Ketika Pisang Goreng Berbuah Televisi
Sebenarnya saya pribadi sudah lama tidak terlalu gemar menonton televisi. Salah satu alasannya adalah karena untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal, sudah bisa diakses melalui media online. Lebih cepat dan bervariasi. Terhadap berita yang satu, bisa langsung dicarikan berita dari media online yang lain sebagai penyeimbang. Hal lain yang pertimbangkan adalah tentang dampak menonon televisi, tentu ada. Bahkan dalam konteks tertentu, televisi adalah racun kehidupan.
Namun demikian sebagai tenaga pengajar dalam ilmu komunikasi dan kewartawanan, kepentingan untuk mendapatkan berita melalui media televisi tetap saya anggap penting. Oleh karen itu, setelah tinggal selama lebih enam bulan di Australia, saya merasa perlu untuk membeli televisi. Saya pernah cek di toko elektronik, harga televisi paling murah itu sekitar lima juta Rupiah untuk ukuran sederhana.
Keinginan untuk membeli televisi ini sudah saya sampaikan kepada nyonyaku. Saya perlu berbagai informasi tentang Australia. Tidak cukup melalui media online saja. Berita dari televisi tentu akan menambah khazanah ilmu dan wawasan tentang negara Kanguru ini. Dia setuju dan mendukungnya. Hanya saja, karena keterbatasan-keterbatasan yang ada, perlu mempertimbangkan aspek keuangan keluarga. Hingga ditunda dulu sambil melihat perkembangan keuangan lebih lanjut.
Ternyata Allah Swt., Maha Berkuasa. Tiba-tiba saja kami sudah memiliki satu unit televisi tanpa harus membeli. Ukuran yang cukup besar, masih bagus dan hampir tidak ada cacatnya. Kami pun dapat mengakses informasi melalui berbagai saluran televisi lokal Australia. Tak perlu menyiapkan antena karena dalam rumah kami, terdapat jaringan antena terpusat yang disiapkan pengelola apartemen atau flats yang kami tinggali.
Ini adalah televisi baru untuk kami. Bukan baru dibeli, tapi baru kami terima kemarin sore (16/12), saat saya tak berada di rumah. Seorang ibu warga negara Fiji menyerahkannya kepada kami. Hadiah, diberikan secara cuma-cuma. Dia menyuruh kedua anaknya secara bergantian mengangkat televisinya ke rumah kami. Lengkap dengan meja dan ratusan keping VCD anak-anak dengan berbagai judul film. Sudah gratis, diantarkan pula. Istilah kerennya "cash and carry".
Dia seorang tentara yang tugas belajar di sini. Dapat beasiswa dari Kementerian Pertahankan Australia. Minggu ini bersama tiga anaknya akan kembali ke negaranya yang terletak di tengah Samudra Pasifik. Lusa dia akan diwisuda program magister di UoW.
Kami bertetangga dengan mereka, satu flat. Mereka di lantai dua, kami di lantai tiga. Beberapa waktu lalu, ibunya anak-anak di rumah menggoreng pisang. Sebagian pisang goreng ala Mandar ini diantar ke mereka. Tak disangka, sang ibu ini menawarkan TV kepada kami. Gratis. Tentu kami sambut dengan hati mesra.
Sebenarnya kami tak terlalu akrab. Hanya memang sering berpapasan. Beberapa kali juga kami sama-sama ikut rekreasi bersama warga kompleks di sini. Suaminya sudah pulang duluan dua minggu lalu. Tak jarang suaminya membantu mengangkatkan barang belanjaan nyonyaku dari lantai satu ke lantai tiga.
Sungguh baik hati mereka. Walaupun kami beda negara, beda agama, beda warna kulit, beda pula ideologi, dan latar belakang budaya. Tapi itu semua tak menghalangi untuk saling berbuat baik, saling memberi, dan saling menghormati. Kami beri mereka pisang goreng, mereka beri kami satu unit televisi. Alhamdulillah.
Wassalam,
Catatan :
Artikel dengan substansi yang serupa sudah pernah dimuat pada :
Artikel dengan substansi yang serupa sudah pernah dimuat pada :
0 Comments