurus Muhammadiyah daerah setempat.
Ternyata
almarhum memilih jalan yang berbeda. Tidak menonjolkan, tetapi membawa rasa. Rasa
kemanusiaan yang mencerahkan. Bergerak dalam kesunyian, mengemban amanah
membina umat pada tingkat bawah. Demi kejayaan Islam dan negara tercinta.
Wassalam
Haidir
Fitra Siagian
Wollongong,
11 Desember 2019
Catatan :
Artikel ini sudah pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah edisi 11 Desember 2019 :
0 Comments