Kehematan Orang Batak: Sipirok dan Australia
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Orang tua kita sejak zaman dahulu kala, sudah mengajarkan kita atas perlunya bersikap hemat. Dalam berbagai aspek kehidupan, sebisa mungkin, upaya bersikap hemat itu harus dibudayakan. Budaya hemat selain menunjukkan kepribadian seseorang, jika didalami lebih jauh adalah manifestasi dari ajaran agama.
Dalam Islam dikenal istilah jangan berlebih-lebihan atau mubazzir. Karena mubazzir itu adalah perbuatan setan. Apapun jenis perbuatan setan adalah sesuatu yang harus ditinggalkan. Dengan demikian, ada korelasi antara budaya hemat dan jangan mubazzir.
Sesungguhnya kehematan adalah sifat yang bertujuan mulia. Umumnya adalah menghindari penggunaan barang atau uang secara berlebihan untuk keperluan tertentu, dengan harapan tujuan yang ingin dicapai tetap dapat dipenuhi. Pendek kata adalah sedikit biaya atau modal dengan hasil maupun keuntungan yang seimbang atau bila perlu lebih banyak.
Misalnya adalah pemakaian air untuk mandi. Mandilah secukupnya dengan debit air tertentu, jangan sampai berlebihan, yang penting bisa bersih dan suci. Demikian juga berwudhu. Gunakan air secukupnya, yang penting adalah terpenuhi syarat wudhunya. Jika kemungkinan cukup setengah ember, janganlah pakai air sebanyak satu ember atau lebih. Jika boleh setengah ember, artinya bisa menghemat. Jika lebih, itu masuk kategori berlebihan atau mubazzir.
Dalam konteks ini, meskipun berwudhu adalah syarat beribadah, tetapi jika airnya berlebihan, maka ada godaan setan di dalamnya. Tentu hal itu akan mengurangi nilai ibadah di dalamnya, bahkan bisa sebaliknya. Kehilangan nilai ibadah dalam rangkaian wudhu disebabkan air yang berlebih-lebihan akibat godaan setan yang dirajam.
Berhemat dalam makan sehari-hari akan mendukung pola hidup yang sehat. Lebih dari itu, juga dapat mengurangi pengeluaran. Kurangnya pengeluaran akan berpengaruh terhadap jumlah tabungan masa depan. Akan tetapi tidak boleh terlalu berhemat yang bisa menumbulkan dampak yang kurang baik. Misalnya malas membeli buah-buahan karena mahal. Padahal buah-buahan itu penting untuk pertumbuhan dan kesehatan fisik seseorang.
Terhadap pola hidup hemat ini, tidak bisa disamakan antara satu orang dengan orang lain. Ketika kita melihat seseorang sedang berhemat, sesungguhnya tidak. Justru dia sedang menjaga kesehatan. Pada saat tertentu kita menduga seseorang terlalu kikir atau sangat hemat, justru pada saat itu dia memang sedang menghadapi tekanan berat sehingga perlu uang dan sebagainya. Jadi sikap hemat seseorang itu terjadi, selain bisa jadi karena karakternya, pun juga dapat berlaku karena keterpaksaan.
Orang Batak terkenal sangat gigih dalam berjuang. Termasuk dalam hal berjuang menyekolahkan anak-anaknya. Dua kisah berikut ini adalah contoh bagaimana sikap hemat orang Batak yang berjuang dalam bidang pendidikan.
Tersebutkah di sebuah kampung tak jauh dari Desa Panggulangan Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara, kediaman kakek saya, akhir tahun 1980-an. Seorang ibu tua yang tinggal sendiri di rumahnya di Desa Padang Matinggi. Untuk ukuran desa, sebenarnya dia cukup berada. Rumahnya besar, dicat biru, lebih mentereng dari rumah lain. Sawah dan kebunnya luas. Anak-anak di Jakarta dan Medan, sudah berhasil dia sekolahkan pun sudah memiliki pekerjaan yang mapan.
Tetapi si ibu ini, sebut saja Boru Pakpahan, terkenal sangat pintar cari uang dan menghemat. Meskipun dia punya kebun cengkih yang luas, tapi dia pernah datang ke kebun kakek saya, memungut sisa-sisa buah cengkeh yang berserakan. Mungkin dia akan peroleh setengah kilogram dari memungut cengkeh tersebut. Bandingkan dengan cengkeh dari hasil kebunnya yang luas, bisa mencapai satu ton. Satu kampung orang tahu hal ini.
Suatu ketika pada hari pasar di Sipirok. Pulang dari pasar naik mobil sewa. Ongkos dari pasar ke desanya saat itu adalah Rp 100,00. Tiba-tiba si ibu ini turun di tengah jalan, masih ada satu setengah kilometer ke rumahnya. Lalu dia bayar ongkos sebesar Rp 50,00. Jadi si ibu lebih senang jalan kaki satu kilometer lagi supaya bisa menghemat uang lima puluh Rupiah. Mengetahui hal ini, Pak Sopir, mengatakan, naik saja Ompung. Biarlah bayar lima puluh Rupiah sampai di desanya. Betapa orang Batak mau menghemat.
Kisah kedua seorang Batak lagi di Australia. Sebutkan dia bermarga Siagian. Dia seorang mahasiswa salah satu universitas di sini, melakukan upaya penghematan yang luar biasa. Tidak lazim lagi dilakukan oleh orang pada zaman sekarang ini. Dalam pandangan kita, mungkin mengatakan bahwa dia menyiksa diri. Tapi bagi dia, apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang baik dalam pandangannya.
Di wilayah Australia tersebut, untuk masuk ke bandar udara dengan menggunakan kereta api dengan ongkos yang cukup besar, yakni $20 AU atau sekitar dua ratus ribu Rupiah per satu kali masuk. Pak Siagian ini, punya cara unik untuk menghemat uang. Caranya adalah dia turun pada satu stasiun kereta api, satu stasiun lagi sebelum masuk bandara. Lalu dia jalan kaki sekitar dua hingga tiga kilometer. Itu sudah lumrah dia lakukan setiap mau masuk ke bandara, apakah akan menjemput orang atau dia akan berangkat ke suatu tempat naik pesawat.
Ternyata jika masuk bandara dengan jalan kaki, tidak kena pajak. Yang kena pajak adalah yang naik kereta api dan turun di stasiun kereta dalam kawasan bandara. Oleh karena itu, untuk menghemat dua puluh Dollar, Pak Siagian ini rela jalan kaki sampai setengah jam lebih. Dalam benaknya, dimana saya bisa dapat uang sekitar dua ratus ribu Rupiah dalam setengah jam? Caranya adalah menghemat rute dan melanjutkan dengan jalan kaki. Wallahu’alam.
Keiraveille, 13.01.20
Keterangan Foto : penulis bersama nyonya sedang menunggu kereta api menuju Sydney. Naik kereta api lebih hemat daripada naik kendaraan pribadi atau sewa taxi.
0 Comments